Syariah

Hukum Mendorong Jamaah Haji agar Bisa Mencium Hajar Aswad

Rab, 6 Maret 2024 | 23:30 WIB

Hukum Mendorong Jamaah Haji agar Bisa Mencium Hajar Aswad

Tangkapan layar video viral Hafiz Mahamad saat mencoba mencium Hajar Aswad.

Belakangan ini, seorang influencer asal Malaysia, Hafiz Mahamad, telah menjadi sorotan media sosial dan masyarakat setelah video kontroversialnya di Masjidil Haram, Mekah, viral secara luas. Dalam video tersebut, Hafiz terlihat mencoba untuk mencium Hajar Aswad, batu hitam yang menjadi bagian penting dari ritual ibadah haji. Tidak hanya itu, ia juga terlihat mendorong-dorong orang lain agar ikut serta dalam tindakan kontroversial ini.

 

Keputusan Hafiz untuk melakukan tindakan ini telah memicu gelombang kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk para netizen di seluruh dunia. Mereka menganggap tindakan ini sebagai penistaan terhadap nilai-nilai keagamaan dan norma yang dijunjung tinggi dalam Islam. 

 

Tidak hanya itu, sikap "barbar" yang ditunjukkan dalam video tersebut juga menjadi sorotan, di mana kain ihram Hafiz bahkan terlepas, mengekspos tubuhnya di hadapan jamaah lainnya.

 

Hukum Mencium Hajar Aswad

Mencium Hajar Aswad di setiap putaran tawaf merupakan sunnah bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah. Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib, Jilid I, halaman 480 mengatakan termasuk sunnah Nabi Muhammad SAW adalah menyentuh Hajar Aswad dengan tangannya pada tawaf pertama, kemudian menciumnya. 

 

 ومن السنن أن يستلم الحجر الأسود بيده أول طوافه، ثم يقبله، رواه الشيخان، وللزحمة المانعة من تقبيله والسجود عليه يستلم بيده، وإن عجز عن استلامه بها فبعود، أو نحوه كَيِده، يستلم ثم يقبله. أي: ما استلم به فيهما

 

Artinya; "Di antara sunnah haji adalah menyentuh Hajar Aswad dengan tangan pada tawaf pertama, kemudian menciumnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun, karena berdesakan yang menghalangi untuk mencium dan bersujud di atasnya, maka cukup menyentuhnya dengan tangan. 

 

Jika tidak mampu menyentuhnya dengan tangan, maka boleh menggunakan tongkat atau benda lain untuk menyentuhnya, kemudian menciumnya. Maksudnya, apa yang digunakan untuk menyentuhnya dalam kedua keadaan tersebut (baik tangan atau benda lain) dihukumi sama,". (Lihat Syekh Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib, [Kairo; Darul Kitab al-Islami, tt ], Jilid I, halaman 480).  

 

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi melakukan tawaf dengan mengendarai untanya dan menyentuh dan mencium hajar Aswad dengan tongkatnya agar orang-orang dapat melihatnya dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda; 

 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ طَافَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ يَسْتَلِمُ الْحَجَرَ بِمِحْجَنِهِ لِأَنْ يَرَاهُ النَّاسُ وَلِيُشْرِفَ وَلِيَسْأَلُوهُ فَإِنَّ النَّاسَ غَشُوهُ

 

Artinya; "Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, berkata: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir, dia berkata: Rasulullah SAW melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah pada Haji Wada' dengan mengendarai untanya. Beliau menyentuh Hajar Aswad dengan tongkatnya agar orang-orang dapat melihatnya, agar beliau dapat terlihat (oleh orang-orang), dan agar mereka dapat bertanya kepadanya karena banyaknya orang yang mengerumuninya,".

 

Selanjutnya, dalam hadits Muslim, yang  menceritakan tentang Abdullah bin Umar bahwa ia senantiasa mencium hajar aswad saat haji dan umrah. Dalam persaksiannya Ibnu Umar berkata tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini sejak dia melihat Nabi Muhammad SAW melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa mencium hajar aswad merupakan kebiasaan yang baik dan dianjurkan saat melaksanakan haji dan umar.

 

إِنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَلَمَهُ، ثُمَّ قَبَّلَ يَدَهُ وَقَالَ: مَا تَرَكْتُهُ مُنْذُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

 

Artinya; "Ibn 'Umar radhiyallahu 'anhu menerima (hadiah) itu, kemudian mencium tangannya dan berkata, "Aku tidak meninggalkannya sejak aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya."

