Syariah

Cara Melunasi Utang pada Orang yang Sulit Ditemukan Keberadaannya

Rab, 12 Desember 2018 | 13:30 WIB

Cara Melunasi Utang pada Orang yang Sulit Ditemukan Keberadaannya

Ilustrasi (Reuters)

Utang dalam istilah fiqih sering dikenal dengan istilah akad irfaq atau bentuk transaksi yang didasari rasa belas kasih. Hal ini dapat kita lihat pada pihak yang hendak berutang (muqtarid), ia tidak akan berutang pada orang lain kecuali dalam keadaan membutuhkan terhadap uang, lalu orang lain mau memberi utang kepadanya dilandasi oleh rasa kasihan kepada dirinya. Pada konteks inilah wujud  irfaq kepada orang lain menemui perannya.

Utang juga merupakan salah satu kewajiban bagi seseorang yang harus dibayar pada pemiliknya, sebab utang tergolong sebagai haqqul adami (tanggung jawab kepada sesama manusia), sehingga sampai kapan pun tanggungan utangnya tidak dapat gugur kecuali dengan cara membayarnya atau meminta kerelaannya. Lalu bagaimana jika ternyata orang yang memberi utang kita sudah putus komunikasi bahkan sudah tidak dapat ditemukan lagi identitasnya?

Dalam menjawab persoalan ini, Al-Ghazali berpandangan bahwa memang merupakan sebuah kewajiban bagi seseorang yang berutang untuk mencari orang yang memberinya utang agar bisa membayar utang yang menjadi tanggungannya. Hal ini harus ia lakukan semampu upaya, misalnya dengan mencari nomor kontaknya  yang masih dapat dihubungi, menanyakan pada kerabatnya, atau cara lain yang dipandang bisa menemukan keberadaannya. Namun jika ternyata tidak ditemukan, ia dianjurkan bersedekah sebagai ganti dari utang itu dengan mengatasnamakan namanya, dalam artian sedekah yang ia lakukan ia niati sebagai ganti dari tanggungan utang miliknya dan pahala sedekah diperuntukkan kepada orang yang memberinya utang. 

Jika ia tidak punya kemampuan untuk bersedekah, maka dianjurkan baginya untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, serahkan segalanya pada Allah, memohonlah dengan penuh kerendahan agar Allah memberi ampunan atas tanggungan yang belum terlunaskan kelak di hari kiamat. Penjelasan ini seperti yang dikutip oleh Syekh Sulaiman al-Jamal:

ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التي بين العباد إما في المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجزعن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه في أني رضيه عنه يوم القيامة. اهــ

“Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidin karya al-Ghazali dijelaskan bahwa dosa yang terjadi antar-sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila memungkinkan. Jika ia tidak mampu membayar karena fakir maka ia harus meminta kehalalan (kerelaan akan utangnya) darinya. Bila tidak mampu meminta kehalalan karena pemilik harta tidak diketahui keberadaannya atau karena telah meninggal dunia tapi masih mampu untuk bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya. Dan bila masih tidak mampu bersedekah, maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai beban tanggungan harta (yang masih belum terlunaskan).” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Manhaj, Juz 5, Hal. 388)

Berdasarkan referensi di atas, meminta kehalalan (istihlal) kepada orang yang memberi utang berperan penting dalam gugurnya kewajiban membayar utang ketika ia tidak mampu membayar. Sehingga selama seseorang masih dapat menemukan keberadaan orang yang memberi utang, namun ia tidak mampu membayar, maka ia tidak dianjurkan melakukan sedekah terlebih dahulu, tapi ia harus menemui orang tersebut dan meminta kehalalan atau kerelaan atas utang yang tidak dapat dilunasinya. 

Dengan begitu dapat disimpulkan, bahwa cara membayar utang kepada orang yang tidak dapat dijangkau keberadaannya adalah dengan cara bersedakah kepada orang lain (khususnya kepada orang yang tidak mampu) sesuai nominal tanggungan utang yang ia miliki sebagai ganti dari tanggungan utangnya serta pahala sedekah ditujukan kepada orang yang memberinya utang. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)