Sirah Nabawiyah

Asma binti Yazid, Juru Bicara Sahabat Perempuan Masa Nabi Muhammad

Sen, 10 Februari 2020 | 09:00 WIB

Pada zaman Nabi Muhammad Saw, sahabat perempuan (shahabiyah) berbaur dan hidup bersama dengan kaum laki-laki. Dalam artian, mereka belajar Islam, mendakwahkan Islam, dan berhijrah bersama dengan kaum laki-laki. Mereka juga saling bahu-membahu dan saling melengkapi dalam menjalani kehidupan bersama dengan suaminya. 

Tidak sedikit pula shahabiyah yang ikut terjun ke medan perang, membantu pasukan umat Islam. Terkadang mereka tidak hanya berfungsi sebagai tenaga medis dan penyuplai logistik, tetapi juga ikut memanggul senjata dan ikut berperang. Mereka di antaranya adalah Nusaibah binti Ka’ab, Rubayyi’ binti Muadz, Ummu Sulaim, Rufaidah al-Aslamiyah, Shafiyah (bibi Nabi), Sayyidah Fatimah (putri Nabi), dan Asma’ binti Yazid.

Nama yang terakhir merupakan salah satu shahabiyah yang dikenal berani, kritis, dan piawai dalam berbicara. Asma binti Yazid bin al-Sakan al-Anshari menjadi wakil kaum perempuan jika mereka ingin menanyakan sesuatu kepada Nabi Muhammad Saw, namun mereka tidak berani atau sungkan mengutarakannya. 

Suatu ketika, Asma binti Yazid mendatangi majelis Nabi Muhammad untuk menanyakan satu hal. Dia duduk di antara kaum laki-laki karena, ikut mendengarkan pengajaran Nabi Muhammad. Di tengah-tengah acara, Asma binti Yazid mengangkat tangan dan mengungkapkan isi pikirannya—sebagaimana pikiran kaum hawa lainnya. Kepada Nabi Muhammad, dia protes karena merasa kaum laki-laki lebih diutamakan dalam hal beribadah dari pada kaum perempuan. Mereka shalat berjamaah di masjid, berperang di jalan Allah, menyaksikan jenazah, dan mengerjakan amal lainnya yang tidak dikerjakan perempuan. Sementara perempuan, ‘hanya’ menjadi penunggu rumah, menjadi pelepas nafsu laki-laki, mendidik anak, dan menjaga harta benda suami. Padahal, bukan kah Nabi Muhammad diutus Allah untuk laki-laki dan perempuan. 

"Apakah kami mendapatkan pahala yang sama dengan mereka, wahai Rasulullah?" tanya Asma binti Yazid bertanya kepada Nabi Muhammad. 

Disebutkan Nizar Abazhah dalam Sejarah Madinah (2017), Nabi Muhammad kagum dengan ucapan, pikiran, dan pertanyaan Asma binti Yazid tersebut. Nabi menilai, apa yang disampaikan Asma itu sangat bagus. Kepada para sahabatnya, Nabi Muhammad kemudian bertanya; apakah mereka pernah mendengarkan seorang perempuan bertanya tentang agamanya dengan pertanyaan yang lebih baik dari pada Asma binti Yazid tersebut. Mereka menjawab: tidak. 
 
"Kembalilah Asma, katakana kepada wanita-wanita di belakangmu bahwa bergaul baik dengan suami, mencari ridhanya, dan mengikuti petunjuknya setara pahalanya dengan semua yang kau sebutkan tadi," jawab Nabi Muhammad. Asma menjadi bahagia usai mendengar jawaban Nabi seperti itu. Ia kemudian meninggalkan majelis dan pulang dengan mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ dan takbir. 

Tidak hanya itu, Asma binti Yazid juga langsung mendatangi Nabi Muhammad manakala ada persoalan keagamaan yang dihadapinya atau kaum perempuan lainnya pada saat itu. Misalnya, dia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad perihal tata cara bersuci dari dari haid bagi perempuan. Ia tidak malu menanyakan hal itu karena menganggapnya sebagai sebuah hak dan kesucian.  

Di samping berani mengutarakan 'unek-unek’nya sendiri dan ‘unek-unek’ shahabiyah kepada Nabi, Asma binti Yazid juga seorang perempuan yang berani turun ke medan perang. Tercatat, dia menjadi salah satu shahabiyah yang ikut ambil bagian dalam Perang Yarmuk. Ketika itu, dia diriwayatkan berhasil membunuh sembilan tentara Romawi.
 
Asma binti Yazid wafat pada tahun ke-30 H, atau 17 tahun setelah mengikuti Perang Yarmuk. Sepanjang hidupnya, dia berhasil meriwayatkan 81 hadits Nabi Muhammad. Di antara ulama hadits terkemuka yang meriwayatkan hadits dari Asma binti Yazid di antaranya Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. 

Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Kendi Setiawan