Sirah Nabawiyah

Imam Haramain al-Juwaini: Sanad Keilmuan dan Karya-karyanya

Jum, 10 April 2020 | 01:00 WIB

Imam Haramain al-Juwaini: Sanad Keilmuan dan Karya-karyanya

Imam Haramain adalah seorang pakar terbesar ilmu ushul fiqh setelah wafatnya Imam Syafi’i. (Ilustrasi: madina365.com)

Dalam banyak kajian ushul fiqh di berbagai kitab mazhab Syafi'i nama Imam Haramain selalu disebut. Imam Haramain adalah seorang ulama besar yang berhasil menelurkan ulama besar sekaliber Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi atau biasa kita sapa Imam al-Ghazali.

 

Beliau bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Abdullah atau lebih sering disebut dengan Imam Haramain al-Juwaini. Gelar “al-Imam” yang disematkan kepadanya adalah berkat luhurnya keilmuan beliau. Tercatat ada dua ulama yang pertama kali memberikan gelar “al-Imam” kepadanya, yaitu Syekh Husain al-Baghawi, pengarang kitab tafsir Ma'alim at-Tanzil (w. 516 H) dan Syekh Ibnu Abi ad-Dam, pengarang kitab Adab al-Qadha' (w. 642 H). Banyak ulama besar yang menyebutnya dengan gelar al-imam dalam kitab-kitab mereka di antaranya adalah imam Abdul Karim ar-Rofi'i (w. 623 H), imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H), Syekh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi (w. 543 H), Syekh Ibnu Shalah dalam kitab Musykil al-Wasith (w. 643), Syekh Ibnu Abdus Syakur dalam kitab Muslim ats-Tsubut (w. 1119 H), Syekh Ibnu Hisyam dalam kitab Mughni al-Labib (w. 761 H).

 

Dalam istilah ulama ahli fiqh, gelar “al-Imam” hanya ditunjukkan kepada pendiri mazhab fiqh sebagaimana Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Akan tetapi, khusus Imam Haramain al-Juwaini ia mendapatkan gelar “al-Imam” sebagai sebuah penghargaan atas karya-karyanya yang menjadi rujukan mazhab baik dalam ilmu ushul fiqh maupun ilmu fiqih.

 

Gelar Haramain disematkan kepadanya sebab ia pernah menetap dan mengajar selama empat tahun di kota Makkah dan kota Madinah. Sedangkan al-Juwaini disematkan karena orang tuanya tinggal di dataran Juwain, sebuah dataran di provinsi Qazvin negara Iran meskipun Imam Haramain sendiri banyak menghabiskan hidupnya di kota Naisabur, sebuah kota di provinsi Khurasan negara Iran.

 

Imam Haramain al-Juwaini lahir pada tahun 419 H di kota Naisabur. Ia terlahir dari sebuah keluarga besar yang penuh dengan ilmu. Ayahnya yang bernama Abdullah bin Yusuf adalah seorang ulama besar pakar ilmu fiqih yang dijuluki “Rukn al-Islam (pilar Islam). Di antara karya ayahnya ini adalah kitab al-Furuq, kitab as-Silsilah, kitab Syarh ar-Risalah dan masih banyak lagi. Sedangkan pamannya yang bernama Ali bin Yusuf adalah ulama yang masyhur dengan penguasaan ilmu hadits dan memiliki gelar “Syaikhul Hijaz” (guru rujukan masyarakat Hijaz). Di antara karya Ali bin Yusuf adalah kitab as-Salwah.

 

Imam Tajuddin as-Subki dalam kitab Thabaqat as-Syafi'iyyah menceritakan, “Imam Haramain al-Juwaini terlahir dari keluarga yang penuh dengan ilmu. Sejak kecil ia telah menguasai ilmu gramatika bahasa Arab dengan sangat baik. Hingga ia memiliki tingkat kefasihan yang sangat tinggi dalam berbahasa Arab. Tidak ada ulama di antara empat mazhab fiqh di zamannya yang mampu menandingi kefasihannya dalam berbahasa Arab."

 

Imam Haramain menghabiskan sepuluh tahun untuk mengembara mengelilingi provinsi Khurasan di negara Iran, ibu kota Baghdad di negara Iraq, hingga dataran Hijaz. Pada awalnya, Imam Haramain berguru kepada ayahnya, yaitu Syekh Abdullah bin Yusuf al-Juwaini. Sejak kecil Imam Haramain telah menunjukkan bakat kecerdasannya dalam ilmu fiqih. Hingga pada tahun 439 H ayahnya wafat. Semenjak itu, Imam Haramain menggantikan ayahnya mengajar di kota Naisabur. Saat itu, Imam Haramain menginjak umur 20 tahun. Kemudian Imam Haramain melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Baihaqi di kota Naisabur dibawah bimbingan Abu Qasim Abdul Jabbar bin Ali bin Muhammad yang masyhur dengan julukan Al-Iskafi al-Isfiraini (w. 452 H).

 

Dari Syekh al-Iskafi inilah Imam Haramain mendapatkan kematangan dalam ilmu aqidah dan ilmu ushul fiqh. Selain itu, Imam Haramain juga berguru kepada Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Muqri' atau yang dikenal juga dengan Abu Abdullah al-Khubazi (w. 449 H), seorang ulama Al-Qur'an terbesar di kota Naisabur pada zamannya. Dari Syekh al-Khubazi inilah Imam Haramain mempelajari ilmu Al-Qur'an. Dilanjutkan dengan berguru kepada Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhran atau yang lebih dikenal dengan al-Hafidz Abu Nu'aim al-Ashbihani (w. 430 H), seorang ulama pakar Hadits terbesar di zamannya yang konon selama 14 tahun tidak ada ulama ahli hadits yang mampu menandingi beliau baik di barat maupun di timur. Imam Haramain mendapatkan banyak ijazah riwayat Hadits dari al-Hafidz Abu Nu'aim.

 

Selain berguru kepada ulama-ulama besar tersebut Imam Haramain juga berguru kepada Abu Hissan Muhammad bin Ahmad al-Muzakki, Abu Sa'id Abdurrahman bin Hamdan an-Nashrawi, Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Muzakki, Abu Abdurrahman Muhammad bin Abdul Aziz an-Nili, Abu Sa'id Abdurrahman bin Hasan bin Aliyyak, dan Abu Hasan Ali bin Fadhal bin Ali al-Mujasyi'.

 

Selama hidupnya Imam Haramain tak pernah menyianyiakan waktunya kecuali untuk ilmu. Ia pernah mengatakan kepada murid-muridnya, "Aku tidak pernah makan dan tidur seperti kebanyakan orang. Aku tidur ketika sudah sangat payah baik siang maupun malam dan aku makan ketika sudah sangat lapar."

 

Pujian dari para Ulama

Imam Tajuddin as-Subki mencatat di dalam kitab Tabaqat asy-Syafi'iyyah, "Di antara gambaran lembutnya hati Imam Haramain adalah beliau mudah tersentuh hatinya, mudah menangis ketika merenung. Ketika ia menjelaskan pelajaran tasawuf maka pendengarnya akan menangis sebab mendengar tangisan Imam Haramain. Bahkan pernah suatu ketika murid-muridnya meneteskan darah dari kelopak matanya sebab terlalu banyak menangis bersama Imam Haramain. Ia juga sangat teliti dan terperinci ketika menjelaskan kalam ulama ahli tasawuf. Digambarkan seolah-olah ketika ia memberikan nasihat maka pendengarnya seolah mendapatkan hatinya bersih kembali. Imam Haramain adalah seorang ulama yang rendah hati ia tak segan untuk belajar sebuah ilmu kepada murid-muridnya. Kenikmatan yang ia harapkan adalah nikmatnya ilmu dan mengulang-ngulang ilmu yang telah ia fahami. Imam Haramain juga meyakini bahwa mempelajari ilmu tidak terbatas waktu selama hidupnya ia selalu belajar dari siapapun yang ia temui.”

 

Syekh Abu Hasan Ali bin Fadhal bin Ali al-Mujasyi' mengatakan "Sungguh aku tak pernah melihat seseorang yang sangat asyik mencari ilmu seperti Imam Haramain." Pujian ini diutarakan Syekh Abu Hasan Ali bin Fadhal bin Ali Mujasyi' lantaran melihat semangat belajar Imam Haramain yang sangat luar biasa. Dikisahkan, Imam Haramain belajar kitab Iksir adz-Dzahab fi Shana'at al-Adab kepada Abu Hasan Ali bin Fadhal bin Ali Mujasyi' di usia Imam Haramain yang menapaki umur 50 tahun.

 

Syekh Ali bin Hasan bin Abi Thayyib dalam kitab Dumyat al-Qashr memuji, "Imam Haramain ketika menjelaskan ilmu fiqih seolah-olah ilmu Imam Mazini, murid terhebat Imam Syafi’i bagaikan sebuah setetes air hujan di hadapan hujan yang lebat. Dan ketika Imam Haramain menjelaskan ilmu tauhid seolah-olah ilmu Imam Abu Hasan al-Asy'ari, pendiri mazhab Asy'ariyyah dalam ilmu aqidah bagaikan sehelai rambut di hadapan seikat rambut."

 

 

Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi mengatakan kepada murid-murid Imam Haramain, "Nikmatilah ilmu bersama Imam Haramain, sungguh ia adalah gudangnya ilmu di zaman ini." Dalam kesempatan yang lain, Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi memuji Imam Haramain, "Duhai sumber ilmu bagi barat maupun timur, sungguh telah menikmati lezatnya ilmu darimu baik ulama di zamanmu maupun di zaman setelahmu, sungguh engkau adalah pemimpin para ulama."

 

Al-Hafidz Abu Muhammad al-Jurjani mengatakan, "Imam Haramain adalah pemimpin ulama di zamannya dan seorang yang luar biasa di masanya. Tidak ada bandingannya baik dalam pengajarannya, hafalannya, maupun kefashihan lisannya.”

 

Syekh al-Hafidz Abdul Ghafir al-Faris memuji Imam Haramain, "Sungguh ia adalah Imam Haramain, kebanggaan Islam, pemimpin para ulama secara mutlak, gudang ilmu syariah yang diakui baik di barat maupun di timur. Tidak akan pernah ada ulama sepertinya baik di zaman sebelumnya maupun di zaman setelahnya."

 

Karya-karya Imam Haramain

Memang diakui Imam Haramain adalah seorang pakar terbesar ilmu ushul fiqh setelah wafatnya Imam Syafi’i. Hal ini ditunjukkan dengan karya-karya beliau yang sangat luar biasa. Di antara kitab-kitab karya Imam Haramain adalah

 

  1. Kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab. Kitab ini dipandang sebagai sebuah kitab yang merangkum seluruh pemikiran Imam Haramain dalam ilmu fiqih sepanjang hidupnya. Imam Ibnu Subki mengatakan, "Tidak dikarang karya dalam mazhab Syafi'i yang hebatnya melebihi kitab Nihayah al-Mathlab karya Imam Haramain.”

 

  1. Kitab Mukhtashar an-Nihayah. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Nihayah al-Mathlab yang dikarang sebelumnya. Imam Haramain berkomentar atas karyanya ini "Sungguh kitab Mukhtashar ini tebalnya tak lebih dari setengah kitab Nihayah al-Mathlab, akan tetapi isinya berkali-kali lipat lebih lengkap dari kitab Nihayah al-Mathlab. Imam Ibnu Subki berkomentar, "Kitab ini adalah kitab yang sangat agung, salah satu karya terbaik Imam Haramain.”

 

  1. Kitab at-Talkhis fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah sebuah ringkasan dan penjelasan terhadap kitab at-Taqrib wa al-Irsyad al-Kabir yang ditulis oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani. Kitab ini adalah karya pertama Imam Haramain dalam ilmu ushul fiqh dan ditulis semasa menetap di kota Makkah.

 

  1. Kitab Asy-Syamil fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah kitab terbesar yang dikarang oleh Imam Haramain. Sayangnya, sebagian besar kitab ini hilang dari sejarah. Hanya satu juz kecil yang dapat diselamatkan dan masih berbentuk manuskrip.

 

  1. Kitab al-Irsyad ila Qawathi' al-Adillah fi Ushul al-'Itiqad. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab asy-Syamil yang telah dikarang sebelumnya.

 

  1. Kitab Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adz-Dzulam atau dikenal dengan kitab al-Ghiyatsi. Kitab ini menjelaskan tentang ilmu politik Islam baik dari segi takaran maupun timbangannya dalam syariat.

 

  1. Kitab al-Kafiyah fi al-Jadal. Kitab ini menjelaskan tentang tata cara dan kode etik dalam perdebatan yang mampu menghasilkan kesimpulan akhir/natijah.

 

  1. Kitab al-Asalib wa al-'Umd. Kitab ini beberapa kali disebut Imam Haramain dalam kitab al-Burhan dan dicatat oleh Ibnu Subki dalam kitab Thabaqat asy-Syafi'iyyah.

 

  1. Kitab ad-Durrah al-Mudhiy'ah fima Waqa'a fihi al-Khilaf baina Syafi'iyyah wa al-Hanafiyyah. Kitab ini membahas tentang perbedaan pendapat di antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi'i. Pertama kali dicetak pada tahun 1986 M dan ditahqiq oleh Dr. Abdul Adzim ad-Dieb.

 

  1. Kitab al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah kitab yang sangat ringkas dan banyak dipakai dalam ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Haramain hanya menjelaskan tentang dasar-dasar penting ilmu Ushul Fiqh tanpa terlalu dalam membahas perbedaan pendapat ulama dalam ilmu aqidah.

 

  1. Kitab at-Tuhfah fi Ushul al-Fiqh. Sayangnya, kitab ini hilang dari sejarah.

 

  1. Kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Kitab ini adalah karya terakhir Imam Haramain dalam ilmu ushul fiqh. Kitab al-Burhan bersama kitab al-Mustashfa karya Muhammad al-Ghazali adalah karya terbaik dalam ilmu aqidah yang dihadirkan oleh ulama dari mazhab Syafi'i. Kitab ini juga disebut sebagai kitab terbaik dalam mempelajari ilmu ushul fiqh. Dalam kitab ini, Imam Haramain banyak mencabut pendapat yang telah ia tetapkan dalam karya-karya di bidang ilmu ushul fiqh yang telah ia tulis sebelumnya.

 

Menurut Dr. Abdul Adzim ad-Dieb, dalam kitab al-Burhan Imam Haramain memiliki 25 pendapat yang berbeda dari Imam Syafi’I, 3 pendapat yang berbeda dari Imam Abu Hasan al-Asy'ari, serta 41 pendapat yang berbeda dari Imam Abu Bakar al-Baqillani. Kitab al-Burhan milik Imam Haramain adalah kitab yang disebut sebagai inspirasi Imam ar-Razi (w. 606 H) dalam menyusun karya al-Mahshul yang legendaris serta bahan inspirasi Imam Muhammad al-Ghazali (w. 505 H) dalam menyusun kitab al-Mankhul min Ta'liq al-Ushul.

 

  1. Kitab Mughits al-Khalq fi Tarjih Qaul al-Haq. Dalam kitab ini, Imam Haramain menjelaskan keunggulan mazhab Syafi'i dibandingakan mazhab-mazhab fiqh yang lain. Kitab ini ditulis setelah Imam Haramain menyelesaikan karya al-Burhan. Sayangnya, ulama-ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan Maliki melihat Imam Haramain terlalu fanatik dengan mazhab Syafi'i serta terlalu melihat rendah terhadap mazhab yang lain. Oleh karena itu, Imam al-Kautsari dari mazhab Hanafi membuat kritikan dan bantahan atas kitab ini dengan karya beliau yang berjudul Ihqaq al-Haq bi Ibthal al-Bathil fi Mughits al-Khalq.

 

 

Murid-murid Imam Haramain

Imam Haramain memiliki banyak murid dari berbagai penjuru dunia. Bahkan, Imam as-Sam'ani dalam kitab al-Ansab mengatakan, "Allah memberkahi seluruh murid Imam Haramain sehingga banyak dari mereka yang menjadi pembesar ulama di berbagai tempat. Di antara murid-murid Imam Haramain adalah:

 

  1. al-Alim Al-Allamah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H), beliau mampu menyerap seluruh ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqh yang diajarkan Imam Haramain dengan waktu terhitung singkat. Di antara kitabnya yang terkenal dalam ilmu aqidah adalah al-Mustashfa.

 

  1. al-Alim Al-Allamah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ali at-Thabari atau yang lebih dikenal dengan Imad ad-Din Ilkiya al-Harrasi. Syekh Abdul Ghaffar al-Faris mengatakan, "Ilkiya al-Harrasi adalah al-Ghazali kedua bahkan ia lebih merdu suaranya, lebih bagus gaya debatnya, lebih baik penjelasannya dibandingkan al-Ghazali. Meskipun begitu, al-Ghazali lebih cepat dalam menjelaskan dan berargumentasi dibandingkan Ilkiya al-Harrasi.”

 

  1. Al-Imam Abu Nashr Abdurrahman bin Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Qusyairi (w. 514 H). Beliau menimba ilmu ushul fiqh kepada Imam Haramain dan Imam Haramain belajar ilmu Hisab kepada Imam Ibnu Qusyairi.

 

  1. Al-Imam Abu Mudzoffar Ahmad bin Muhammad bin al-Mudhaffar an-Naisabur atau dijuluki juga dengan al-Khowwafi (w. 500 H). Beliau adalah murid terbaik Imam Haramain yang ahli dalam perdebatan. Bahkan, Ibnu Asakir dalam kitab Tanbih Kidzb al-Muftari mengatakan, "Imam al-Ghazali dikaruniai keunggulan dalam karya tulisnya sedangkan al-Khawwafi dikaruniai keunggulan dalam keahlian debatnya.”

 

Imam Haramain menghabiskan sisa hidupnya untuk jihad di jalan Allah. Hingga ia wafat pada malam hari Rabu setelah shalat Isya' bertepatan dengan tanggal 25 bulan Rabiul Awwal tahun 478 H. Ia wafat pada umur 59 tahun lebih 3 bulan lebih 7 hari. Ikut mengimami sholat jenazah Imam Haramain di antaranya adalah Abu Qasim, salah satu putra Imam Haramain.

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

 

====


Tulisan ini disarikan dari kitab "al-Ushul wal Ushuliyyun" karya Dr. Muhammad Ibrahim al Hafnawi, Dekan jurusan Ushul Fiqh Universitas al-Azhar Kairo, Mesir