Sirah Nabawiyah

Perang Mutah dan Mukjizat Rasulullah

Sab, 21 Januari 2023 | 09:00 WIB

Perang Mutah dan Mukjizat Rasulullah

Mukjizat Rasulullah muncul pada banyak momen termasuk pada Perang Mu'tah. (Ilustrasi: via n-num.com).

Bila kita sempat mengunjungi negara Yordania pasti kita akan diajak ke sebuah tempat bersejarah yang bernama kawasan Mu’tah. Kawasan Mu’tah adalah tempat bersejarah di mana umat Islam mengalahkan ratusan ribu tentara Romawi yang terkenal bengis nan kejam. Kisah heroik Khalid bin Walid dalam menyusun strategi adalah kunci dalam kemenangan bersejarah umat Islam ini.


Kisah ini dimulai dengan diutusnya al-Harits bin ‘Umair al-Azdi sebagai delegasi Rasulullah guna mengantarkan seruan dakwah kepada raja kota Bushra di negara Suriah. Di tengah perjalanan tepatnya di kawasan Mu’tah, al-Harits bin ‘Umair al-Azdi disergap oleh Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani dan kelompoknya.


“Mau pergi ke mana?” tanya Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani.


“Aku ingin pergi ke negara Syiria,” jawab al-Harits bin ‘Umair al-Azdi.


“Jangan-jangan kamu adalah utusan Muhammad,” tanya Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani dengan ketus.


Al-Harits bin ‘Umair al-Azdi menjawab dengan mantap “Benar, aku adalah utusan Rasulullah.” Maka Syurahbil pun menyekap dan memenggal kepala al-Harits bin ‘Umair al-Azdi. 


Kabar kematian yang memilukan ini pun sampai di telinga umat Islam kota Madinah. Para sahabat sangat marah dengan datangnya kabar ini. Setelah shalat dzuhur berjamaah, Rasulullah pun mengumpulkan seluruh sahabat serta menunjuk daftar panglima perang di antara mereka. Terpilihlah pemuda-pemuda yang gagah rupawan, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah sebagai pemimpin perang.


عن عبد الله بن عمر قال أمر رسول الله في غزوة مؤتة زيد بن حارثة فقال رسول الله إن قتل زيد فجعفر وإن قتل جعفر فعبد الله بن رواحة.


Artinya, “Diceritakan dari Abdullah bin Umar, beliau mengatakan ‘Rasulullah menunjuk Zaid bin Haritsah (sebagai pemimpin) pada perang Mu’tah. Kemudian, Rasulullah bersabda ‘Apabila Zaid terbunuh, maka (digantikan) Ja’far, dan apabila Ja’far terbunuh, maka (digantikan) Abdullah bin Rawahah,’” (HR Bukhari).


Rasulullah berpesan kepada para sahabat yang berangkat berperang, “Peranglah di jalan Allah. Bila kalian mendapati orang-orang yang beribadah di kuil-kuil mereka, maka janganlah kalian ganggu mereka. Janganlah kalian membunuh perempuan, anak kecil, serta orang yang lanjut usia. Janganlah kalian merusak pepohonan dan janganlah kalian merobohkan rumah-rumah mereka.”


Berangkatlah 300 umat islam dengan gagah berani menjamah medan perang. Rupanya, hal ini membuat Heraklius, Raja Romawi ketakutan. Heraklius pun mengumpulkan seratus ribu prajurit Romawi dari berbagai daerah. Tak hanya itu, ia juga mendapatkan bantuan seratus ribu prajurit dari suku-suku Nasrani di sekitar jazirah Arab.


Tentu, hal ini membuat gusar hati sebagian prajurit umat islam. Sebagian prajurit mengusulkan “Sebaiknya kita kabarkan dahulu kepada Rasulullah atas jumlah musuh yang sangat banyak, mungkin saja Rasulullah menyuruh kita kembali atau Rasulullah akan mengirimkan bala bantuan dari kota Madinah.”


“Wahai para prajurit, demi Allah tidaklah kita berperang dengan banyaknya jumlah, senjata, ataupun kuda tunggangan tetapi kita berperang dengan agama yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Seandainya kita menang, maka itulah yang telah Allah dan rasul-Nya janjikan untuk kita. Seandainya kita kalah, maka kita akan bertemu teman-teman kita di surga,” ujar Abdullah bin Rawahah menyemangati para prajurit umat Islam. (Al-Waqidi Muhammad bin Umar, Al-Maghazi, [Beirut: Dar al-‘Alami, 2004 M], juz II, halaman 759).


Peperangan pun terjadi dengan sangat sengit. Tak lama kemudian Zaid bin Haritsah roboh dengan banyak anak panah menancap di sekujur tubuhnya. Kemudian, Ja’far bin Abu Thalib datang mengambil bendera perang dari Zaid bin Haritsah. Dengan gagah berani ia maju seraya mendendangkan syair:


يا حبذا الجنة واقترابها # طيبة وباردا شرابها


Artinya, “Sungguh indah sekali, surga telah mendekat (kepadaku)//Ia (surga) sangat indah serta sangat sejuk airnya.”


