Hikmah

Hikmah Penetapan Miqat dalam Ibadah Haji

Sab, 15 Juni 2024 | 18:00 WIB

Hikmah Penetapan Miqat dalam Ibadah Haji

Ilustrasi jamaah haji. (Foto: MCH)

Salah satu wajib haji ialah memulainya dengan ihram dari miqat, yaitu batas awal dalam melaksanakan haji. Dalam pelaksanaannya, miqat terbagi menjadi dua yaitu miqat zamani dan miqat makani. Miqat zamani merupakan batasan waktu untuk melaksanakan ibadah haji. Adapun miqat makani merupakan batasan tempat untuk memulai dilaksanakannya ihram haji.

 

Terkait, miqat zamani, Allah telah memberi isyarat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 197 berikut:

 

ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٌ 

 

Artinya: “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi”. (Qs. Al-Baqarah: 197).

 

Mengutip penjelasan Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud bulan-bulan yang telah dimaklumi dalam ayat di atas, sebagaimana disepakati ulama ahli tafsir ialah Syawwal, Dzulqa’dah dan sebagian hari di bulan Dzulhijjah. Bulan-bulan tersebut merupakan batasan waktu dalam melaksanakan ibadah haji atau disebut dengan miqat zamani. 

 

وَالْمُفَسِّرُونَ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ تِلْكَ الثَّلَاثَةَ: شَوَّالٌ، وَذُو الْقَعْدَةِ، وَبَعْضٌ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَنَقُولُ: وَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ قَبْلَ الْوَقْتِ

 

Artinya: “Ulama ahli tafsir sepakat bahwa 3 bulan yang dimaksud ialah Syawwal, Dzulqa’dah, dan sebagian Dzulhijjah. Jika benar demikian, maka kami katakan bahwa wajib tidak diperkenankan ihram haji sebelum waktunya”. (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1420 H], juz V, hal 315).

 

Berbeda dengan umrah, sebab umrah dapat dilaksanakan sepanjang tahun. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi berikut:

 

فالزماني بالنسبة للحج شوال وذو القعدة وعشر ليال من ذي الحجة. وأما بالنسبة للعمرة فجميع السَّنَة وقت لإحرامها

 

Artinya: “Miqat zamani bagi haji ialah Syawwal, Dzulqa’dah dan 10 hari Dzulhijjah. Sedangkan bagi umrah, seluruh tahun merupakan waktu bagi ihram umrah”. (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm, 2005 M], hal 148).

 

Adapun terkait miqat makani, dalam hal ini Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya meriwayatkan:

 

حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ، أَنَّهُ أَتَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي مَنْزِلِهِ، وَلَهُ فُسْطَاطٌ وَسُرَادِقٌ، فَسَأَلْتُهُ مِنْ أَيْنَ يَجُوزُ أَنْ أَعْتَمِرَ؟ قَالَ: فَرَضَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَلِأَهْلِ المَدِينَةِ ذَا الحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الجُحْفَةَ

 

Artinya: “Menceritakan kepadaku Zaid bin Jubair bahwa ia mendatangi Abdullah bin Umar ra di rumahnya, yang memiliki penyangga dan penutup. Aku bertanya kepadanya dari mana diperbolehkan memulai umrah? Ia berkata: Rasulullah saw menetapkannya bagi penduduk Najd dari Qarn, bagi penduduk Madinah dari Dzulhulaifah dan bagi penduduk Syam dari Juhfah”. (HR. Bukhari). 

 

Mengutip penjelasan Imam Ahmad Al-Qasthalani terkait hadits di atas dalam kitabnya Irsyadus Sari menjelaskan, maksud dari kata “faradha” pada hadits di atas ialah menetapkan atau mewajibkan. Dalam artian, miqat makani seperti halnya miqat zamani, ditentukan oleh nash dan ketetapan dari Rasulullah saw.

 

فرضها رسول الله اي قدرها وبينها أو أوجبها

 

Artinya: “Rasulullah saw menetapkannya dalam artian menetapkan dan menjelaskan atau mewajibkannya”. (Ahmad bin Muhammad Al-Qasthalani, Irsyadus Sari li Syarhil Bukhari, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M], juz IV, hal 13).

 

Senada dengan Imam Al-Qasthalani, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan bahwa makna “faradha” pada hadits di atas ialah menetapkan atau mewajibkan. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan ihram haji dan umrah sebelum miqat.

 

ومعنى فرض: قدر أو أوجب وهو ظاهر نص المصنف, وأنه لا يجيز الإحرام بالحج والعمرة من قبل الميقات

 

Artinya: “Makna faradha ialah menetapkan atau mewajibkan. Itu adalah yang tampak dari nash mushannif, dan tidak diperkenankan untuk Ihram haji dan umrah sebelum miqat”. (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, [Beirut, Dar Ar-Risalah Al-Alimiyah, 2013 M], juz V, hal 245).

 

Namun, terkait kebolehan miqat dari selain tempat-tempat yang ditentukan beberapa ulama seperti Ibnul Mundzir memperbolehkan ihram dari selain tempat yang ditentukan. Berbeda dengan Ishaq, Daud yang mengatakan tidak diperbolehkan. Sedangkan mayoritas ulama memang membedakan antara miqat zamani dan makani dengan tidak membolehkan mendahului miqat zamani dan membolehkan bagi miqat makani.

 

وقد نقل ابن المنذر وغيره الإجماع على الجواز, وفيه نظر, فقد نقل عن إسحاق وداود وغيرهما عدم الجواز, وهو ظاهر جواب ابن عمر. ويؤيده القياس على الميقات الزماني, فقد أجمعوا على أنه لا يجوز التقدم عليه. وفرق الجمهور بين الزماني والمكاني, فلم يجيزوا التقدم على الزماني وأجازوا في المكاني. وذهب طائفة كالحنفية وبعض الشافعية إلى ترجيح التقدم, وقال مالك: يكره

 

Artinya: “Ibnul Mundzir dan lainnya menukil konsensus dibolehkannya (mendahului bagi miqat makani), pendapat ini memerlukan penalaran. Sedangkan dinuqil dari Ishaq, Daud dan yang lainnya bahwa hal tersebut tidak dibolehkan. Dan ini merupakan dzahir dari jawaban Ibnu Umar. Dikuatkan juga dengan mengqiyaskannya pada miqat zamani, mereka sepakat bahwa mendahului miqat makani tidak diperbolehkan.

 

Sedangkan mayoritas ulama membedakan antara miqat zamani dan miqat makani. Mereka tidak membolehkan mendahului miqat zamani tapi membolehkannya bagi miqat makani. Segolongan ulama seperti Hanafiyah dan sebagian Syafiiyyah yang mengunggulkan dibolehkan. Sedangkan Imam Malik mengatakan bahwa hukumnya makruh”. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari..., hal 245).

 

Hikmah Penentuan Miqat Ihram

Adapun terkait hikmah dari ditentukannya miqat makani bagi mereka yang hendak melaksanakan ihram haji ataupun umrah ialah untuk mempersiapkan diri dengan niat yang baik sebelum sampai ke Baitullah. Hal tersebut diibaratkan seperti orang yang hendak menemui orang mulia, ketika hampir sampai maka ia telah siap dengan kerendahan dan ketundukan diri dalam mengagungkannya.

 

Hal ini berlaku juga bagi umat Islam yang melaksanakan haji dengan diawali niat ihram dari miqat yang telah ditentukan. Mereka datang dari segala penjuru dunia dalam keadaan tunduk dan berserah diri untuk melaksanakan segala ritual ibadah haji demi mengharapkan ridha Allah swt.

 

وقد لزم شرعا تقديم الإحرام للأفاقي على وصوله إلى البيت تعظيما للبيت وإجلالا كما تراه في الشاهد من ترجل الراكب القاصد إلى عظيم من الخلق إذا قرب من ساحته خضوعا له. فلذا لزم القاصد إلى بيت الله تعالى أن يحرم قبل الحلول بحضرته إجلالا فإن الإحرام تشبه بالأموات وفي ضمن جعل نفسه كالميت سلب اختياره. وإلقاء قياده متخليا عن نفسه فارعا عن اعتبارها شيئا من الأشياء

 

Artinya: “Wajib secara syar’i untuk mendahulukan ihram bagi orang yang berada di luar Makkah sebelum sampainya ia ke Baitullah untuk mengagunggkannya. Sama seperti orang yang sebelumnya berkendara yang hendak menemui orang yang mulia kemudian turun dari kendaraannya ketika telah mendekati tempatnya. 

 

Oleh karenanya, wajib bagi orang yang hendak menuju Baitullah untuk ihram sebelum sampai ke haribaan-Nya dengan tujuan mengagungkan. Sebab ihram pada hakikatnya menyerupai dengan orang-orang yang mati, dalam kondisi yang menjadikannya seperti halnya mayit yang telah meruntuhkan keinginannya, menyerahkan kuasa sepenuhnya, mengosongkan diri dari segala sesuatu”. (Al-Qasthalani, Irsyadus Sari..., halaman 13)

 

Dengan demikian, penetapan miqat dalam ibadah haji, baik miqat zamani maupun miqat makani bersifat taabbudi dan ditentukan oleh nash dari pemberi syariat. Adapun hikmahnya adalah agar calon jamaah haji bisa menyiapkan diri secara lahir batin sebelum sampai ke Baitullah. Wallahu 'alam.

 

Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Jakarta