Syariah

5 Adab saat Hadapi Kefakiran menurut Syekh Abdul Qadir Jailaini

Ahad, 2 Juni 2024 | 18:00 WIB

5 Adab saat Hadapi Kefakiran menurut Syekh Abdul Qadir Jailaini

Kefakiran. (Foto: NU Online/Freepik)

Hidup dalam kefakiran biasanya bukan menjadi keinginan mayoritas umat manusia. Namun demikian, ketika seseorang ditakdirkan hidup menjadi orang fakir atau miskin, bukan berarti menganggap diri sebagai makhluk hina dan meninggalkan adab. Pasalnya, Allah tidak memandang seseorang dari fisik dan materi melainkan dari hati dan ketakwaannya.


Syekh Abdul Qadir Jailani mengungkapkan sejumlah adab yang mesti dilakukan seseorang ketika menghadapi kefakiran. Seorang fakir yang mengeluh dan meratapi nasibnya dinilai sebagai perbuatan sia-sia yang tidak ada manfaatnya. Mengingat hal tersebut, Syekh Abdul Qadir menyarankan agar orang fakir bisa menikmati kefakirannya melebihi orang kaya yang menikmati kekayaannya.


ومن شرطه أن يكون قلبه أقوى بصفاء الحال عند خلو يده من المال، فكلما قل الفتوح كثر طيب قلبه وقوته ونوره، وازداد فرحه بشعار الصالحين


Artinya: “Di antara syarat orang fakir adalah memiliki hati yang kuat dan bersih ketika tidak memiliki apa-apa di tangannya. Semakin sedikit rezeki yang diperoleh, semakin baik pula hati, kekuatan, dan cahayanya, serta semakin senang dengan nasihat orang-orang saleh.” (Syekh Abdul Qadir Jailani, Al-Ghunyah li Thâlibi Tharîqil Ḫaq [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997] Juz II, halaman 291)


Sebaliknya, jika kefakiran malah membuat seseorang menjadi gelap mata, mengeluh, bahkan sampai geram pada Allah, maka sesungguhnya ia telah terpedaya dan melakukan dosa besar sehingga harus segera bertobat dan beristighfar memohon ampunan kepada-Nya.


Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani, seorang fakir sejati adalah orang yang hatinya tenang dan yakin pada Allah dalam masalah rezeki di tengah banyaknya anggota keluarga yang harus dinafkahi. Ia tetap bekerja keras mencari rezeki halal dan meyakini bahwa Allah akan memberikan rezeki kepada keluarganya melalui tangannya sendiri atau tangan orang lain.


Berikut ini adalah 5 adab yang harus dilakukan seseorang ketika berada dalam kefakiran menurut Syekh Abdul Qadir Jailani:


1. Tidak bingung

Seorang fakir hendaknya tidak bingung memikirkan rezeki untuk esok hari. Kepentingannya hanya untuk hari ini dan tidak berangan-angan rezeki esok hari. Walaupun masih misteri tapi tetap yakin bahwa Allah telah menyiapkan rezeki untuk esok hari. Selain itu, seorang fakir juga mesti berkeyakinan bahwa rezeki yang didapatkan hari ini, itulah yang terbaik.


2. Mengingat kematian

Seorang fakir hendaknya selalu ingat dengan kematian yang bisa datang kapan saja. Dengan begitu, ia akan menikmati kefakirannya, menghilangkan angan-angan duniawi, dan fokus pada bekal yang disiapkan untuk kehidupan berikutnya.


3. Mandiri

Bersikap mandiri, tidak bergantung dan mengharapkan pemberian dari orang lain adalah sikap mulia bagi seorang Muslim, terlebih bagi orang fakir.


4. Tidak mengharap imbalan

Ketika kebutuhan keluarga telah tercukupi dan punya keinginan untuk berbagi dengan orang lain, apalagi berbagi dengan orang kaya, hendaknya diniati karena Allah dan tidak mengharapkan imbalan dari mereka. Bagi Allah, orang fakir yang mau berbagi jauh lebih baik dari orang kaya yang hanya mau menerima dan tidak mau berbagi.


5. Wara

Seorang fakir hendaknya memiliki wara, yaitu bersikap hati-hati terhadap hal-hal yang masih belum jelas status halalnya. Walaupun sedang terlilit ekonomi, seorang fakir harus tetap bekerja keras mencari rezeki halal serta tidak tergoda dengan barang haram dan kemaksiatan. Seorang ahli hikmah berkata:


من لم يصحبه الورع في فقره أكل الحرام وهو لا يدري


Artinya: "Barang siapa yang tidak memiliki sikap wara saat fakir, maka tanpa sadar ia akan memakan barang haram."


Itulah 5 adab yang mesti dilakukan seseorang ketika berada dalam kefakiran, yaitu tidak bingung untuk rezeki esok hari, ingat pada kematian, mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, tidak mengharap imbalan, dan wara. Ketika suatu hari Allah mengubah nasib menjadi orang kaya, diharapkan tidak menghilangkan adab-adab ini karena adab ini pun sangat layak dilakukan oleh orang kaya. Wallahu a‘lam.


Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar di Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat.