Sirah Nabawiyah

Biografi Abu Bakar: Menjadi Khalifah hingga Wafat

Sel, 22 September 2020 | 10:00 WIB

Biografi Abu Bakar: Menjadi Khalifah hingga Wafat

Ilustrasi Abu Bakar as-Shiddiq. (scaryammi)

Setelah terjadi diskusi yang alot dan panjang tentang siapa ‘orang yang berhak’ menggantikan Nabi Muhammad—yang baru saja wafat, akhirnya umat Islam sepakat untuk mendaulat Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.

 

Setelah dibaiat, Abu Bakar menyampaikan sebuah pidato yang menyejukkan dan menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar yang berselisih dalam penentuan pengganti Nabi Muhammad. Berikut pidatonya, sebagaimana dikutip dari Ahmad Sya’labi dalam Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, Khamami Zada (2018): 


“Wahai saudara-saudara, sesungguhnya aku telah kalian percayakan untuk memangku jabatan khalifah, padahal aku bukanlah yang paling baik di antara kalian. Sebaliknya, kalau aku salah, luruskan lah langkahku. Kebenaran adalah kepercayaan, dan dusta adalah penghianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat dalam pandanganku, sesudah hak-haknya aku aku berikan kepadanya. Sebaliknya, orang yang kuat di antara kalian aku anggap lemah setelah haknya saya ambil. Bila ada yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menghinakannya. Bila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah aku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi selama aku tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, gugurlah kesetiaan kalian kepadaku. Laksanakanlah shalat, Allah akan memberikanmu rahmat.” 
 

Selama menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi berbagai macam persoalan. Mulai dari banyaknya kabilah yang memutuskan untuk keluar Islam (murtad), maraknya kaum Muslim yang enggan mengeluarkan zakat, hingga munculnya nabi-nabi palsu. 


Memberantas kelompok murtad, pembangkang zakat, dan nabi palsu

 

Wafatnya Nabi Muhammad membuat keyakinan beberapa kabilah terhadap Islam menjadi goyah. Hingga ada sebagian dari mereka yang akhirnya menyatakan diri keluar dari Islam (murtad). Hal itu dilatari oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.

 

Di antaranya adalah ajaran Islam belum meresap dan mengakar ke dalam hati mereka, keyakinannya sudah kacau, tidak menyaksikan kegiatan Nabi Muhammad secara langsung, ingin kembali kepada kebebasan politik dan agamanya yang lama—setelah Nabi tiada, propaganda dari Imperium Romawi Timur dan Persia, dan lain sebagainya. 


Dijelaskan Muhammad Husain Haekal dalam Abu Bakar as-Siddiq (2004), kabilah-kabilah yang tinggal di Makkah, Madinah, dan Taif seperti kabilah Gifar, Bali, Asyja’, Juhainah, Muzainah, Aslam, dan Khuza’ah sudah memiliki keislaman yang mantap setelah sepeninggal Nabi Muhammad.

 

Hal itu berbeda dengan kabilah-kabilah lain yang tinggal jauh dari ketiga kota pusat Islam tersebut seperti Bahrain, Oman, Mahrah, Yaman, dan perkampungan kabilah-kabilah di sebelah utara Madinah. Keislaman mereka belum menentu sehingga membuat mereka murtad setelah Nabi wafat. 

 


Kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah umumnya menyatakan diri masuk Islam setelah Nabi Muhammad dan umat Islam berhasil menaklukkan Makkah (Fathu Makkah). Nabi kemudian mengutus sahabat-sahabatnya untuk mengajarkan Islam kepada kabilah-kabilah yang baru memeluk Islam itu. Namun karena berbagai faktor di atas, akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari Islam.   


Abu Bakar pertama-tama mengirimkan surat kepada orang-orang murtad tersebut. Jika mereka menyambut kembali ajakan memeluk Islam, maka mereka akan dibiarkan. Sementara, jika mereka menolak maka mereka akan ditindak.

 

Singkat cerita, pasukan umat Islam dan orang-orang murtad bertemu dalam Perang Riddah—sebuah peperangan yang sangat menentukan masa depan Islam. Karena jika pasukan Islam kalah, maka masyarakat Arab akan kembali ke dalam kehidupan jahiliyah lagi.

 

Namun, pasukan umat Islam lah yang akhirnya memenangkan peperangan tersebut. Mereka yang murtad terbunuh dalam Perang Riddah, sementara mereka yang masih hidup di kalangan kabilah-kabilah itu kembali memeluk Islam.


Selain itu, persoalan lain yang dihadapi Khalifah Abu Bakar adalah mereka yang masih menyatakan diri sebagai seorang Muslim namun enggan menunaikan zakat. Mereka menganggap zakat itu seperti upeti.

 

Sehingga ketika Nabi Muhammad wafat, mereka merasa tidak perlu lagi membayar dan menyetorkannya ke Madinah. Bagi mereka, zakat bisa diberikan kepada siapa saja dikehendakinya.

 

Dengan kata lain, mereka tidak membayar ke Madinah karena tidak tunduk kepada Khalifah Abu Bakar. Di samping itu, ada juga yang tidak mau membayar zakat karena memang dia memiliki sifat kikir.  


Abu Bakar mengeluarkan keputusan akan memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat tersebut, meskipun orang tersebut melaksanakan shalat. Peperangan kedua belah pihak menjadi tidak terelakkan lagi.

 

Pasukan umat Islam berhasil mengalahkan kabilah Abs, Zubyan, Gatafan, dan kabilah-kabilah lainnya yang enggan membayar zakat dalam sebuah peperangan di Zul -Qassah. Sebagian dari mereka langsung menunaikan zakat dan tunduk kepada Khalifah Abu Bakar, namun sebagian yang lain meninggalkan kampung halamannya dan bergabung dengan  nabi palsu, Tulaihah bin Khuwailid. dari Banu Asad.  


Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq—dimulai akhir-akhir hidup Nabi, muncul beberapa nabi palsu. Untuk menyakinkan orang-orang, mereka mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan. Di antara mereka yang mengaku sebagai nabi adalah Tulaihah bin Khuwailid dari Banu Asad di Yaman dan Musailamah al-Kadzab di Yamamah. 


Tulaihah dan pasukannya berhasil dikalahkan Khalid bin Walid. Dia kemudian lari di Syam dan menetap di sana. Dia juga kembali memeluk Islam setelah mengetahui kabilah-kabilah yang dahulu menjadi pengikutnya juga kembali kepada Islam. Sementara Musailamah terbunuh dalam Perang Yamamah oleh Wahsy—orang yang membunuh Hamzah dalam Perang Uhud dan kemudian masuk Islam. 


Perluasan wilayah Islam

 

Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun tiga bulan. Kendati demikian, dia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam. Abu Bakar mulai menyiapkan rencana-rencana perluasan wilayah Islam setelah berhasil mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri.

 

Ia mengirim pasukan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan Mutsanna bin Haritsah as-Syaibani untuk memebaskan Irak dari cengkeraman imperium Persia. Mereka berhasil mengalahkan pasukan Persia dan menguasai beberapa wilayah di Irak seperti Hirah, Anbar, dan lainnya. 

 


Sementara untuk membebaskan Syria dari kekuatan Romawi, Abu Bakar mengirimkan empat komandan; Yazid bin Abi Sufyan di Damaskus, Syurahbil bin Hasanah di Yordania, Abu Ubaidah di Hims, dan Amr bin al-Ash di Palestina. Tidak hanya itu, Abu Bakar juga meminta Khalid bin Walid—yang berhasil membebaskan beberapa wilayah di Irak- untuk membantu pertempuran di Syria.

 

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, ekspedisi pembebasan Syria belum tuntas. Baru pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, wilayah Syria berhasil dibebaskan.  


Menghimpun Al-Qur’an

 

Pada Perang Yamamah, jumlah yang terbunuh di pihak pasukan Muslim mencapai 1.200 orang, termasuk 39 sahabat besar dan yang hafal Al-Qur’an. Hal ini lah yang menyebabkan munculnya inisiatif untuk mengumpulkan Al-Qur’an pada zaman kekhalifahan Abu Bakar. Adalah Umar bin Khattab yang mengusulkan pengumpulan Al-Qur’an kepada Khalifah Abu Bakar. 


“Aku khawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal Al-Qur’an yang akan terbunuh sehingga Al-Qur’an akan banyak yang hilang, kecuali jika kita himpun. Aku ingin mengusulkan supaya Al-Qur’an dihimpun,” kata Umar bin Khattab kepada Abu Bakar.


Semula Abu Bakar tidak langsung menyetujui usulan Umar tersebut. Dia berpikir, bagaimana mungkin melakukan sesuatu—menghimpun Al-Qur’an- yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Namun setelah berdiskuis dengan Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit—penulis wahyu Nabi, Abu Bakar sepakat dengan usulan penghimpunan Al-Qur’an.

 

Dia kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melacak dan mengumpulkan Al-Qur’an. Pada saat itu, Al-Qur’an ditulis di atas tulang-tulang bahu, dari lembengan-lempengna, pelepah pohon kurma, dan juga dihafal oleh para sahabat. 


Zaid bin Tsabit berhasil menghimpun Al-Qur’an dan menghimpunnya ke dalam lembaran-lembaran dengan penuh ketelitian. Untuk mengecek keaslian Al-Qur’an, Zaid bin Tsabit mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terserak, menyusun, membandingkan, dan kemudian mencocokkannya.

 

Dia tidak akan menetapkan satu ayat Al-Qur’an pun sebelum dia merasa benar-benar yakin bahwa ayat tersebut memang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. 


Lembaran-lembaran Al-Qur’an itu kemudian disimpan di tempat Abu Bakar, lalu di di tempat Umar bin Khattab, dan Hafsah. Proses penghimpunan atau kodifikasi Al-Qur’an terus berlanjut pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan disempurnakan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. 


Wafat 

 

Abu Bakar wafat pada Senin malam, 21 Jumadil Akhir tahun ke-13 H (22 Agustus 634 M). Ia meninggal di usia yang sama dengan Nabi Muhammad, yaitu 63 tahun. Ia mengalami sakit demam beberapa hari sebelum wafat. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada sore hari, setelah matahari terbenam. Dia dimakamkan pada malam hari di samping makam Nabi Muhammad. 


Sebelum wafat, Abu Bakar berwasiat agar dikafani dengan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari dan dimandikan oleh istrinya, Asma binti Umais, dan anaknya, Abdur Rahman. Adalah Aisyah yang mendampingi Abu Bakar di akhir-akhir hidupnya.

 

Abu Bakar meminta agar anaknya itu menyerahkan seorang hamba sahaya, unta penyiram tanaman, sepotong kain, unta penghasil susu, dan wadah untuk mencelup makanan kepada Umar bin Khattab ketika dirinya wafat. Maka Aisyah langsung memberikan itu semua kepada Umar sesaat setelah sang ayahanda wafat. 

 


Di akhir-akhir hayatnya, Abu Bakar kepikiran dengan umat Islam dan siapa yang akan menjadi penggantinya. Setelah berdiskusi dengan sahabat-sahabat besar, Abu Bakar akhirnya berwasiat bahwa yang akan menggantikannya sebagai khalifah adalah Umar bin Khattab.

 

Selain itu, Abu Bakar meminta untuk mengembalikan uang yang diterimanya sebagai khalifah ke baitul mal. Hal itu dilakukan agar dia benar-benar bersih dari segala urusan dunia ketika wafat.


Penulis: Muchlishon Rochmat

Editor: Fathoni Ahmad