Bushiri
Kolomnis
Dalam fiqih muamalah, akad hawalah atau pengalihan utang merupakan salah satu mekanisme penting yang bertujuan mempermudah penyelesaian tanggungan keuangan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Secara umum, hawalah adalah akad yang mana seorang debitur (muhil) memindahkan tanggungan utangnya kepada pihak ketiga (muhal 'alaih) yang kemudian menjadi penanggung jawab atas utang tersebut kepada kreditur (muhtal). Akad ini telah diatur secara rinci dalam fiqih dan menjadi solusi praktis untuk mempermudah transaksi utang-piutang tanpa melanggar prinsip syariah.
Konsep hawalah tidak hanya memiliki dasar hukum yang kuat dalam syariah, tetapi juga mencerminkan keadilan dan fleksibilitas hukum Islam. Dengan adanya pengalihan tanggungan, pihak-pihak yang terlibat dapat menghindari konflik sekaligus menjaga kepercayaan di antara mereka. Sebagai salah satu instrumen muamalah, hawalah memberikan manfaat besar, terutama dalam situasi di mana salah satu pihak menghadapi kesulitan untuk melunasi utangnya secara langsung.
Secara bahasa hawalah berarti perpindahan. Menurut mazhab Hanafi, secara istilah hawalah adalah pemindahan tuntutan utang dari tanggungan pihak yang berutang kepada tanggungan pihak lain yang berkomitmen melunasinya. Sementara mayoritas ulama selain Hanafi mendefinisikan hawalah sebagai akad pemindahan utang dari satu tanggungan pada tanggungan lain.
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan:
الحوالة في اللغة: الانتقال، يقال: حال عن العهد: أي انتقل عنه وتغير. وفي الاصطلاح عند الحنفية: نقل المطالبة من ذمة المدين إلى ذمة الملتزم، وعرفها غير الحنفية بأنها عقد يقتضي نقل دين من ذمة إلى ذمة
Artinya, “Menurut bahasa hawalah berarti perpindahan. Contohnya dikatakan: 'hala 'an al-'ahd' yang berarti berpindah dari suatu tanggungan atau janji dan berubah. Dalam istilah menurut Hanafiyah, hawalah adalah pemindahan tuntutan utang dari tanggungan orang yang berutang pada tanggungan pihak lain yang berkomitmen (untuk melunasinya). Menurut ulama selain Hanafiyah, hawalah didefinisikan sebagai akad yang mengharuskan pemindahan utang dari satu tanggungan pada tanggungan lain.” (Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 2017], juz VI, halaman 47).
2 Jenis Pemindahan Utang dalam Mazhab Hanafi
Dalam mazhab Hanafi, terdapat dua jenis akad hawalah yang dilegalkan, yaitu hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah. Pembagian ini berangkat dari ketentuan dalam mazhab Hanafi, bahwa keabsahan akad hawalah tidak bergantung pada keberadaan utang pihak muhal ‘alaih kepada muhil.
Dengan demikian, baik hawalah muqayyadah yang terikat dengan piutang maupun hawalah muthlaqah yang bersifat sukarela memiliki landasan hukum yang kuat dalam kerangka fiqih Hanafi.
Syekh Alaudin al-Kasani, seorang ulama madzhab Hanafi menjelaskan:
و أما وجوب الدين على المحال عليه للمحيل قبل الحوالة فليس شرط لصحة الحوالة حتى تصح الحوالة سواء كان للمحيل على المحال عليه دين أو لم يكن و سواء كانت الحوالة مطلقة أو مقيدة، و الجملة فيه أن الحوالة نوعان : مطلقة و مقيدة
Artinya, “Adapun kewajiban adanya utang pada pihak yang muhâl 'alaihi kepada pihak muhîl sebelum terjadinya hawalah bukanlah syarat bagi keabsahan hawalah. Maka hawalah tetap sah, baik pihak muhîl memiliki hak piutang pada pihak muhâl 'alaih atau tidak, dan baik hawalah itu bersifat muthlaqah maupun muqayyadah. Kesimpulan dari ini, hawalah ada dua jenis, yaitu hawalah mutlaqah dan muqayyadah.” (Bada’ius Shana’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t.], juz VI, halaman 16).
Kedua jenis hawalah memiliki ketentuan dan konsekuensi hukum yang berbeda. Berikut penjelasannya:
1. Hawalah Muqayyadah
Hawalah muqayyadah adalah akad hawalah yang terikat dengan utang pihak muhil dalam tanggungan muhal 'alaih. Akad hawalah model ini sama persis dengan model akad hawalah yang dilegalkan mayoritas ulama.
Sebagai contoh, jika A berutang kepada B sebesar lima ribu rupiah; sedangkan B berutang kepada C juga sebesar lima ribu rupiah. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya menuntut pelunasan utangnya yang ada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.
Definisi di atas sebagaimana disampaikan Syekh Wahbah:
والمقيدة: أن يحيله ويقيده بالدين الذي له عليه. وهذه هي الحوالة الجائزة باتفاق العلماء
Artinya, “Hawalah muqayyadah adalah ketika muhil mengalihkan hutang kepada muhal ‘alaih dan mengaitkannya dengan hak piutang muhil yang menjadi tanggungan muhal ‘alaih.” (Az-Zuhaili, VI/49).
Hawalah muqayyadah memiliki beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut:
- Ketika pihak muhal ‘alaih terbebas dari utang yang menjadi tanggungannya, atau terbukti muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan utang, maka akad hawalah batal, dan hak tagih utang muhtal kembali menjadi tanggungan pihak muhil.
- Apabila muhil mati sebelum muhal ‘alaih membayar utang kepada muhtal, dan muhil juga memiliki ke selain muhtal, sementara tirkahnya hanya berupa piutangnya yang berada dalam tanggungan muhal ‘alaih, maka pihak muhtal tidak lebih berhak atas tirkahnya muhil, melainkan setara dengan hak ghurama’ yang lain. (VI/49).
Dalam mazhab Hanafi, hawalah muqayyadah disyaratkan harus ada kesamaan antara utang yang dialihkan dengan utang yang menjadi tanggungan muhal 'alaih dalam hal sifat dan jumlahnya. Apabila kadar hutang keduanya tidak sama, maka akad hawalah tidak sah. Hal ini sebagaimana disampaikan Syekh Wahbah:
ويشترط في المقيدة عندهم تساوي الدين المحال به والدين المحال عليه في الصفة والمقدار، فإن تساويا جنساً وقدراً صحت الحوالة، وإن اختلفا في شيء مما ذكر لم تصح الحوالة
Artinya, “Dalam hawalah muqayyadah ini menurut mereka (mazhab Hanafi), disyaratkan kesamaan antara utang yang dialihkan (dîn al-muhâl bihi) dengan utang yang menjadi tanggungan penerima pengalihan (dîn al-muhâl 'alaihi) dalam hal sifat dan jumlah. Jika keduanya setara dalam jenis dan kadar, maka hawalah sah. Namun, jika terdapat perbedaan dalam salah satu hal tersebut, maka hawalah tidak sah.” (VI/53)
2. Hawalah Muthlaqah
Hawalah muthlaqah adalah akad hawalah yang tidak terikat dengan utang pihak muhil yang berada di pihak muhal ‘alaih. Artinya, pihak muhal ‘alaih berkomitmen atau menyanggupi untuk membayari hutang muhil pada pihak muhtal secara sukarela, baik muhil memiliki hak utang yang berada di tangan muhal 'alaih atau tidak.
Contoh, jika A berutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan utang-piutang kepada A. C dengan suka rela menyanggupi membayar hutang A kepada B.
Syekh Alaudin Al-Kasani mendefinisikan Hawalah Muthlaqah sebagai berikut:
فالمطلقة أن يحيل بالدين على فلان و لا يقيده بالدين الذي عليه
Artinya, “Hawalah muthlaqah adalah pengalihan utang kepada seseorang tanpa mengaitkannya dengan utang yang menjadi tanggungan orang tersebut.” (Al-Kasani, VI/16).
Hawalah muthlaqah memiliki beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut:
- Muhal ‘alaih tidak disyaratkan harus memiliki tanggungan utang kepada muhil.
- Apabila muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan utang pada pihak muhil, maka muhal ‘alaih hanya bisa ditagih untuk membayar piutang pihak muhtal.
- Apabila muhal ‘alaih memiliki tanggungan utang pada pihak muhil, dan akad hawalah tidak berhubungan dengan utang tersebut (hawalah mutlaqah), maka pihak muhal ‘alaih bisa ditagih oleh dua pihak, yaitu muhtal melalui akad hawalah dan pihak muhil melalui hak piutangnya. (VI/17).
Akad hawalah muthlaqah hanya legal menurut mazhab Hanafi. Sedangkan menurut mayoritas ulama, praktek hawalah muthlaqah bukan akad hawalah, melainkan termasuk kategori akad kafalah.
Syekh Wahbah memaparkan:
والحوالة المطلقة في المذاهب الثلاثة غير الحنفية حيث لا يكون للمدين دين في ذمة المحال عليه تعد كفالة محضة
Artinya, “Hawalah muthlaqah menurut tiga mazhab selain Hanafi sekiranya pihak kreditur tidak memiliki hak piutang yang berada dalam tanggungan muhal ‘alaih, maka dianggap akad kafalah.” (Az-Zuhaili, VI/49).
Dari pembahasan dapat disimpulkan, mazhab Hanafi memiliki pendekatan yang komprehensif terhadap konsep hawalah, yang mencakup dua jenis utama, yaitu hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah.
Perbedaan utama dari dua jenis ini terletak pada keterkaitan utang muhil terhadap muhal 'alaih. Hawalah muqayyadah mengharuskan adanya hubungan utang antara keduanya, sedangkan hawalah muthlaqah memungkinkan pengalihan utang tanpa hubungan utang sebelumnya.
Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam mengakomodasi kebutuhan transaksi keuangan, sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Dengan memahami perbedaan jenis hawalah dan konsekuensi hukumnya, para pelaku muamalah dapat lebih bijak dalam menentukan pilihan akad yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Wallahu a’lam.
Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua