Kajian Hadits: Akad Jaminan Utang, Telaah dari Dua Riwayat
Senin, 16 Desember 2024 | 07:00 WIB
Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Seorang pemuda meninggal dunia meninggalkan keluarganya yang terpukul. Namun, duka mereka bertambah ketika seorang tetangga datang menagih utang yang belum dilunasi almarhum. Keluarga bingung karena tidak ada harta peninggalan, sementara si penagih terus mendesak. Dalam suasana tegang itu, seorang kerabat maju dan berkata, “Biarlah, saya yang akan melunasinya.”
Kisah di atas bukanlah hal yang asing dalam kehidupan kita. Tidak sedikit keluarga menghadapi dilema serupa, yaitu utang almarhum menjadi beban moral yang berat. Untuk menjawab permasalahan ini, Islam menawarkan konsep akad dlaman (jaminan utang), sebagaimana dijelaskan dalam dua hadist berikut:
Hadist Pertama
Riwayat Jabir r.a menyebutkan:
Baca Juga
Kajian Hadits: Penerima dan Pemberi Riba
تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا، فَغَسَّلْنَاهُ، وَحَنَّطْنَاهُ، وَكَفَّنَّاهُ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ؟ فَخَطَا خُطًى، ثُمَّ قَالَ: " أَعَلَيْهِ دَيْنٌ؟ " قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ، فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ، فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - " أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ؟ " قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى عَلَيْهِ - رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ
Artinya: "Seorang lelaki wafat, kemudian kami memandikan, mengkafani, dan membawanya kepada Rasulullah ﷺ untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, 'Apakah ia memiliki utang?' Kami menjawab, 'Ya, dua dinar.' Maka beliau menolak menshalatinya hingga Abu Qatadah berkata: 'Utang itu menjadi tanggunganku.' Setelah memastikan kebenarannya, Rasulullah pun bersabda: 'Apakah pemilik utang sudah menerima dan mayit telah bebas dari tanggungannya?' Abu Qatadah menjawab, 'Ya.' Lalu Rasulullah ﷺ menshalatinya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa’i)
Rasulullah ﷺ enggan menshalati mayit yang masih memiliki utang, seakan memberi penegasan tentang tanggung jawab terhadap utang sebagai bagian dari kewajiban seorang Muslim. Namun, situasi berubah ketika ada seseorang yang bersedia menanggung utang tersebut melalui akad jaminan (dlaman). Rasulullah kemudian menshalati mayit tersebut sebagai tanda bahwa hak si pemberi piutang telah dialihkan kepada pihak lain.
Ibnu Ruslan, dalam kitabnya, menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan keabsahan akad jaminan (dlaman) atas utang mayit meskipun tanpa izin dari pihak yang dijamin (madlmun 'anhu). Sebab, secara syar’i, seseorang boleh melunasi utang orang lain tanpa izin, sehingga akad jaminan juga lebih diperbolehkan. Beliau menafsirkan:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَصِحُّ الضَّمَانُ عَنِ الْمَيِّتِ، وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا يَتَصَوَّرُ مِنْهُ الرِّضَا، فَفِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الضَّمَانَ لَا يُشْتَرَطُ فِيهِ رِضَا الْمَضْمُونِ لِصِحَّةِ الضَّمَانِ، وَلِأَنَّهُ يَجُوزُ أَدَاءُ دَيْنِ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فَالْتِزَامُهُ فِي الذِّمَّةِ أَوْلَى بِالْجَوَازِ
Artinya: "Hadist ini menunjukkan keabsahan dlaman atas utang orang yang telah meninggal, meskipun tanpa izin dari pihak yang dijamin (madlmun 'anhu). Sebab, secara hukum, melunasi utang orang lain tanpa izin darinya diperbolehkan. Maka, lebih utama lagi diperbolehkan menjamin utangnya." (Shihabuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Husain bin Ali bin Rislan Al-Maqdisi Ar-Ramli, Syarh Sunan Abi Dawud, [Fayyum: Dar Al-Falah Lil-Buhuth Al-Ilmiyyah wa Tahqiq At-Turats, 1437 H / 2016 M], juz 13, hal 48)
Demikian pula, Imam al-Baidhawi menambahkan bahwa akad jaminan (dlaman) dapat berlaku tanpa persetujuan kreditur (madlmun lahu), sebagaimana yang terjadi pada kasus ini. Beliau menegaskan:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الضَّمَانِ بِغَيْرِ رِضَا الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَدُونَ رِضَا الْمَضْمُونِ لَهُ وَمَعْرِفَتِهِ، وَأَنَّهُ يَصِحُّ عَنِ الْمَيِّتِ الْمُفْلِسِ الَّذِي لَا وَفَاءَ لَهُ، وَخَالَفَنَا أَبُو حَنِيفَةَ فِيهِ
Artinya: “Hadist ini menjadi dalil bahwa dlaman sah dilakukan tanpa izin pihak yang dijamin (madlmun 'anhu), bahkan tanpa persetujuan atau pengetahuan kreditur (madlmun lahu). Akad dlaman juga berlaku untuk mayit yang tidak memiliki harta sebagai pelunasan utang. Dalam hal ini, pendapat kami berbeda dengan Abu Hanifah." (Abdullah bin Umar Al-Baidhawi, Tuhfah Al-Abrar Syarh Misbah As-Sunnah, [Kuwait: Kementerian Awqaf dan Urusan Islam, 1433 H / 2012 M], juz II, hal. 267)
Hadist Kedua
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a:
كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ: "هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ؟ " فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ، وَإِلَّا قَالَ: "صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ"فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: "أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ تُوُفِّيَ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: “Rasulullah ﷺ biasanya menanyakan tentang orang yang meninggal dunia, 'Apakah ia meninggalkan harta untuk melunasi utangnya?' Jika dijawab ya, beliau menshalatinya. Jika tidak, beliau berkata, 'Shalatkanlah teman kalian.' Setelah terjadi berbagai penaklukan, Rasulullah bersabda, 'Aku lebih berhak atas kaum mukmin daripada diri mereka sendiri. Barang siapa wafat dengan meninggalkan utang, maka aku yang akan melunasinya.'” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini menampilkan dimensi lain dari akad jaminan (dlaman). Pada awalnya (sebagaimana hadist pertama), Rasulullah ﷺ menegaskan pentingnya menyelesaikan utang sebagai syarat kesejahteraan ruh seseorang. Namun, saat kaum Muslimin mengalami kemajuan ekonomi melalui berbagai penaklukan, Rasulullah memberikan solusi sosial yang lebih luas: hak jaminan terhadap umat Islam sebagai tanggung jawab komunitas atau negara, sebagaimana diemban oleh Rasulullah sebagai pemimpin umat.
Ahmad bin Ismail al-Kurani dalam Al-Kautsar al-Jari memberikan analisis. Penjelasan beliau ini juga menjadi bantahan terhadap pandangan Imam Abu Hanifah yang mensyaratkan kerelaan kreditur (madlmun lahu) agar akad jaminan (dlaman) menjadi sah:
هَذَا فِي الْحَقِيقَةِ ضَمَانُ دَيْنِ الْمَيِّتِ، وَهُوَ حُجَّةٌ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ فِي عَدَمِ تَجْوِيزِ الضَّمَانِ عَنِ الْمَيِّتِ إِذَا لَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً، وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ حَيْثُ يَشْتَرِطُ قَبُولُ صَاحِبِ الدَّيْنِ
Artinya: “Pada hakikatnya, ini adalah dlaman atas utang mayit. Hal ini menjadi hujjah atas Abu Hanifah yang tidak membolehkan dlaman untuk mayit jika ia tidak meninggalkan harta pelunasan. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa penerimaan dari kreditur bukan syarat mutlak dalam akad dlaman." (Ahmad bin Ismail bin Utsman bin Muhammad Al-Kurani, Al-Kawthar Al-Jari Ila Riyaad Ahadits Al-Bukhari, [Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi, 1429 H / 2008 M], juz. V, hal. 7)
Kesimpulan
Dua hadist ini dan penjelasan ulama memberikan gambaran bahwa akad dlaman atau jaminan utang sangat fleksibel dalam Islam. Dlaman dapat dilakukan tanpa izin pihak yang dijamin utangnya (madlmun 'anhu) dan bahkan tanpa persetujuan kreditur (madlmun lahu). Dengan demikian, akad jaminan (dlaman) adalah bagian dari kerangka hukum Islam yang mempermudah umat dalam menyelesaikan masalah utang-piutang, menjaga kehormatan mayit, dan memenuhi tuntutan syariat. Hal ini menunjukkan prinsip Islam yang mengutamakan penyelesaian hak-hak manusia, terutama dalam perkara utang, agar seorang muslim dapat terbebas dari tanggungannya di dunia maupun akhirat. Wallahu a‘lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua