Ilmu Tauhid

Sifat Qidam, Kajian Asal Mula Tuhan

Sen, 14 Agustus 2023 | 22:00 WIB

Sifat Qidam, Kajian Asal Mula Tuhan

Lafadh Allah. (Foto: NU Online/Freepik)

Para ulama mendiskusikan tentang waktu pada bab sifat qidam. Sebagian ulama Melayu memilih kata “sedia” untuk terjemahan kata qidam. Para ulama menyebut ketiadaan permulaan atas eksistensi Allah swt.

 

Berbeda dari keberadaan selain-Nya, esksistensi Allah tidak didahului oleh fase kenihilan. Eksistensi Allah swt tidak melewati fase kenihilan, keberadaan (kehidupan), dan kemudian kefanaan (kematian). Allah swt tidak diciptakan baik oleh diri-Nya sendiri maupun oleh orang lain.

 

والقدم هو عدم الأولية لوجوده تعالى فلم يخلق نفسه ولا خلقه غيره قال الله تعالى لم يلد ويلم يولد

 

Artinya, “Qidam merujuk pada ketiadaan awal mula eksistensi Allah swt. Dia tidak menciptakan diri-Nya sendiri dan tidak diciptakan oleh pihak lain sebagaimana firman Allah, ‘Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan,’” (Syekh Nawawi Banten, Syarah Nurudh Dhalam, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 7).

 

Adapun lawan kata qidam adalah “hadits” atau “baru” sebagaimana terjemahan ulama Melayu. Hadits atau baru merujuk zat dengan perubahan status dari fase kenihilan ke fase eksistensi (kehidupan). Keberadaan (kehidupan) zat hadits atau baru didahului oleh fase kenihilan. Keberadaan zat hadits atau baru tercipta oleh sesuatu di luar dirinya.

 

أن وجود الله تعالى لا أول له أى لم يسبقه عدم بخلاف الحوادث فإن وجودها له أول وهو خلق النطفة التى خلقوا منها فقد سبقهم العدم

 

Artinya, “Eksistensi Allah swt tidak berpermulaan, artinya tidak didahului oleh kenihilan berbeda dengan zat baru yang memiliki permulaan, yaitu penciptaan nuthfah yang mana darinya mereka tercipta sehingga mereka didahului oleh fase kenihilan,” (Syekh Ahmad An-Nahrawi, Ad-Durrul Farid pada hamisy Fathul Majid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 11).

 

Ulama tauhid beragumentasi bahwa Allah swt sebagai pencipta harus bersifat qidam. Allah swt pencipta mustahil bersifat hadits atau baru karena hadits adalah sifat kekurangan yang tidak boleh dimiliki Allah. Sifat hadits atau baru hanya dimiliki oleh makhluk yang mengalami fase kenihilan sebelum kehidupannya. Sementara tidak ada pilihan di antara sifat qidam dan sifat hadits.

 

Kalau kita mau berandai-andai, misalnya Allah swt tidak bersifat qidam, niscaya eksistensi-Nya didahului oleh kenihilan. Artinya, Dia masuk kategori jaizul wujud/mumkinul wujud yang boleh ada boleh tidak. Ketika eksistensi-Nya jaizul wujud atau mumkinul wujud, niscaya Dia diciptakan oleh pihak lain. Lalu pihak lain diciptakan oleh zat sebelumnya tak terhingga. Dan sifat hadits atau baru itu mustahil bagi Allah swt.

 

والدليل على قدمه تعالى أنه إذا لم يكن قديما لكان حادثا لأنه لا واسطة بين القديم والحديث فكل شيئ انتفى عنه القدم ثبت له الحدوث

 

Artinya, “Argumentasi keqadiman Allah swt ialah, jika Allah tidak bersifat qadim, tentu Dia bersifat baru. Sementara tidak ada posisi ‘antara’ di tengah status qadim dan status baru. Jadi setiap sesuatu yang tidak bersifat qidam, maka ia (dipastikan) berstatus baru,” (Syekh An-Nahrawi: 11).

 

Ulama membagi tiga sifat qidam: qidam dzati, qidam zamani, dan qidam idhafi. Qidam dzati merujuk pada ketiadaan permulaan zat Allah. Qidam zamani merujuk pada ketiadaan durasi permulaan katakan setahun. Qidam idhafi merujuk pada ketiadaan awal mula hubungan seperti relasi ayah dan anak. (Syekh Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 33).

 

Adapun ulama berbeda pendapat perihal pengertian qadim dan azali. Sebagian ulama berpendapat bahwa qadim dan azali merujuk pada pengertian yang sama. Qadim dan azali ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang tidak memiliki permulaan. Itu artinya meliputi Allah swt dan segala sifat-Nya yang qadim.

 

Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa keduanya memiliki pengertian berbeda. Menurut mereka, qadim adalah zat maujud yang tidak memiliki permulaan. Sedangkan azali adalah apapun yang tidak memiliki permulaan. Konsekuensinya, azali lebih umum daripada qadim. (Syekh Muhammad Fudhali, Kifayatul Awam, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh], halaman 33).

 

Misalnya, kita dapat mengategorikan zat Allah, sifat nafsiyah (wujud), dan sifat ma‘ani (qudratun, iradatun, ‘ilmun, hayatun, sama‘un, basharun, kalamun) sebagai qadim karena semua sifat ini bersifat zat atau maujud. Sedangkan sifat ma‘nawiyyah (qadirun, muridun, ‘alimun, hayyun, sami‘un, bashirun, mutakallimun) hanya bisa disebut azali karena semua sifat ini adalah sifat hal, bukan sifat zat atau maujud. (Lihat perbedaan maujud dan hal pada penjelasan sifat wujud).

 

Terkait pembahasan sifat qidam, kita dapat mengatakan bahwa Allah swt tidak mengalami fase kenihilan sebelum wujudnya. Allah swt adalah pencipta waktu. Allah swt berada di luar hukum waktu. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU.