Hikmah

Kisah Sahabat Utsman bin Mazh’un: Ditegur Nabi agar Proporsional Beribadah

Sel, 22 Agustus 2023 | 12:00 WIB

Kisah Sahabat Utsman bin Mazh’un: Ditegur Nabi agar Proporsional Beribadah

Ilustrasi: Sahabat Nabi (NU online)

Umat Islam tidak akan pernah kekurangan untuk mencari sumber tokoh yang dapat dijadikan suri tauladan. Sirah perjalanan Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan utama dan juga para sahabatnya menjadi bekal penting umat Islam dalam mengarungi kehidupan dunia.
 

Posisi Sahabat terhadap Nabi saw tak ubahnya seperti prajurit siap siaga selalu menunggu-nunggu titah dari pimpinannya.  Namun, mereka sebagaimana manusia umumnya memiliki watak dan perilaku yang beragam. Salah satu yang dapat ditemukan dari sifat sahabat ialah kemauan keras mereka dalam menjalankan titah yang ada, sehingga di antara mereka ada yang sampai berlebihan hingga ditegur oleh Nabi saw.
 

Utsman bin Mazh’un, ia seorang sahabat dari kalangan Muhajirin yang memiliki nama lengkap Utsman bin Mazh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah bin Jumah bin Amr bin Husyaish bin Ka’ab Al-Jumahi. Ia memiliki kunyah Abu Saib. Ad-Dzahabi dalam kitabnya menyebut Utsman bin Mazh’un sebagai bagian dari pimpinan Muhajirin, termasuk wali Allah dan termasuk orang yang mendapatkan kebahagiaan karena dishalati oleh Nabi saw ketika wafat.
 

مِنْ سَادَةِ المُهَاجِرِيْنَ، وَمِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ المُتَّقِيْنَ، الَّذِيْنَ فَازُوا بِوَفَاتِهِم فِي حَيَاةِ نَبِيِّهِم، فَصَلَّى عَلَيْهِم, وَكَانَ أَبُو السَّائِبِ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- أَوَّلَ مَنْ دُفِنَ بِالبَقِيْعِ

 

Artinya: “Ia termasuk pembesar Muhajirin, bagian kekasih Allah, yang bertakwa, termasuk sahabat yang berbahagia dengan kewafatannya pada masa kehidupan Nabi saw sehingga beliau menshalatinya. Ia adalah orang pertama yang dikuburkan di Baqi’” (Ad-Dzhabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Beirut: Muassasah ar-Risalah], juz I, halaman 153).
 


Al-Kisah, Utsman bin Mazh’un terlihat berlebihan dalam beribadah. Ia bahkan sampai pernah meminta izin kepada Nabi untuk menceraikan istrinya dan fokus beribadah.
 

أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ أَذِنْتَ لِي فَطَلَّقْتُ خَوْلَةَ، وَتَرَهَّبْتُ وَاخْتَصَيْتُ وَحَرَّمْتُ اللَّحْمَ، وَلَا أَنَامُ بِلَيْلٍ أَبَدًا، وَلَا أُفْطِرُ بِنَهَارٍ أَبَدً
 

Artinya: “Utsman berkata (meminta izin) kepada Nabi saw: “Jika Engkau mengizinkan, Aku akan mentalaq Khaulah. Aku akan menjadi rahib (tidak menikah), aku akan mengosongkan diriku, mengharamkan daging, tidak tidur di malam hari (untuk beribadah) dan tidak makan di siang hari (berpuasa) selamanya.” (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul kutub al-Misriyah, cet 2, 1964], juz XVIII, halaman 87).
 

Alih-alih setuju dan mengapreasinya, Nabi Muhammad saw malah menegur Utsman dan menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya bukan termasuk bagian dari sunnahnya dan bukan bagian dari Islam.
 

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنْ سُنَّتِي النِّكَاحَ وَلَا رَهْبَانِيَّةَ فِي الْإِسْلَامِ إِنَّمَا رَهْبَانِيَّةُ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَخِصَاءُ أُمَّتِي الصَّوْمُ وَلَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ. وَمِنْ سُنَّتِي أَنَامُ وَأَقُومُ وَأُفْطِرُ وَأَصُومُ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

 

Artinya: “Nabi Muhammad saw berkata: “termasuk sunnahku adalah menikah, tidak ada ke-rahiban (dengan tidak menikah) di dalam Islam, ke-rahiban di dalam umatku ialah berjihad di jalan Allah, pengosongan umatku dengan berpuasa, janganlah kalian mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan untuk kalian, di antara sunnahku ialah tidur, bangun, berbuka dan berpuasa. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku tidak termasuk bagian kaumku”. (Al-Qurthubi, halaman 87).
 

Hikmah Kisah

Dalam kisah di atas Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada umat Islam untuk selalu bersikap moderat dalam segala hal, termasuk dalam beribadah. Sebab segala hal yang dilakukan secara berlebihan akan berakibat buruk pada akhirnya. Hal tersebut sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari bahwa Salman Al-Farisi pernah menasehati Abu Darda yang kemudian ditetapkan (sunnah taqririyah) oleh Nabi saw.
 

اِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ ‌حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ ‌حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ ‌حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ 

 

Artinya: “Sungguh bagi Tuhanmu terhadap dirimu memiliki hak, bagi dirimu atas dirimu juga terdapat hak, bagi keluargamu terhadap dirimu terdapat hak. Maka berilah setiap yang memiliki hak sesuai porsinya. Ia kemudian mendatangi Nabi Muhammad saw dan menyebutkan masalah ini kepada Nabi. Nabi bersabda: “Salman benar”. (HR. Al-Bukhari). Wallahu a’lam


Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.