Sirah Nabawiyah

Hukum Mengingkari Isra' Mi'raj

Sab, 10 Februari 2024 | 09:45 WIB

Hukum Mengingkari Isra' Mi'raj

Ilustrasi: Isra' Mi'raj (NU Online);

Isra' dan Mi'raj adalah dua peristiwa besar yang kehadirannya berhasil menggeser Islam sampai hampir menjemput kehancuran. Baginda Nabi Muhammad Saw. sesaat setelah menyampaikan kisah perjalanannya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha di hadapan sekalian Masyarakat Arab Makkah. Tiba-tiba saja sikap mereka berubah pada Islam dan baginda Nabi. Dari yang sebenarnya beriman, seketika menjelma ragu dan bimbang. Bahkan, tidak sedikit umat yang imannya masih lemah malah banting setir ke agama lamanya.

 

Bila dikaji secara rasional, wajar saja hal demikian terjadi. Lantaran jarak tempuh antara Makkah ke Palestina yang mencapai sekitar 1.500 kilometer. Sekurangnya bisa memakan waktu hingga 40 hari dengan perjalanan unta. Belum termasuk perjalanan pulangnya. Sebagian penduduk Arab Makkah yang telah sempat ke Palestina, menolak mentah-mentah informasi yang disampaikan baginda Nabi tersebut. Terutama informasi perjalanan kedua, mikraj. Dari Masjidilaqsa ke Sidratulmuntaha. Tempat yang sama sekali belum pernah disinggahi manusia manapun. Lebih parah lagi, saat baginda Nabi menginformasikan bahwa ia menempuh keduanya dalam waktu yang super singkat. Berangkat di waktu malam dan tiba kembali di Makkah sebelum fajar. 
 

Wajar saja Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam Al-Anwarul Bahiyah halaman 20 mengatakan, “Wa khawariqul adat la tuqasu bil uqul”, peristiwa-peristiwa “luar biasa”, tak dapat dinilai dengan standar logika.

 

Pengertian dan Dalil Isra' Mi'raj

Seperti yang telah banyak ditulis dan disampaikan di pelbagai majelis taklim, bahwa Isra' adalah perjalanan baginda Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina. Sedang Isra' Mi'raj adalah perjalanan baginda Nabi dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha. Suatu tempat yang tak pernah disinggahi seorang pun di persada ini sebelumnya.
 

Terkait apakah Isra' Mi'raj ini adalah perjalanan fisik atau ruh saja, ternyata menuang banyak silang pendapat di kalangan para ulama. Namun, pendapat yang benar adalah yang mengatakan perjalanan fisik. Bukan semata ruh. Perbincangan ini termuat dalam Al-Kautsar Al-Jari. (Ahmad bin Ismail Al-Kaurani ​​​, Al-Kautsar Al-Jari ila Riyadhi Ahadist Al-Bukhari, [Beirut, Dar at-Turast al-‘Arabi: 2008] juz II, halaman 27).
 

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa perjalanan baginda Nabi bukan semata ruh, apalagi hanya dalam mimpi, adalah penggalan pertama surat Al-Isra’:
 

‌سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

 

Artinya, “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Al-Isra’ : 1).
 

Adapun penggalan pertamanya adalah redaksi subhanalladzi asra bi ‘abdihi (Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad)). Dengan redaksi Al-Quran yang menyebut kata “hamba” (al-‘abdu), menunjukkan bahwa yang dijalankan adalah sosok manusia secara komplet; ruh dan jasad. Dalam Al-Anwarul Bahiyah halaman 15 disebutkan, wal ‘abdu haqiqat(an) huwa ar-ruh wal jasad. 
 

 

Hukum Meyakini dan Mengingkari Isra' Mi'raj

Bicara tentang Isra' dan Mi'raj sebagai peristiwa besar yang berjalan di luar batas nalar manusia, tentu menuai banyak silang pendapat; banyak yang meyakini, namun tidak sedikit pula yang mengingkarinya. Kendati demikian, aqidah Ahlussunah wal Jamaah kokoh menyuarakan kewajiban meyakini terjadinya.
 

Mengingkari Isra' akan mengantarkan seseorang pada kekufuran. Mengingat, teks-teks syariat telah menyatakannya begitu tegas dan lugas (sharih ad-dalalah). Sedangkan mengingkari peristiwa Mi'raj, hanya mengantarkan seseorang pada lingkaran kefasikan. Lantaran, dalam peristiwa Mi'raj ini menuai banyak silang pendapat di kalangan para ulama. Sehingga, konsekuensi pengingkarannya tak sampai pada tataran kufur.

 

Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri dalam Tuhfatul Murid 'ala Jauharati at-Tauhid membedakan hukum mengingkari Isra' dan Mi'raj sebagai berikut:
 

والإسراء من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى ثابت بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين، فمن أنكره كفر. والمعراج من المسجد الأقصى إلى السماوات السبع ثابت بالأحاديث المشهورة، ومنها إلى الجنة، ثم إلى المستوى أو العرش أو طرف العالم من فوق العرش، على الخلاف في ذلك ثابت بخبر الواحد. فمن أنكره لا يكفر ولكن يفسق
 

Artinya, “Peristiwa Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa ditetapkan berdasarkan teks Al-Quran, hadits dan ijma' ulama, sehingga orang yang mengingkarinya berada dalam kekufuran. Sedangkan Mi'raj dari Masjidil Aqsa ke langit ketujuh, didasarkan pada hadits masyhur. (Ada yang mengatakan) sampai ke surga, kemudian menuju tempat tinggi. (Ada yang mengatakan) menuju Arasy, atau ke tempat yang lebih tinggi lagi dari Arasy. Perbedaan pendapat ini (selain yang pertama) didasari oleh hadits yang diterima oleh seorang saja (khabar ahad). Karenanya, orang yang mengingkari peristiwa Mi'raj tidak sampai pada kekafiran. Melainkan hanya sampai pada tataran fasik.” (Ibrahim bin Muhammad Al-Baijuri, Tuhfatul Murid 'ala Jauharati at-Tauhid, [Dar as-Salam] halaman 233).

 

Berdasarkan uraian yang disari dari pelbagai sumber di atas; dari Sayyid Muhammad Al-Maliki, Al-Kaurani dan Ibrahim Al-Baijuri, bisa dipahami bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj ddalam aqidah Ahlussunah wal Jamaah merupakan peristiwa penting dan bersejarah yang harus diyakini. Wajar saja penganut ajaran Ahlussunah wal Jamaah di berbagai sudut bumi, di setiap bulan Rajab, merayakannya. Tiada lain sebagai ekspresi kebahagiaan serta penghormatan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.
 

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumni Ma’had Aly Situbondo, tinggal di Lombok Tengah, NTB.