Nikah/Keluarga

Suami Panggil Istri dengan Sebutan Ibu, Bunda, atau Umi, Apakah Termasuk Zhihar?

Sab, 11 Februari 2023 | 13:00 WIB

Suami Panggil Istri dengan Sebutan Ibu, Bunda, atau Umi, Apakah Termasuk Zhihar?

Panggilan Bunda dan Umi untuk istri. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Dalam rangka mendidik anak-anak, para suami seringkali memanggil istrinya dengan panggilan, “ibu,” “mamah,” “bunda,” atau “ummi.” Dan ini sudah membudaya di Tanah Air.  


Namun, ada anggapan dari sebagian kalangan bahwa panggilan-panggilan tersebut sama dengan ungkapan zhihar yang menyebabkan seorang suami haram menggauli istrinya sampai ia melakukan kafarat. Benarkah demikian? 

  
Sebelum menjawabnya tentu harus dilihat terlebih dahulu bagaimana hakikat zhihar. Bagaimana ungkapan-ungkapan yang dikategorikan sebagai zhihar? Dan benarkah panggilan “ibu,” “mamah,” “bunda,” atau “ummi” dari seorang suami kepada istrinya termasuk zhihar?     


Sebagaimana yang pernah diuraikan, zhihar sendiri merupakan ungkapan suami menyerupakan istri seperti punggung ibu atau punggung saudara perempuannya.


Secara historis, zhihar termasuk tradisi Arab Jahiliyah sebagai salah satu cara menceraikan. Konon, ketika marah kepada istri, orang Arab Jahiliyah kerap melontarkan ucapan anti ‘alayya ka zhahri ummi (Bagiku dirimu sama seperti punggung ibuku). Tujuannya memposisikan istri seperti ibu kandung sendiri. Namun, setelah Islam datang, zhihar diberi ketentuan lain.


Suami yang men-zhihar istrinya tidak lagi boleh menggaulinya sampai melakukan kafarat. Termasuk di dalamnya haram memandang, menyentuh, atau mencumbu, mencium. Kendati melanggar, si suami dikategorikan bermaksiat dan tidak ada kaffarat lagi selain salah satu kafarat atau denda yang tiga, yaitu memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, atau memberi 60 orang miskin. (Lihat: Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, Terbitan Darul-Qalam, juz IV/146).


Kembali kepada persoalan panggilan “ibu,” “mamah,” “bunda,” atau “ummi” di atas. Jawabannya tentu harus dikembalikan kepada bentuk dan macam redaksi zhihar itu. Ungkapan zhihar sendiri ada sharih dan ada kinayah. Ungkapan sharih adalah ungkapan yang tidak mengandung makna lain selain makna zhihar meskipun tidak disertai niat orang yang mengucapkannya.


Contoh ungkapan sharih “Bagiku kamu seperti punggung ibuku,” atau, “Bagiku kamu seperti tubuh ibuku.” Penggunaan kata ‘tubuh’ berbeda dengan kata ‘hidung,’ ‘mata,’ atau ‘alis’. Pasalnya tubuh mencakup makna punggung, sedangkan hidung, mata, atau alis maknanya lebih kecil dari punggung dan juga termasuk organ yang biasa dipuji. (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz IX/7138).


Sementara ungkapan kinayah adalah ungkapan yang kemungkinan masih mengandung makna lain selain zhihar. Contohnya ungkapan, “Bagiku kamu seperti ibuku dan seperti saudara perempuanku,” atau “Bagiku kamu seperti mata ibuku.”


Dikecualikan jika suami memanggil istrinya, “Anti ‘alayyi ummi,” (Bagiku kamu ibuku). Pasalnya, ungkapan yang dipakai adalah ungkapan perumpamaan meskipun dibuang perangkatnya berupa kata seperti atau bagaikan.


Dari bentuk dan macam ungkapan zhiar di atas, panggilan “ibu,” “mamah,” “bunda,” atau “ummi” kepada istri jauh dari ungkapan zhihar sharih. Kendati mendekati, ungkapan tersebut lebih dekat kepada ungkapan zhihar kinayah. Konsekuensinya, setiap ungkapan kinayah harus disertai dengan niat.


Sementara panggilan-panggilan di atas sama sekali tidak dipergunakan dengan niatan menyamakan istri seperti ibu kandung atau saudara perempuan. Akan tetapi, dipergunakan demi mendidik anak-anak agar bersikap santun, dan tidak berani memanggil nama kepada ibunya, atau memanggil ibu dengan panggilan kesayangan ayahnya.


Bahkan, Syekh Abdur Rahman al-Jaziri dengan tegas menyatakan dalam kitabnya bahwa panggilan, “ya ummi, ya ukhti,” kepada istri tidak termasuk zhihar.


أما إذا ناداها بقوله: يا أمي أو يا أختي فإنه لا يكون مظاهراً ولكن إذا نوى به الطلاق عد طلاقاً


Artinya, “Adapun jika suami memanggil istrinya dengan panggilan, ‘Ya ummi, ya ukhti’ (Wahai ibuku, wahai saudari perempuanku), sesungguhnya si suami tersebut tidak termasuk orang yang men-zhihar. Hanya saja, jika ungkapan itu diniati talak, maka bisa dianggap talak.” Lihat: Syekh Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, [Beirut: Darul Kutub], 2003, juz IV/434).


Meski makna panggilan “ummi” berarti ‘ibuku’, namun semata dipakai untuk memberi contoh dan mendidik anak. Sehingga seolah-olah, suami memosisikan diri seperti seorang anak di hadapan ibunya agar ditiru oleh anak-anaknya. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.