Syariah

Hukum Laki-Laki Membadalkan Hajinya kepada Perempuan atau Sebaliknya

Ahad, 26 Mei 2024 | 05:00 WIB

Hukum Laki-Laki Membadalkan Hajinya kepada Perempuan atau Sebaliknya

Ilustrasi jamaah haji Indonesia. (Foto: MCH)

Pada dasarnya kewajiban haji dibebankan kepada orang-orang yang mampu secara fisik dan finansial. Terkadang, ada sebagian orang yang mampu secara finansial tapi fisiknya tidak mampu untuk melaksanakan haji atau umrah. Akibat uzur atau wafat, kewajiban haji seseorang bisa gugur dengan cara digantikan(badal) oleh orang lain, sebagaimana hadits berikut:

 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ

 

Artinya, "Dari Ibnu Abbas ra: Sesungguhnya seorang perempuan dari suku Khasam pada tahun haji wada' bertanya, 'wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk melaksanakan haji, sedangkan ayahku sudah sangat tua dan tidak mampu naik kendaraan. Apakah saya boleh menghajikan dia?' Rasulullah menjawab: Ya.” (HR. Bukhari Muslim).

 

Dalam mazhab Syafi'i, haji atau umrah dapat dibadalkan atau digantikan orang lain dalam dua keadaan. Pertama uzur (ma'dhub), yakni orang yang tidak mampu melaksanakan haji sendiri karena umurnya yang sudah terlampau tua, lumpuh, sakit yang tidak ada harapan sembuh, pikun dan lainnya, yang intinya tidak mampu menaiki kendaraan. 

 

Jika sebelum datang uzur sudah masuk kategori mampu dan memungkinkan untuk menunaikan haji namun tidak melaksanakannya, maka ia wajib segera membadalkan hajinya. Bagi orang yang masuk kategori tersebut, wajib membadalkan hajinya jika mempunyai kelebihan dari kebutuhan pokoknya dan menemukan orang yang mau menghajikannya dengan upah normal (ujratul mitsl). 

 

Kedua, meninggal sebelum sempat melaksanakan haji, maka ahli waris wajib menghajikannya. Adapun biayanya diambil dari harta warisan sebagaimana hutang yang juga dibayarkan dari harta tirkah (warisan). Jika almarhum tidak memiliki harta warisan maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk menghajikannya. Namun, jika ahli waris atau orang lain hendak menghajikannya baik dengan wasiat ataupun tidak, itu diperbolehkan.

 

Kewajiban menghajikan orang yang sudah meninggal ini jika semasa hidupnya dikategorikan seseorang yang mampu melaksanakan haji, namun sampai meninggal tidak kunjung melaksanakannya. (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz III, halaman 2098-2099).

 

Dengan demikian, orang yang dapat membadalkan atau menggantikan hajinya kepada orang lain adalah:

 
  1. Orang yang sudah mampu secara finansial namun tidak mampu secara fisik karena faktor usia, lumpuh, pikun dan lain sebagainya, dalam fikih diistilahkan dengan ma'dhub. 
  2. Orang yang sudah meninggal ketika hidupnya sudah masuk kategori mampu dan memungkinkan melaksanakan haji namun tidak sempat melaksanakan, maka wajib menghajikannya sebagai qada atas kewajibannya. Jika semasa hidupnya belum wajib haji maka tidak wajib menghajikannya. 
 

Selanjutnya mengenai hukum laki-laki membadalkan haji kepada perempuan atau sebaliknya, Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm mengatakan tentang kebolehannya, namun beliau lebih suka jika yang menjadi badal adalah laki-laki. Berikut penjelasannya:

 

قَالَ: وَلَوْ اُسْتُؤْجِرَ عَنْهُ مَنْ حَجَّ فَأَفْسَدَ الْحَجَّ رُدَّ جَمِيعُ الْإِجَارَةِ؛ لِأَنَّهُ أَفْسَدَ الْعَمَلَ الَّذِي اُسْتُؤْجِرَ عَلَيْهِ، وَلَوْ أَحَجُّوا عَنْهُ امْرَأَةً أَجْزَأَ عَنْهُ وَكَانَ الرَّجُلُ أَحَبُّ إلَيَّ، وَلَوْ أَحَجُّوا رَجُلًا عَنْ امْرَأَةٍ أَجْزَأَ عَنْهَا

 

Artinya, "Imam Syafi'i berkata, jika seseorang dibayar untuk menghajikan orang lain kemudian ia merusak hajinya maka ia harus mengembalikan seluruh upahnya karena ia merusak amal yang telah dibayar untuk melakukannya. Jika kalian menghajikan (membadalkan) orang lain (laki-laki) kepada perempuan itu sudah mencukupinya. Melainkan laki-laki lebih aku sukai (menjadi badal haji). Jika kalian menghajikan seorang perempuan kepada laki-laki maka itu sudah mencukupi untuknya." (Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi'i, Al-Umm, [Beirut, Darul Fikr, cet. kedua:1983], juz IV, halaman 99).

 

Selaras dengan Imam Syafi‘i, Syekh Syibromalisi dalam Hasyiyahnya atas kitab Nihayatul Muhtaj mengatakan: 

 

لا يشترط فيمن يحُجُّ عن غيره مساواته للمحجُوجِ عنه في الذُّكورة والأُنُوثة، فيكفي حَجُّ المرأة عن الرَّجل كعكسه؛ أخذًا من الحديث اهـ

 

Artinya, "Tidak disyaratkan orang yang menghajikan orang lain adanya kesamaan dengan orang yang dihajikan dalam kelaki-lakian dan keperempuanan. Maka telah mencukupi hajinya perempuan atas laki-laki seperti itu juga sebaliknya. Mengambil dari hadits." (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj [Beirut, Darul Fikr: 1984 H] juz III halaman 252).

 

Walhasil, dari paparan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gender tidak menjadi syarat dalam membadalkan haji. Dengan demikian, hukum laki-laki membadalkan hajinya kepada perempuan atau pun sebaliknya itu dibolehkan. Namun demikian, Imam Syafi'i lebih menyukai yang menjadi badal haji adalah seorang laki-laki. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo