Hikmah

Kekecewaan Rasulullah kepada Khalid bin Walid ‘Sang Pedang Allah’

Sel, 26 April 2022 | 21:00 WIB

Kekecewaan Rasulullah kepada Khalid bin Walid ‘Sang Pedang Allah’

Kekecewaan Rasulullah kepada Khalid bin Walid ‘Sang Pedang Allah’. (Ilustrasi: via ok.ru)

Nama Khalid bin Walid cukup populer dalam historiografi Islam awal sebagai panglima perang yang gagah berani dan kerap memenangi pertempuran. Rasulullah sendiri menjuluki sahabatnya ini dengan sebutan “saifullah” yang berarti pedang Allah.

 

Dalam Islam, perang diperbolehkan sepanjang untuk pertahanan diri. Agama samawi ini melarang pemeluknya melakukan penyerangan kepada siapa pun, bahkan dengan alasan menyebarkan Islam sekalipun. Dengan demikian, peperangan merupakan jalan terakhir ketika jalur dialog dan nonkekerasan buntu dan umat Islam sedang terancam keselamatannya bila tidak membela diri. Ringkasnya, bagi Islam perang adalah sikap defensif demi mempertahankan hak, bukan ofensif meski atas nama dakwah atau ekspansi ajaran.

 

Dalam konteks itu Khalid bin Walid adalah pahlawan di pihak Islam yang membela habis-habisan dari aksi kaum munafik dan kafir pada zaman awal dakwah Rasulullah. Jangan dibayangkan dikotomi kafir-muslim saat itu sekadar pluralitas keberagamaan layaknya di negara damai seperti Indonesia saat ini. Suasana yang berlangsung kala itu adalah suasana perang. Nabi Muhammad sedang dimusuhi, dakwahnya dijegal, bahkan berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan. Para pengikut beliau pun banyak yang terusik kenyamanan dan keamanannya.

 

Pujian Rasulullah kepada Khalid bin Walid terungkap dalam kalimat berikut:

 

‎نِعْمَ عَبْدُ اللهِ أَخُو العشيرة خالد بن الوليد مِنْ سيُوف الله سَلَّهُ اللهُ علَى الكافرين والْمنافقين

 

Sebaik-baik saudara klan Quraisy, Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik.”

 

Hanya saja, suatu ketika Rasulullah kecewa berat dengan tindakan Khalid bin Walid lantaran kecerobohan yang berakibat menghilangkan nyawa umat Islam sendiri.

 

Cerita tersebut bermula ketika Khalid bin Walid bersama pasukannya pergi ke Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam.

 

“Masuklah agama Islam!” perintah Khalid kepada mereka yang menyambutnya.

 

“Kami adalah kaum muslimin,” sahut mereka.

 

“Letakkan senjata kalian dan turunlah,” instruksi Khalid lagi.

 

“Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tak bisa mempercayaimu dan orang-orang yang bersamamu.”

 

“Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Khalid mengancam. 

 

Akhirnya sebagian orang Bani Jadzimah mengikuti perintah Khalid. Namun, sebagian lainnya membangkang. Mereka tercerai berai.

 

Khalid lantas bertanya, “Siapakah kalian, kaum muslimin atau kaum kafir?”

 

“Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan shalat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami, dan mengumandangkan adzan di dalamnya,” jawab mereka.

 

Dalam lafaz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa (kami sudah masuk Islam), akhirnya mereka mengatakan shaba’naa shaba’na (kami telah berpindah agama). Maksudnya, berpindah dari agama lama ke Islam.

 

“Buat apa senjata yang kalian bawa?” tanya Khalid.

 

“Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata,” jawab mereka.

 

“Letakkan senjata kalian!” instruksi Khalid.

 

Mereka pun menuruti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” kata Khalid.

 

Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.

 

Pada waktu pagi buta, juru bicara Khalid berteriak, “Siapa pun yang memiliki tawanan, bunuhlah ia!” 

 

Banu Sulaim pun membunuh tawanan mereka. Namun, kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan.

 

Peristiwa yang terjadi di bawah kepemimpinan Khalid ini akhirnya sampai juga ke telinga Rasulullah. Beliau menumpahkan rasa kecewanya,

 

اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد

 

“Ya Allah, aku tidak bertanggung jawab atas perbuatan Khalid.” Nabi mengulang ucapan ini dua kali.

 

Kisah ini bisa dijumpai salah satunya dalam karya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah (Kairo: Darul Jamwami’ al-Kalim), h. 19-20.

 

***

 

Secara sepintas seolah tampak Khalid sebenarnya sedang menjalankan tugasnya sebagai komandan perang yang baik. Dia menerapkan protokol keamanan yang pantas dengan melucuti senjata Bani Jadzimah. Meskipun, mereka sesungguhnya telah menjelaskan alasan kenapa mereka bersikukuh membawa senjata. Bani Jadzimah sendiri sedang dalam suasana perang dengan kaum lain. Sehingga, kedatangan Khalid pun dilihat dalam konteks politik pertempuran ini. Mereka tak percaya alias curiga dengan Khalid dan pasukannya.

 

Kesalahan fatal Khalid adalah tidak teliti dengan jawaban “shaba’na shaba’na” ketika mereka ditanya status keislamannya. Mungkin ia mengira mereka keluar dari agama Islam. Padahal sebaliknya. Sikap tergesa-gesa dan tidak hati-hati tersebut akhirnya memakan korban nyawa saudaranya sendiri. Khalid memilih buru-buru menghakimi (lawan bicaranya sebagai kafir), ketimbang berhati-hati dan menghindari prasangka. Kecerobohan membuatnya langsung menjadikan mereka tawanan.Celakanya, konsekuensi terburuk kemudian muncul: pembantaian. Seandainya prinsip “lebih baik salah memaafkan daripada salah menjatuhkan hukuman” dipegang kuat-kuat, mungkin Rasulullah tidak bakal menyesali tindakan sembrono sang pedang Allah itu.

 

Nidlomatum MR, alumni magister Tafsir Hadits UIN Sunan Ampel Surabaya; pengurus Fatayat NU Kabupaten Bogor


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP