Syariah

Apakah Orang Sakit Lumpuh Tetap Wajib Shalat? 

Rab, 20 Desember 2023 | 16:00 WIB

Apakah Orang Sakit Lumpuh Tetap Wajib Shalat? 

Orang sakit. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Shalat adalah salah satu kewajiban umat Islam dan masuk dalam rukun Islam yang lima. Wajib bagi setiap Muslim yang baligh, berakal, dan suci dari hadas besar dan kecil untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam. Namun, bagaimana jika seseorang sedang sakit lumpuh? Apakah ia tetap wajib shalat?


Pasalnya, dalam kondisi sakit lumpuh, seseorang terkadang merasa kesulitan untuk melaksanakan shalat. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti sakit yang terlalu berat, kekurangan tenaga, atau rasa sakit yang berlebihan. Apakah ia tetap melaksanakan shalat? 


Sebelum kita memulai menjelaskan tentang konsekuensi hukum shalat bagi orang yang terkena lumpuh, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas definisi penyakit lumpuh. Dengan begitu, kita akan mudah memahami hukum terkait pertanyaan apakah orang sakit lumpuh tersebut tetap wajib shalat?


Mengutip dari laman Alodokter, kelumpuhan atau paralisis adalah kondisi ketika satu atau beberapa bagian tubuh tidak dapat digerakkan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan pada otot atau saraf, cedera, atau penyakit tertentu. Kelumpuhan dapat berlangsung sementara atau permanen, baik pada penderita yang hanya mengalami kelemahan maupun sama sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuh tertentu. 


Terkait pertanyaan apakah orang yang sakit lumpuh tetap melaksanakan shalat? Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami dalam kitab al-Bujairami Ala al-Khathib, Jilid II, halaman 10 menyebutkan bahwa orang sakit tetap wajib melaksanakan shalat selama akalnya tetap sehat atau dalam kesadaran penuh. Artinya, orang yang sakit lumpuh [badan, tangan, dan kaki] selama akalnya masih tetap sehat atau sadar, maka selama itu pula pasien tersebut wajib melaksanakan shalat.


Simak penjelasan berikut; 


ولا تسقط عنه الصلاة قال الأئمة الثلاثة ان فرض الصلاة لا يسقط عن المكلف ما دام عقله ثابتا ولو بإجراء الصلاة على قلبه وقال الإمام أبو حنيفة ان من عاين الموت وعجز عن الإيماء برأسه سقط عنه الفرض وعليه عمل الناس سلفا وخلفا فلم يبلغنا أن أحدا منهم أمر المحتضر بالصلاة.


Artinya; "Dan shalat tidak gugur darinya. Para imam tiga (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi'iyah) berkata bahwa kewajiban shalat tidak gugur dari orang yang mukallaf selama akalnya masih tetap, meskipun dengan menjalankan shalat di dalam hatinya. Imam Abu Hanifah berkata bahwa orang yang telah melihat kematian dan tidak mampu untuk memberi isyarat dengan kepalanya, maka kewajibannya gugur. Dan demikianlah telah diamalkan oleh orang-orang terdahulu dan terkemudian, dan tidak sampai kepada kami bahwa salah seorang dari mereka memerintahkan orang yang sedang sekarat untuk shalat."


Dengan demikian, menurut para imam tiga, kewajiban shalat tidak gugur dari orang yang sedang sekarat selama akalnya masih tetap, meskipun dengan menjalankan shalat di dalam hatinya. Hal ini karena shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mukallaf, selama akalnya masih tetap.


Penjelasan serupa juga termaktub dalam Fathul Qarib, Jilid I, halaman 146 bahwa selama akal seorang Muslim masih dalam keadaan sehat, selama itu pula tetap wajib melaksanakan shalat. Pasalnya, berakal sehat, termasuk syarat wajib untuk shalat. 


ولا تسقط الصلاة ما دام عقله ثابتا لوجود مناط التكليف


Artinya; "Shalat tidak gugur selama akalnya tetap, karena akal adalah dasar dari kewajiban,".


Tata Cara Shalat Orang Sakit

Kemudian yang menjadi soal lain, ketika masih dalam keadaan sakit lumpuh, bagaimana cara shalatnya? Pasalnya, ketika dalam kondisi sakit orang tidak bisa melaksanakan shalat dengan sempurna. Misalnya, tidak bisa berdiri, rukuk, dan juga sujud.   
 

Untuk Pasien yang dalam kondisi sakit, Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarah al Muhadzab, Jilid IV, halaman 201, mengatakan shalat 5 waktu dapat dikerjakan sesuai kemampuan Muslim bersangkutan. Artinya, seseorang yang tidak bisa melaksanakan shalat dalam keadaan berdiri oleh syariat Islam diberikan keringanan untuk mengerjakan shalat dalam keadaan duduk.    


 أجمعت الأمة على أن من عجز عن القيام في الفريضة صلاها قاعدا ولا إعادة عليه , قال أصحابنا : ولا ينقص ثوابه عن ثوابه في حال القيام , لأنه معذور , وقد ثبت في صحيح البخاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما )


Artinya; "Ulama telah sepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardhu, maka ia boleh shalat sambil duduk dan tidak perlu mengulanginya. Para ulama mengatakan bahwa pahalanya tidak berkurang dari pahalanya saat berdiri, karena ia memiliki alasan yang dibenarkan. Hal ini telah ditegaskan dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah bersabda: "Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka ia akan dicatat pahala seperti yang ia kerjakan ketika sehat dan mukim."


قال أصحابنا : ولا يشترط في العجز أن لا يتأتّى القيام ، ولا يكفي أدنى مشقة ، بل المعتبر المشقة الظاهرة ، فإذا خاف مشقة شديدة أو زيادة مرض أو نحو ذلك أو خاف راكب السفينة الغرق أو دوران الرأس صلى قاعدا ولا إعادة 


"Para ulama mengatakan bahwa tidak disyaratkan dalam ketidakmampuan berdiri itu sampai tidak bisa sama sekali. Tidak cukup pula hanya ada sedikit kesulitan, tetapi yang dipertimbangkan adalah kesulitan yang tampak. Oleh karena itu, jika seseorang takut akan kesulitan yang berat atau bertambahnya penyakit atau semacamnya, atau jika penumpang kapal takut tenggelam atau pusing, maka ia boleh shalat sambil duduk dan tidak perlu mengulanginya."


Selanjutnya, jika si pasien yang sakit tidak mampu untuk berdiri, maka dibolehkan shalat dalam keadaan duduk. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman Al Jaziri, Jilid I, halaman 451 bahwa jika seorang Muslim yang sakit tidak bisa berdiri, boleh shalat dalam keadaan duduk. 


Di sisi lain, jika mampu untuk berdiri, tetapi berdirinya itu akan menyebabkan penyakit lain, memperburuk penyakitnya, dan atau memperlambat kesembuhannya, maka ia juga boleh shalat sambil duduk. Simak penjelasan berikut;


من كان مريضاً لا يستطيع أن يصلي الصلاة المفروضة قائماً صلى قاعداً، فإذا أمكنه القيام ولكن يلزم من قيامه حدوث مرض آخر أو زيادة مرضه أو تأخر شفائه فله أن يصلي قاعداً أيضاً


Artinya; "Barangsiapa yang sakit dan tidak mampu untuk melaksanakan shalat fardhu dengan berdiri, maka ia boleh shalat dengan duduk. Jika ia mampu berdiri, tetapi berdirinya akan menyebabkan timbulnya penyakit lain, bertambahnya penyakitnya, atau menghambat kesembuhannya, maka ia juga boleh shalat dengan duduk."


Saat shalat duduk, berbagai posisi duduk diperbolehkan. Akan tetapi, iftiros (duduk seperti pada tahiyyat awal) lebih dianjurkan. Ruku dan sujud dilakukan dengan gerakan normal jika mampu. Jika tidak mampu, rukuk cukup dengan menundukkan kepala hingga kening sejajar dengan tempat di depan kedua lutut atau sejajar dengan tempat sujud. 


Bila kondisi ini pun tidak memungkinkan, rukuk dan sujud cukup dengan menundukkan kepala semaksimal kemampuan, dengan sujud yang sedikit lebih rendah dari rukuk. Hal ini dikarenakan sujud merupakan posisi yang lebih rendah dari rukuk.


Kemudian jika tidak sanggup shalat dalam keadaan duduk, maka diperbolehkan untuk shalat dengan keadaan berbaring. Imam Nawawi dalam Kitab al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, Jilid IV, halaman 206 mengatakan shalat dalam kondisi berbaring dapat dilakukan jika seseorang tidak mampu untuk berdiri atau duduk.  


وإن عجز عن القيام والقعود صلى على جنبه ، ويستقبل القبلة بوجهه ، ومن أصحابنا من قال : يستلقي على ظهره ويستقبل القبلة برجليه


Artinya;  "Jika seseorang tidak mampu berdiri dan duduk, maka ia shalat sambil berbaring miring, dan menghadap kiblat dengan wajahnya. Sebagian dari para sahabat kami mengatakan: ia berbaring telentang dan menghadap kiblat dengan kakinya."


Untuk itu, pelaksanaan shalat dapat dilakukan dalam posisi tidur miring ke arah kanan [tidur dengan lambung di sebelah kanan], dengan cara wajah dan bagian depan tubuh menghadap kiblat. 


Sementara gerakan rukuk dan sujud disesuaikan dengan kemampuannya. Jika ia mampu menggerakkan kepala, maka gerakan ruku dan sujud dapat dilakukan dengan cara tersebut. Namun, jika tidak mampu, isyarat kepala dapat dilakukan dengan menggerakkan kening ke arah bumi. Perlu dicatat bahwa isyarat sujud sebaiknya sedikit lebih rendah daripada isyarat ruku.


Pada sisi lain, seseorang yang kesulitan tidur miring saat shalat, diperbolehkan untuk shalat dengan posisi terlentang. Sebaiknya, kepala dapat ditopang bantal agar menghadap kiblat. Ruku dan sujud dilakukan sesuai kemampuan. Jika bisa menggerakkan kepala, gunakan kepala untuk ruku dan sujud. Jika tidak mampu, lakukan isyarat kepala. Namun untuk sujud, isyaratnya harus lebih rendah daripada isyarat rukuk. Jika isyarat kepala pun tidak mampu, gunakan isyarat mata. Apabila tidak mampu sama sekali, semua rukun dan sunnah shalat dapat dilakukan dalam hati.


Terakhir, jika berbaring pun sudah tidak bisa, maka Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, Jilid II, halaman 685 menjelaskan orang yang sakit, jika tidak mampu berbaring, maka shalat dilakukan bisa dengan isyarat kepala. Kemudian jika tak mampu, maka shalat dilakukan dengan isyarat kedipan mata. Pun saat tidak mampu juga, bisa juga dengan membaca Al-Qur'an dan dzikir dengan mulut. Jika itu pun tidak bisa, maka bisa dilakukan dengan shalat dalam hati.


ﻳﻨﺘﻘﻞ اﻟﻤﺮﻳﺾ ﺑﻌﺪ ﻋﺠﺰﻩ ﻋﻦ اﻻﺳﺘﻠﻘﺎء ﺇﻟﻰ ﺣﺎﻟﺔ ﺃﺧﺮﻯ ﻛﺎﻹﺷﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺮﺃﺱ ﺛﻢ اﻹﻳﻤﺎء ﺑﺎﻟﻄﺮﻑ ﺛﻢ ﺇﺟﺮاء اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭاﻟﺬﻛﺮ ﻋﻠﻰ اﻟﻠﺴﺎﻥ ﺛﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻠﺐ


Artinya; "Orang yang sakit, jika tidak mampu untuk berbaring akan berpindah ke posisi lain, seperti dengan mengangguk kepala, kemudian mengisyaratkan dengan tangan, kemudian membaca Al-Qur'an dan berdzikir dengan lisan, kemudian shalat dengan hati."


Sebagai kesimpulan, orang yang sakit lumpuh, selama akalnya masih sehat dan dalam kondisi sadar, maka tetap wajib shalat. Adapun tata cara shalatnya bermacam-macam, tergantung kemampuannya dan kondisi sakitnya. Bila tidak mampu berdiri, boleh duduk, jika tak bisa boleh berbaring, dan bila tetap tak mampu bisa dengan dzikir. Pun bila kondisi tidak memungkinkan lagi, maka cukup dalam hati.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian keislaman, tinggal di Ciputat