Maka, Ja’far bin Abu Thalib memegang erat bendera perang di tangan kanannya. Sayangnya, tangan kanannya putus ditebas musuh. Kemudian, Ja’far bin Abu Thalib memegang erat bendera perang di tangan kirinya. Sayangnya, tangan kirinya juga putus ditebas musuh. Maka, Ja’far bin Abu Thalib tetap mempertahankan bendera perang dengan lengannya yang masih tersisa hingga ia mati syahid. Dengan sebab inilah, Allah mengganti dua tangan Ja’far bin Abu Thalib yang terputus dengan dua sayap yang indah di surga.


قال رسول الله رأيت جعفر بن أبي طالب في الجنة ذا جناحين يطير حيث شاء


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Aku melihat Ja’far bin Abu Thalib memiliki dua sayap, ia terbang ke manapun ia mau,’” (HR Thabrani).


Kemudian, bendera pun diambilalih oleh Abdullah bin Rawahah seraya mendendangkan sebuah syair indah


يا نفس إن لم تقتلي تموتي # هذا حمام الموت قد صليت


Artinya, “Wahai diriku, seandainya engkau tidak terbunuh nantinya engkau juga mati//Merpati kematian telah memanggilmu."


Ia menghunus pedangnya dan berlari menuju kerumunan musuh. Sayangnya, Abdullah bin Rawahah terbunuh dan mati syahid. (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah [Kairo: Maktabah al-Halabi, 1995] juz II, halaman 379).


Uniknya, Rasulullah menceritakan jalannya perang Mu’tah dari tempat yang jauh di kota Madinah. Padahal, saat itu belum ada kabar berita sedikitpun yang sampai kepada penduduk kota Madinah.


عن أنس أن النبي نعى زيدا وجعفرا وابن رواحة للناس قبل أن يأتيهم خبرهم فقال أخذ الراية زيد فأصيب، ثم أخذ جعفر فأصيب ثم أخذ ابن رواحة فأصيب


Artinya, “Diceritakan dari sahabat Anas bahwa Rasulullah menceritakan Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah kepada manusia sebelum datangnya kabar kepada mereka. Rasulullah bersabda, ‘Bendera perang dibawa oleh Zaid, kemudian ia wafat. Selanjutnya, (bendera perang) dibawa oleh Ja’far, kemudian ia wafat. Selanjutnya, (bendera perang) dibawa oleh Ibnu Rawahah, kemudian ia wafat,’” (HR Bukhari).


Kemudian, bendera perang diambil alih  oleh Tsabit bin Aqwam.


“Wahai umat islam, musyawarahlah terkait siapa yang pantas memimpin kita di medan perang,” ujar Tsabit bin Aqwam.


Maka, berebutlah umat Islam mengajukan diri untuk meraih bendera perang. Kemudian, Tsabits bin Arqam mengatakan, “Ambillah bendera perang ini wahai Khalid bin Walid, demi Allah tidaklah pantas membawa bendera ini selain engkau.”


Diceritakan bahwa peperangan harus dihentikan sementara karena telah masuk waktu malam. Esok harinya, Khalid bin Walid membuat strategi baru. Ia mengubah pasukan di sayap kanan untuk menempati posisi sayap kiri serta mengubah pasukan di sayap kiri untuk menempati posisi sayap kanan. Selain itu, ia juga mengubah pasukan di barisan depan untuk menempati barisan belakang dan sebaliknya.


Strategi ini sangat jitu karena membuat pasukan musuh menyangka telah datang bala bantuan yang banyak dari Rasulullah. Hal ini karena mereka kebingungan melihat formasi umat islam yang telah berganti di medan perang. Akhirnya, umat islam pun berhasil memenangkan peperangan. (Al-Maqrizi, Imta’ul Asma’ [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah] juz I, halaman 340).


Hikmah yang dapat diambil dari kisah bersejarah ini adalah

- Semangat pantang menyerah dalam menjunjung tinggi agama Allah pasti mendapatkan pertolongan dari Allah sebagaimana yang terjadi pada umat islam di perang Mu’tah.


- Pentingnya merubah strategi dalam menghadapi sebuah permasalahan hidup. Kerja keras tidaklah cukup bila tanpa dibarengi dengan kerja cerdas sebagaimana Khalid bin Walid menyelesaikan peperangan dengan strategi cerdas.


- Pentingnya menyiapkan beberapa solusi dalam memperhitungkan suatu permasalahan hidup. Sebagaimana Rasulullah menunjuk beberapa panglima perang untuk mengantisipasi masalah yang terjadi di medan perang.


- Dalam kondisi genting pun kita tidak boleh mengganggu umat beragama lain di tempat-tempat ibadah mereka sebagaimana nasihat Rasulullah kepada pasukan umat Islam yang berangkat perang Mu’tah.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.