Kisah Kegigihan Arsabandi di Tengah Keterbatasan dalam Menuntut Ilmu
Jumat, 7 Februari 2025 | 15:00 WIB
Sunnatullah
Kontributor
Salah satu ulama hebat yang memiliki sejarah luar biasa dalam rihlah keilmuannya namun jarang diketahui banyak orang adalah Fakhrul Islam al-Arsabandi. Rihlah keilmuannya sangat menginspirasi, mulai dari kesederhanaan, kesabaran, menerima segala ketentuan takdir, totalitas dalam belajar, dan lainnya.
Ia bernama lengkap al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Arsabandi al-Maruzi. Sebagaimana nisbat yang disematkan kepada namanya, ia lahir di desa Arsaband, salah satu desa yang ada di Kawasan Marw, dan terletak di kota besar di Iran.
Adapun tahun kelahirannya, para ulama ahli sejarah belum menemukan secara pasti tahun tersebut, namun Imam Abul Qasim al-Baghawi dalam kitabnya menengarai bahwa al-Arsabandi lahir pada permulaan abad keempat Hijriyah. (Mu’jamul Muallifin, [Kwait: Darul Bayan, 2000], jilid IX, halaman 252).
Fakhrul Islam al-Arsabandi lahir di tengah kondisi kehidupan yang serba kekurangan. Sejak kecil, ia harus menghadapi kehidupan pahit dari keterbatasan yang melingkupi keluarganya. Ia lahir dari keluarga miskin yang tidak memiliki apa-apa, sehingga hari-hari yang ia jalani penuh dengan kesederhanaan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar pun sangat sulit dalam keluarga al-Arsabandi.
Kendati demikian, kemiskinan dan hidup serba terbatas itu sama sekali tidak memadamkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Dengan tekad yang kuat dan kehausan ilmu pengetahuan yang mendalam, ia justru menjadikan kesulitan hidup sebagai motivasi untuk terus belajar. Ia memanfaatkan setiap peluang yang ada, meskipun kecil dan sederhana untuk mempelajari ilmu.
Rihlah Keilmuan al-Arsabandi
Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Abu Muhammad bin Abul Wafa al-Qursyi dalam kitabnya, Fakhrul Islam al-Arsabandi memulai perjalanan keilmuannya di bawah bimbingan ulama besar, Abu Manshur as-Sam‘ani, ia menjadi guru pertamanya dalam menekuni ilmu fiqih. Di bawah asuhan sang guru, ia menyerap dasar-dasar fiqih dengan penuh kesungguhan, semangat yang membara, dan totalitas yang tinggi, sehingga ia mampu menguasai dasar-dasar fiqih dengan mendalam, khususnya fiqih mazhab Hanafi:
تَفَقَّهَ عَلىَ أَبِي مَنْصُوْرٍ السَّمْعَانِي ثُمَّ رَحَلَ عَنْ وَطَنِهِ إِلىَ سَحَانَا فِى طَلَبِ الْفِقْهِ وَتَفَقَّهَ عَلىَ الْقَاضِي الزَّوْزَنِيِّ
Baca Juga
Kisah Ulama Berhaji Tanpa ke Tanah Suci
Artinya, “Al-Arsabandi belajar fiqih kepada Abu Mansur as-Sam’ani (wafat 450 H), kemudian ia pergi meninggalkan kampung halamannya menuju kota Sahana untuk belajar fiqih, dan ia mempelajarinya kepada al-Qadhi az-Zauzani (Zozan, Khurasan).” (Thabaqatul Hanafiyah, [Darul Minhaj: t.t.], jilid II, halaman 51).
Di bawah bimbingan al-Qadhi az-Zauzani, al-Arsabandi menekuni pembahasan fikih yang lebih kompleks dan lebih luas, tidak hanya fokus pada fiqih-fiqih dasar, namun mendalami fiqih dengan luas dan detail, mulia dari kaidah-kaidah hukum fiqih, memahami metodologi ijtihad dan putusan hukum fiqih (istinbath ahkam).
Mencari Makanan di Tempat Sampah
Namun demikian, untuk mendapatkan ilmu yang mumpuni, tidak cukup dengan sekadar belajar dan mengaji saja, namun juga harus tahan bersabar dengan berbagai ujian dan cobaan yang datang. Jika tidak, maka ilmu akan sulit untuk didapatkan. Salah satu contoh yang perlu untuk diteladani adalah kisah al-Arsabandi yang sangat sabar di tengah kekurangan finansial selama menuntut ilmu.
Dikisahkan, suatu saat ketika al-Arsabandi masih berada pada masa-masa belajar, ia pernah tidak memiliki apa pun untuk di makan. Sesuap nasi atau sepotong roti pun ia tidak punya, apalagi uang untuk membeli makanan yang bisa menjadi pengganjal laparnya dalam menuntut ilmu saat itu. Dalam keadaan seperti itu, ia akhirnya melangkahkan kakinya menuju tempat di mana orang-orang membuang kulit semangka di tempat itu, bahasa kotornya adalah tempat sampah.
Apa yang ia lakukan di tempat sampah? Yang ia lakukan di tempat itu adalah mengambil kulit semangka yang sudah dibuang oleh orang-orang, kemudian ia kumpulkan semuanya, selanjutnya ia bersihkan sisa-sisa itu, setelah bersih ia memakannya untuk mengganjal rasa laparnya. Kisah yang begitu menyentuh hati di balik rihlah keilmuan al-Arsabandi ini sebagaimana dicatat oleh Imam Burhanul Islam az-Zarnuji. Dalam kitabnya ia menceritakan:
حُكِيَ أَنَّ فَخْرَ الْاِسْلاَمِ الْأَرْسَابَنْدِي جَمَعَ قُشُوْرَ البِّطِّيْخِ الْمُلْقَاة فِي مَكَانٍ خَالٍ فَأَكَلَهَا
Artinya, “Dikisahkan bahwa Fakhrul Islam al-Arsabandi mengumpulkan kulit-kulit semangka yang terbuang di sebuah tempat yang sepi, lalu memakannya.” (Syarh Ta’limil Muta’allim Thariq at-Ta’allum, [Kediri: Maktabah as-Salam, 2016], halaman 78).
Setelah perjalanan panjang al-Arsabandi dalam menuntut ilmu dengan segala rintangan dan cobaan yang ia hadapi dengan sabar dan ikhlas, akhirnya ia tumbuh menjadi seorang ulama besar yang ilmunya diakui di seluruh penjuru negeri saat itu hingga sekarang. Pendapat-pendapatnya sering dikutip oleh para ulama, khususnya dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafi.
Salah satu ilmu yang paling unggul dan berhasil ia kuasai dengan sempurna adalah ilmu fiqih. Oleh sebab itu, tidak heran jika beberapa pendapatnya sering dikutip oleh para ulama setelahnya dan banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafi, karena ia merupakan salah satu ulama terkemuka dalam mazhab yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah tersebut. Tentang keunggulan dan keluasan ilmunya, Imam Abu Muhammad al-Qursyi berkata dalam kitabnya:
كَانَ إِمَامًا فَاضِلاً مُنَاظِرًا اِنْتَهَتْ إِلَيْهِ رِيَاسَةُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيْفَة وَحَدَثَ
Artinya, “Al-Arsabandi adalah seorang imam yang unggul, ia ahli dalam perdebatan, dan kepemimpinan para pengikut Imam Abu Hanifah berakhir kepadanya. Ia juga meriwayatkan hadis.” (al-Jawahirul Mudhiyah, [Beirut: Darul Fikr, tt], jilid II, halaman 51).
Dengan penguasaan fiqihnya yang mendalam, banyak orang-orang yang hadir mendatangi al-Arsabandi untuk belajar dan berguru kepadanya tentang ilmu fiqih, salah satunya adalah Imam Abul Fadl al-Karamani, ulama mazhab Hanafi tersohor yang ada di Khurasan, ada juga Imam Abul Farah as-Shakkak al-Khawarizmi, ulama fiqih mazhab Hanafi terkemuka di Marwa, yang meneruskan peran gurunya, al-Arsabandi, di kota tersebut setelah kematiannya, dan masih banyak lagi ulama-ulama fiqih terkemuka yang tumbuh karena didikan dari al-Arsabandi.
Tidak hanya fiqih, ia juga menguasai ilmu hadits, sehingga banyak para ulama yang datang kepadanya untuk mendapatkan sanad Riwayat hadits sekaligus berguru kepadanya tentang sabda-sabda Nabi Muhammad. (Abu Sa’ad al-Maruzi, at-Tahbir fil Mu’jam al-Kabir, [Baghdad: Riasah Diwanil Auqaf, 1975], jilid II, halaman 73).
Oleh sebab itu, para ulama yang ada di Marwa saat itu memberikan julukan kepadanya dengan julukan Fakhrul Islam yang berarti kebanggaan umat Islam sekaligus dijuluki Fakhrul Qaudhat yang berarti kebanggaan para qadhi (hakim), karena selama hidupnya ia pernah diangkat menjadi qadhi di tempat kelahirannya.
Al-Arsabandi Wafat
Syekh Yusuf Abdurrahman, dalam kitabnya mengisahkan bahwa di penghujung hidupnya di dunia, ia memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, namun sebelum berangkat menuju Makkah, al-Arsabandi hendak berkunjung ke Baghdad, salah satu kota yang dikenal dengan pusat keilmuan Islam saat itu.
Perjalanan ini dimulai tepat pada tahun 510 H. Ia berangkat dari tanah kelahirannya, desa Arsaband menuju Baghdad. Namun, sesampainya di Baghdad dan sebelum merampungkan niat sucinya untuk menunaikan ibadah haji, takdir berkata lain. Ia wafat di Baghdad pada tahun 510 H, kemudian dimakamkan di kota tersebut. (al-Fiqhul Hanafi Ushulan wa Furu’an, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2010], jilid I, halaman 233).
Kabar wafatnya tersebar dengan cepat, membawa kesedihan ke seluruh penjuru negeri, khususnya di Baghdad dan Iran saat itu. Umat Islam kehilangan sosok ulama yang telah menjadi teladan kesabaran dalam menuntut ilmu, ulama yang sangat tabah dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, dan selalu lapang dengan takdir yang telah menjadi ketetapannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah Maroko.
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua