Sirah Nabawiyah

Didahului Perselisihan, Abu Bakar Akhirnya Dipilih Jadi Khalifah secara Damai

Kam, 27 Juli 2023 | 23:00 WIB

Didahului Perselisihan, Abu Bakar Akhirnya Dipilih Jadi Khalifah secara Damai

Ilustras Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq. (Foto: NU Online)

Pasca Nabi Muhammad wafat, prinsip musyawarah dalam pemilihan kepala negara telah berjalan dengan baik. Hal ini karena kaum Muslimin sudah terbiasa menerapkan prinsip ukhuwah Islamiyah, berupaya mengedepankan kesepakatan bersama (musawah) dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah berjalan sejak era kenabian.


Namun demikian, di balik lancarnya musyawarah yang secara aklamasi menunjuk Abu Bakar sebagai kepala negara menggantikan Rasulullah, perdebatan sengit terjadi antara sahabat Anshar dan Muhajirin. Perdebatan tersebut merupakan sesuatu yang wajar sebagai prinsip keterbukaan dalam musyawarah. Tetapi belakangan berakhir pada pengakuan kesukuan.


Seperti diketahui, dalam musyawarah tersebut, suku Khazraj menunjuk Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi khalifah pasca Rasulullah. Tapi suku Aus tidak bersedia menerima pencalonan Sa’ad karena mempertimbangkan pencalonan dari kaum Muhajirin. Suku Khazraj bersikukuh atas pendirian mereka untuk mengangkat khalifah meskipun dari kaum Muhajirin juga akan mempertahankan pendiriannya.


Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang terbuka. Keterbukaan tersebut ditunjukkan lewat perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Namun akhirnya secara musyawarah mufakat yang terpilih ialah Abu Bakar As-Shiddiq.


Terkait perdebatan sengit tersebut yang berujung pada pengakuan kesukuan, akhirnya dapat ditengahi oleh Abu Bakar dalam pidatonya yang menyejukkan. Abu Bakar berhasil menyatukan kembali perbedaan dan perdebatan dua kubu tersebut. Substansi pidatonya diterima oleh seluruh kaum Anshar dan Muhajirin karena kesucian hati Abu Bakar yang tidak ada sedikit pun keinginannya untuk dilantik menjadi kepala negara.


Dikutip dari Ahmad Sya’labi dalam Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, Khamami Zada (2018) mengungkapkan pidato Abu Bakar sebagai berikut:


“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah kalian percayakan untuk memangku jabatan khalifah, padahal aku bukanlah yang paling baik di antara kalian. Sebaliknya, kalau aku salah, luruskanlah langkahku. Kebenaran adalah kepercayaan, dan dusta adalah penghianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat dalam pandanganku, sesudah hak-haknya aku aku berikan kepadanya. Sebaliknya, orang yang kuat di antara kalian aku anggap lemah setelah haknya saya ambil. Bila ada yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menghinakannya. Bila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah aku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi selama aku tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, gugurlah kesetiaan kalian kepadaku. Laksanakanlah shalat, Allah akan memberikanmu rahmat.”


Dari pidato Abu Bakar itu dapat ditarik poin-poin penting di antaranya, pertama, Abu Bakar mengakui bahwa dirinya bukanlah orang terbaik. Kedua, dia harus dibantu hanya selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan bila dia berbuat tidak baik. Ketiga, dia akan memberikan hak kepada setiap orang tanpa membedakan yang kuat dan yang lemah. Keempat, ketaatan kepadanya tergantung pada ketaatannya kepada Allah.


Sebelumnya, saat Nabi Muhammad sakit, Abu Bakar Ash-Siddiq diminta untuk menggantikan Rasul menjadi imam shalat. Permintaan Rasul ini menjadi diskusi para sahabat kala itu, sebagai tanda Abu Bakar menjadi pemimpin baru umat Islam. Namun seperti yang telah dijelaskan di awal, musyawarah tetap harus ditempuh oleh para sahabat dalam menetapkan pemimpin.


Dalam angan-angannya, tidak sedikit pun terlintas di benak Abu Bakar As-Shiddiq untuk menggebu-gebu menjadi kepala negara menggantikan Rasulullah saw yang wafat. Sifat lembut dan penyabarnya hanya membuat dia sibuk mengurus jenazah Nabi Muhammad di saat sahabat lain, khususnya sahabat Anshar berjibaku membicarakan transisi kepemimpinan. Abu Bakar ditemani Ali bin Abi Thalib ketika mengurus jenazah Rasulullah.


Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam (2010) menjelaskan, ketika seluruh sahabat sedang berduka, tiba-tiba datang seseorang menyampaikan kabar kepada Umar bin Khattab bahwa para sahabat Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah untuk mengangkat pengganti Nabi Muhammad. Bahkan kaum Anshar telah menunjuk Sa’ad bin Ubadah kala itu.


Kabar tersebut seketika membuat Umar bin Khattab terperanjat dan meminta bantuan salah seorang sahabat untuk memanggil Abu Bakar yang sedang menemani Ali bin Thalib mengurus jenazah Nabi Muhammad. Abu Bakar ditemani Umar terpaksa harus menyelesaikan masalah dengan sahabat Anshar tersebut. Meskipun pada akhirnya sahabat Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar, tapi transisi kepemimpinan pasca-Nabi ini cukup membuat para sahabat berselisih.


Menurut Badri Yatim, perselisihan tersebut yang membuat Ali bin Abi Thalib menyayangkan. Sebab, di saat dirinya, keluarga Nabi, dan umat sedang berduka amat dalam, tetapi di sisi lain para sahabatnya berselisih tentang kepemimpinan pasca-Nabi. Ali bin Abi Thalib bukan tidak suka orang sejujur, sebaik, dan sebersih Abu Bakar menjadi khalifah, tetapi menurut dia kurang tepat meributkan pengganti Nabi di saat masih dalam keadaan berduka. Namun pada akhirnya, Ali ikut berbaiat kepada Abu Bakar.


Menggambarkan sosok Abu Bakar, Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (2014) menjelaskan bahwa Abu Bakar menjadi penerus Nabi Muhammad pada 8 Juni 632 M. Abu Bakar melaksanakan semua tugas dan meneladani seluruh keistimewaan Nabi, kecuali hal-hal yang terkait dengan kenabiannya. Karena kenabian berakhir seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad saw.


Dalam hal pergantian kekuasaan, sejarah mencatat bahwa sebelum wafat, Rasulullah tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya dalam kedudukan sebagai kepala negara. Namun, Rasulullah meninggalkan wasiat agar kaum mukmin untuk tetap berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara substansial. Di mana di dalam dua sumber utama umat Islam tersebut tradisi musyawarah (syura) diakui dan mendapat keutamaan tersendiri.


Dari petunjuk tersebut, sistem pemilihan dan pergantian khalifah didasarkan pada musyawarah atau kesepakatan umat, bukan semata-mata pertimbangan penunjukan atau garis keturunan keluarga tertentu. Namun, pengelolaan negara dalam perspektif pergantian kekuasaan mengalami perkembangan sistem pemerintahan. Sehingga ada yang berbentuk dinasti, kerajaan (mamlakah), republik (syura), dan lain-lain.