Bahtsul Masail

Mati Meninggalkan Banyak Utang, Bagaimana Hukumnya?

Kam, 16 Mei 2024 | 05:00 WIB

Mati Meninggalkan Banyak Utang, Bagaimana Hukumnya?

Mati meninggalkan banyak utang. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum kak mau nanya kalo orang meninggal masih mempunyai banyak utang gimana? (Chotimah Imah)


Waalaikum salam wr wb.

Penanya dan pembaca NU Online yang budiman. Semoga Allah merahmati dan memberikan keberkahan hidup kepada kita semua. Amin. Pada dasarnya utang piutang harus segera dibayarkan dan diselesaikan sebelum meninggal. Sebab utang piutang yang belum terselesaikan sebelum meninggal  akan menghambat perjalanan ruhnya mayit menuju tempatnya yang mulia.


Namun, ada beberapa keadaan yang menjadikan seseorang gagal membayar utangnya bahkan sampai meninggal. Jika demikian, maka yang harus dilakukan adalah untuk segera membayarkan utang mayit bahkan sebelum memandikan sebagai upaya untuk menyegerakan pembebasan ruhnya mayit menuju tempatnya yang mulia. Di dalam hadits shahih dijelaskan bahwa ruhnya orang yang mempunyai utang tertahan, sampai utangnya dilunasi sebagai berikut dijelaskan dalam Mugni al-Muhtaj:  


يُبَادَرُ) نَدْبًا (بِقَضَاءِ دَيْنِ الْمَيِّتِ) إنْ تَيَسَّرَ حَالًّا قَبْلَ الِاشْتِغَالِ بِتَجْهِيزِهِ مُسَارَعَةً إلَى فِكَاكِ نَفْسِهِ، لِخَبَرِ «نَفْسُ الْمُؤْمِنِ أَيْ رُوحُهُ مُعَلَّقَةٌ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُ، فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ حَالًّا سَأَلَ وَلِيُّهُ غُرَمَاءَهُ أَنْ يُحَلِّلُوهُ وَيَحْتَالُوا بِهِ عَلَيْهِ


Artinya: " Disunnahkan untuk menyegerakan melunasi utang mayit. Jika memungkinkan segera melunasi sebelum sibuk merawat mayit. Karena untuk menyegerakan pembebasan ruhnya mayit berdasarkan hadits: "Ruhnya orang mukmin digantungkan -maksudnya ruhnya tertahan menuju tempatnya yang mulia- sebab utangnya, sampai utangnya itu dilunaskan." (HR. At-Tirmidzi. Ibnu Hibban dan selainnya menilai hadits ini hasan dan shahih). Jika tidak memungkinkan untuk membayarkan utangnya maka walinya mayit meminta kepada yang berpiutang untuk memindahkan utangnya (hiwalah), dan walinya memindahkan utangnya mayit ke dalam tanggungannya." (Al-Khatib As-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, [ Bairut, Dar Kutub Ilmiyah: 1415 H], juz II, halaman 44) 


Terkait hadits di atas Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya membedakan kondisi orang yang berutang apakah ada niatan membayar atau tidak sebelum meninggal, berikut penjelasan lengkapnya: 


وأما الإسراع بقضاء الدين: فلتخفيف المسؤولية عن الميت، قال ﷺ: «نفس المؤمن معلّقة بدينه، حتى يقضى عنه»  هذا إذا كان له مال يقضى منه دينه. وأما من لا مال له، ومات عازمًا على القضاء، فقد ورد في الأحاديث ما يدل على أن الله تعالى يقضي عنه، مثل حديث أبي أمامة: «من دان بدين، في نفسه وفاؤه، ومات، تجاوز الله عنه، وأرضى غريمه بما شاء، ومن دان بدين وليس في نفسه وفاؤه، ومات، اقتص الله لغريمه منه يوم القيامة» 


Artinya: "Adapun menyegerakan membayar utang mayit itu untuk meringankan tanggung jawab mayit. Rasulullah bersabda: "Ruhnya orang mukmin digantungkan sebab utangnya, sampai utangnya itu dilunaskan." Hal ini bila mayit mempunyai harta untuk melunasi utangnya. Adapun orang yang tidak memiliki harta kemudian mati, tapi punya keinginan kuat untuk membayar, maka telah disebutkan dalam beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Allah yang melunasi utangnya. Semisal hadits riwayat Abi Umamah: "Barangsiapa berutang dan berniat untuk melunasinya, maka Allah akan mengampuninya dan meridhainya dengan apa yang Allah kehendaki. Barangsiapa berutang dan tidak berniat melunasinya kemudian mati maka Allah akan menghukum di hari kiamat." (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz II, halaman 1482).


Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan orang yang mempunyai utang itu bermacam-macam maka dalam menjawab pertanyaan di atas perlu dirinci sebagai berikut: 


Seorang yang sebenarnya mampu membayar utang semasa hidupnya namun tidak dibayarkan, maka ruhnya tertahan sampai utang-utangnya dilunasi. Namun, bagi mayit yang sebelum meninggal memang tidak punya apa-apa, tapi punya keinginan kuat untuk membayar, maka utangnya berada dalam tanggungan Allah.


Kemudian apabila mayit meninggalkan harta warisan (tirkah), maka utang mayit dilunasi dengan harta peninggalan tersebut. Jika warisan yang ada bukan berupa barang yang bisa dibayarkan utang dengan segera, maka disunnahkan bagi keluarga meminta kepada orang-orang yang diutangi agar utang tersebut dialihkan kepadanya. Dengan begitu, mayit dianggap bebas dari tanggungan utang setelah si pemberi utang menyetujui pengalihan tersebut.


Berikut dijelaskan dalam kitab Bughyah


يندب أن يبادر بقضاء دين الميت مسارعة فك نفسه من حبسها عن مقامها الكريم كما ورد  فإن لم يكن بالتركة جنس الدين أو لم يسهل قضاؤه سأل الولي وكذا الأجنبي الغرماء أن يحتالوا به عليه وحينئذ فتبرأ ذمة الميت بمجرد رضاهم بمصيره في ذمة نحو الولي


Artinya: "Disunnahkan untuk segera melunasi utang piutang mayit. Karena untuk menyegerakan pembebasan ruhnya mayit menuju tempatnya yang mulia sebagaimana dinyatakan dalam hadits.  Maka apabila harta waris (tirkah) bukan termasuk jenis yang dapat membayar utang, atau termasuk jenis yang dapat membayar utang tapi tidak mudah untuk melunasi utang, maka walinya seperti itu juga orang lain sunnah untuk meminta kepada yang berpiutang untuk memindahkan utangnya (hiwalah). Dengan demikian mayit menjadi terbebas dari tanggungannya dengan persetujuan mereka bahwa utanganya mayit menjadi tanggungan wali."  (Abdurahman Ba'alawi, Bugyatul Mustarsidin [Bairut, Darul Fikr: t.t], halaman 171).


Kemudian, sebenarnya keluarga tidak wajib membayarkan utang mayit dari hartanya sendiri. Namun jika keluarga membayarkan, maka utang mayit dianggap lunas.


وبالاجماع لو مات ميت وعليه دين لم يجب على وليه قضاؤه من ماله، فان تطوع بذلك تأدى الدين عنه. 


Artinya: “Berdasarkan Ijma', Jika seseorang meninggal dan memiliki tanggungan utang, maka walinya tidak wajib melunasinya dengan hartanya sendiri. Namun jika secara suka rela melunasinya maka utangnya dianggap lunas." (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Quran, [Maktabah Ar-Risalah, Beirut, 2006 M], juz 5, halaman 230). 


Walhasil, urusan utang piutang tidak menjadi selesai dengan kematian. Bahkan tanggungan utang dapat menghalangi perjalan ruh menuju tempatnya yang mulia, sampai utangnya dilunasi. Oleh karena itu walinya untuk segera menyelesaikan urusan utang tersebut. Jika mempunyai warisan maka pelunasannya diambilkan dari harta tersebut. Jika tidak ada harta waris maka walinya atau orang lain sunnah (tidak wajib) untuk memindahkan utangnya mayit kepada dirinya atau membayarkan utang mayit dengan hartanya sendiri dengan begitu tanggungan mayit telah selesai. 


Adapun bagi seorang yang memang benar-benar tidak mempunyai apa-apa untuk melunasi utangnya dan dia mempunyai keinginan kuat untuk melunasinya maka Allah yang menanggung utang-utangnya dan arwahnya saat meninggal tidak tertahan menuju tempatnya yang mulia.


Terakhir, setiap individu tidak boleh menggampangkan urusan utang piutang karena sampai mati tetap menjadi tanggungannya. Setidaknya kalau belum dapat membayar harus mempunyai keinginan kuat untuk membayarnya. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga dapat difahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo