Hikmah

Teladan Sahabat Tsauban dalam Memenuhi Janji

Rab, 1 Februari 2023 | 16:00 WIB

Teladan Sahabat Tsauban dalam Memenuhi Janji

Ilustrasi: Sahabat Nabi (NU Online).

Dalam kitab Hilyatul Auliyā’, Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani mencatat riwayat tentang Tsauban budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut riwayatnya:
 

حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ الْحَسَنِ، ثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، ثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ، وَحَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ الْحَسَنِ، ثَنَا أَبُو مُسْلِمٍ الْكَشِّيُّ، ثَنَا عَاصِمٌ، قَالَا: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قَيْسٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ، عَنْ ثَوْبَانَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَقَبَّلَ لِي وَاحِدَةً تَقَبَّلْتُ لَهُ بِالْجَنَّةِ، قَالَ ثَوْبَانُ: أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: لَا تَسْأَلْ أَحَدًا شَيْئًا، قَالَ: فَلَرُبَّمَا سَقَطَ السَّوْطُ لِثَوْبَانَ وَهُوَ عَلَى بَعِيرٍ فَلَا يَسْأَلُ أَحَدًا أَنْ يُنَاوِلَهُ حَتَّى يَنْزِلَ إِلَيْهِ فَيَأْخُذَهُ

 

Artinya, “Habib bin Al-Hasan bercerita kepada kami, ‘Umar bin Hafs bercerita, ‘Ashim bin ‘Ali bercerita, Habib bin Al-Hasan bercerita, Abu Muslim Al-Kasyi bercerita, ‘Ashim bercerita, keduanya berkata: “Ibnu Abi Dzi’b bercerita kepada kami, Muhammad bin Qais bercerita, dari Abdurrahman bin Yazid bin Mu’awiyyah, dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang menjamin satu hal untukku, maka aku jaminkan surga untuknya.” Tsauban berkata: “Aku (mau), wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Jangan minta apa pun kepada seseorang!” Abdurrahman bin Yazid berkata: “Pernah suatu ketika cambuk milik Tsauban jatuh, sedangkan ia tengah mengendarai unta. (Meski demikian), ia tidak meminta seorang pun untuk mengambilkannya, hingga ia turun dan mengambilnya (sendiri).” (Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’ wa Thabaqātul Ashfiyā’, [Beirut: Darul Fikr], juz I, halaman 181).
 

Sebelum mengurai lebih jauh, kita harus tahu terlebih dahulu siapa Tsauban bin Bajdad (wafat 54 H). Dalam Hilyatul Auliyā’, Tsauban disebut sebagai maulā Rasûlillāh (budak Rasulullah). Imam Al-Ashbahani menggambarkannya dengan kalimat:
 

وَمِنْهُمُ الْقَنِعُ الْعَفِيْفُ، الْوَفِيُّ الظَّرِيْفُ، أَبُوْ عَبْدِ اللهِ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُوْلِ الرَّحْمنِ
 

Artinya, “Sebagian (di antara) mereka terdapat (sahabat Nabi) yang qana’ah lagi menjaga kehormatan diri; (selalu) memenuhi janji lagi cerdas. Dia adalah Abu Abdullah Tsauban, budak seorang Rasul yang penuh kasih sayang.” (Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’, juz I, halaman 180). 
 

Tsauban bin Bajdad merupakan tawanan dari Hijaz yang dibeli dan dimerdekakan oleh Rasulullah. Kemudian ia melayani Rasulullah dan menyerap banyak ilmu darinya. Ia juga meriwayatkan banyak hadits yang langsung didapatnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Ad-Dzahabi, Siyar A’lām An-Nubalā’, [Beirut: Muassasah Ar-Risalah: 2001], juz III, halaman 16-17).
 

Kembali ke pembahasan. Kisah di atas membuat kita bertanya-tanya, salah satunya adalah, “mungkinkah hal semacam itu terjadi atau dilakukan?” Pertanyaan semacam ini wajar adanya, karena ada jarak realitas yang cukup besar.
 

Di zaman kita, hampir mustahil menemukan orang seperti Sayyidina Tsauban bin Bajdad, atau bahkan tidak ada. Akibatnya, kita tidak memiliki data “mengalami” yang cukup, sehingga wajar jika kita sangsi akan ada orang yang bisa menjaga janjinya seperti itu.
 

Namun demikian, jangan sampai “ketida-relate-an” kita dengan kisah tersebut, menghentikan kita dari mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Sebab, sebuah nilai mulia seringkali berada di awang-awang dan tidak memiliki garis finish, jika pun ada, garis finish itu sangat susah untuk dicapai. Tapi bukan berarti kita tidak mencobanya, bahkan harus menjadikannya sebagai cita-cita dan tujuan sepanjang hidup. Karena dengan kisah-kisah semacam inilah kita berproses. Berjuang membenahi diri dari hari ke hari, yang semula mengingkari janji puluhan kali, menjadi tersadar dan berjuang untuk menjauhinya.

Di samping itu, dengan membaca kisah semacam ini, kita jadi tahu bahwa mungkin-mungkin saja praktik keagamaan dilaksanakan dalam level idealnya, seperti Sayyidina Tsauban yang terkenal dengan al-wafiyyu (orang yang memenuhi janji). Gelar al-wafiyyu didapatkan olehnya karena keteguhan dan keistiqamahannya memegang janji. Sejak mengatakan, “Aku (mau), wahai Rasulullah”, Tsauban tidak pernah sekalipun meminta sesuatu kepada orang lain, baik itu harta benda ataupun pertolongan.
 

Ia memilih mengambil sendiri cambuknya yang jatuh meski sedang mengendarai unta, padahal banyak orang yang bisa dimintai tolong olehnya. Dalam riwayat lain dikatakan (jalur Sulaiman bin Ahmad), bahwa Rasulullah berkata:
 

مَنْ يَتَكَفَّلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ؟ فَقَالَ ثَوْبَانُ: أَنَا، فَكَانَ ثَوْبَانُ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا
 

Artinya, “Siapa yang (mau) menjamin kepadaku bahwa ia tidak akan meminta kepada manusia, dan aku akan menjaminnya masuk surga?” Tsauban menjawab: “Aku (mau, wahai Rasulullah).” Kemudian, (setelah itu) Tsauban tidak pernah meminta sesuatu pun kepada siapa pun.” (Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’, juz I, halaman 181). 
 

Sejak saat itu Sayyidina Tsauban tidak pernah meminta bantuan selain kepada Allah. Ia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah, bahkan di keadaan paling ringan dan normal sekalipun seperti ketika cambuknya terjatuh. Suatu keadaan yang wajar jika ada orang yang mengambilkannya, tapi ia menolak dan mengambilnya sendiri karena memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
 

Semoga kisah di atas memberikan wawasan dan pelajaran baru kepada kita, dan kita bisa mengambil iktibar darinya. Rabbi zidni ‘ilma warzuqni fahma. Amin.

 


Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Petanahan, Kebumen.