Nikah/Keluarga

Mengenal Zhihar: Hukum, Ungkapan, dan Konsekuensinya

Rabu, 25 Januari 2023 | 15:00 WIB

Mengenal Zhihar: Hukum, Ungkapan, dan Konsekuensinya

Ungkapan zhihar memiliki konsekuensi hukum dalam Islam. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Secara bahasa zhihar diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Sebab, gambaran asal zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku.” 


Secara istilah, zhihar adalah ungkapan suami menyerupakan istrinya dengan salah seorang mahramnya, seperti ibu atau saudara perempuan. Di zaman Jahiliyah, masyarakat Arab menganggap zhihar sebagai salah satu cara talak. Namun, syariat Islam menetapkan zhihar dengan ketentuan lain selain talak. (Lihat: Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, Terbitan Darul-Qalam, juz IV/146).


Dengan kata lain, ungkapan zhihar berasal dari suami, bukan dari istri. Artinya, jika istri mengucapkan hal serupa, maka tidak dianggap zhihar.


Hukum Zhihar dan Landasannya

Para ulama sepakat bahwa zhihar hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Hal itu didasarkan pada firman Allah yang menyebutnya sebagai ungkapan yang mungkar dan dusta.


الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ


Artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang  melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi,” (QS. al-Mujadalah [58]:2).


Macam Ungkapan Zhihar

Seperti halnya ungkapan talak, ungkapan zhihar juga ada dua macam, yakni sharih dan kinayah. Ungkapan sharih adalah ungkapan yang tidak mengandung makna lain selain makna zhihar meskipun tidak disertai niat orang yang mengucapkannya.


Contoh ungkapan sharih adalah ungkapan suami kepada istrinya, “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku,” atau, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” atau “Bagiku kamu seperti badan, tubuh, jasad, fisik, diri, keseluruhan ibuku.”  Alasan penyebutan badan, tubuh, jasad, fisik dan diri, termasuk ungkapan sharih karena mencakup makna punggung. Berbeda halnya dengan hidung, mata, atau alis yang biasa dipuji. (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz IX/7138).


Jika seorang suami mengucapkan ungkapan tersebut, maka sesungguhnya telah men-zhihar istrinya. Adapun pengucapannya disertai niat maupun tidak, selama ia termasuk orang yang sah menjatuhkan talak. Dalam arti, ia mengucapkan itu dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta sadar terhadap makna yang diucapkan.


Sementara ungkapan kinayah adalah ungkapan yang kemungkinan masih mengandung makna lain selain zhihar. Contohnya ungkapan suami terhadap istrinya, “Bagiku kamu seperti ibuku,” atau “Bagiku, kami seperti saudara peremepuanku,” atau “Di hadapanku, kamu seperti ibu atau saudariku,” atau “Bagiku kamu seperti mata ibuku.”  


Artinya, jika seorang suami mengucapkan kata-kata itu, maka maknanya berpulang kepada niat atau maksud orang yang mengucapkannya. Jika ia bermaksud zhihar, maka ungkapan itu menjadi zhihar. Namun, jika ia bermaksud menyanjung, memuji, atau memuliakan istrinya tidak menjadi zhihar.


Di samping ada sharih dan kinayah, ungkapan zhihar juga ada yang munajjaz dan ada yang mu’allaq. Artinya, zhihar jatuh pada saat diucapkan dan yang jatuh ketika ta’liq terjadi. Kemudian dari aspek masa berakhirnya, zhihar ada yang muabbad (permanen) dan ada yang mu’aqqat (sementara). Dikatakan permanen jika tidak ditunaikan kafaratnya, dan dikatakan muaqqat jika ditunaikan kafaratnya. Termasuk zhihar muaqqat adalah zhihar yang dibatasi waktu tertentu, seperti satu minggu atau satu bulan. Maka masa zhiharnya habis saat datangnya waktu yang disebutkan tanpa harus ada kafarat. (Lihat: az-Zuhaili: IX/7129).


Konsekuensi Zhihar

Zhihar bukanlah talak. Ungkapan talak tidak bisa dipakai zhihar dan ungkapan zhihar juga tidak bisa dipakai talak. Lagi pula, zhihar tidak memisahkan ikatan perkawinan, melainkan hanya sebuah pelanggaran yang mewajibkan kafarat atau tebusan bagi suami yang melakukannya.


Artinya, karena sebab zhihar, suami haram menggauli istrinya sebelum membayar denda atau menunaikan kafarat. Termasuk juga haram memandang, menyentuh, atau mencumbu, mencium. Kendati melanggar, si suami dikategorikan bermaksiat dan tidak ada kafarat lagi selain salah satu kafarat yang tiga. 


أما إن لم يتبع ذلك بالطلاق، ولم يحصل ما يقطع النكاح، فإنه يعتبر عائداً في كلامه، مخالفاً لما قاله، فإن عدم انفصاله عن زوجته، وقد شبّهها في الحرمة بمحاربة ـ يعتبر نقضاً منه لهذا التشبيه، ومخالفة لمقتضاه. وعندئذ تلزمه كفّارة، يُكلف بإخراجها على الفور


Artinya, “Jika ungkapan zhihar tidak diikuti talak, maka tidak tercapai sesuatu yang memutuskan pernikahan. Sebab, zhihar dianggap kembali kepada perkataan suami dan bertolak belakang dengan ucapannya sendiri. Konsekuensinya, ketika suami tidak berpisah dengan istri karena telah menyerupakannya dengan salah seorang mahramnya, maka penyerupaan itu hanya dianggap pembatal dari pihak suami dan pelanggar ketentuan. Maka dalam kondisi itu, si suami hanya diwajibkan menunaikan kaffarat dan kaffarat itu dilakukan pada saat itu pula.” (Lihat: al-Khin: IV/147).


Adapun bentuk kafaratnya pertama adalah memerdekakan budak beriman yang sehat jasmani dan rohani serta giat dalam bekerja. Kedua adalah berpuasa selama dua bulan hijriah secara berturut-turut. Ketiga memberi makanan kepada 60 orang miskin. Masing-masing sebanyak satu mud (kira-kira ¾ kg) makanan pokok di negeri si pelaku.


Ketentuannya, kafarat itu harus berurutan dan bertahap. Tidak bisa langsung beralih kepada kafarat yang ketiga selama kafarat pertama atau kedua bisa ditunaikan. Selain itu, kafarat juga harus disegerakan sebelum bergaul kembali dengan istri, sebagaimana firman Allah, “Orang-orang yang menzhihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan,” (QS. al-Mujadilah [58]: 3). (Lihat: al-Khin: IV/148).


Demikian penjelasan tentang pengertian zhihar, landasan hukum, ungkapan, dan konsekuensi zhihar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.