 

Lantas bagaimana jika tidak memungkinkan mencium Hajar Aswad? Pasalnya, di musim haji, mencium Hajar Aswad menjadi sebuah tantangan. Padatnya jamaah dari seluruh dunia membuat kesempatan untuk mencium batu mulia ini menjadi langka. Tempat tawaf selalu ramai, dipenuhi umat Islam yang tengah menjalankan manasik haji. Berdesakan dan saling dorong tak terelakkan demi mencapai Hajar Aswad. Apa solusinya?

 

Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia pernah mengeluarkan imbauan penting bagi jamaah haji dan umrah Indonesia. Imbauan ini terkait dengan larangan berebut, terlebih memaksakan diri untuk mencium Hajar Aswad, hingga sampai menyakiti jamaah lain.

 

Kemenag menegaskan bahwa mencium Hajar Aswad memang termasuk sunnah dalam ibadah haji dan umrah. Dengan demikian, perlu diingat bahwa hukumnya tidak wajib. Jika jamaah ingin mencium Hajar Aswad, mereka harus tetap menjaga ketenangan dan tidak sampai menyakiti jamaah lain.

 

Menjaga ketenangan dan menghindari tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain merupakan hal yang lebih penting. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mengedepankan kedamaian dan kasih sayang.

 

Lebih lanjut, Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Jilid 4 halaman 84, menjelaskan menjelaskan bahwa mencium hajar aswad itu sunnah, tapi bisa menjadi tidak disunnahkan lagi [gugur hukum sunnahnya] jika ada kemungkinan membahayakan diri sendiri atau orang lain. Misalnya, jika orang-orang saling dorong-dorongan saat mencium Hajar Aswad dan ini bisa menyebabkan cedera di antara mereka, maka sunnah mencium hajar aswad menjadi tidak berlaku lagi, justru bisa berubah menjadi haram.

 

 ( فإن عجز ) عن التقبيل والسجود أو عن السجود فقط لنحو زحمة ويظهر ضبط العجز هنا بما يخل بالخشوع من أصله له أو لغيره ، وإن ذلك هو مرادهم بقولهم لا يسن استلام ولا ما بعده في مرة من مرات الطواف إن كان بحيث يؤذي أو يتأذى .

 

Artinya; "Jika dia tidak mampu (untuk mencium dan bersujud) atau hanya tidak mampu bersujud karena keramaian, misalnya, maka ketidakmampuan di sini diartikan sebagai sesuatu yang mengganggu kekhusyu'an baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Itulah yang mereka maksud dengan mengatakan bahwa tidak disunnahkan untuk melakukan Istilam (mencium Hajar Aswad) dan rukun-rukun lainnya setelahnya dalam satu putaran tawaf jika hal itu dapat menyebabkan dia menyakiti atau disakiti orang lain."

 

Sementara itu, Ibnu Hajar menawarkan alternatif bagi para jamaah haji yang tidak dapat langsung mencium Hajar Aswad dengan tangan mereka sendiri. Salah satu alternatif tersebut adalah dengan mengusap Hajar Aswad menggunakan tangan mereka dan kemudian mencium tangan tersebut. Jika itu juga tidak memungkinkan, mereka dapat mengusap tongkat atau objek lain dan menciumnya. Jika masih tidak memungkinkan, mereka dapat menunjukkan isyarat dengan melambai-lambaikan tangan atau objek yang mereka pegang dan kemudian menciumnya.

 

( فإن عجز ) عن استلامه بيده وبغيرها ( أشار ) إليه ( بيده ) اليمنى فاليسرى فما في اليمنى فما في اليسرى للاتباع رواه البخاري ثم قبل ما أشار به وخرج بيده فمه فتكره الإشارة به للتقبيل لقبحه ويظهر في الإشارة بالرأس أنه خلاف الأولى ما لم يعجز عن الإشارة بيديه وما فيهما فيسن به ثم بالطرف كالإيماء في الصلاة وينبغي كراهتها بالرجل بل صرح الزركشي بحرمة مد الرجل للمصحف فقد يقال إن الكعبة مثله لكن الفرق أوجه 

 

Artinya; "Jika seseorang tidak mampu mencium Hajar Aswad dengan tangannya atau benda lain, maka dia harus menunjuk ke Hajar Aswad dengan tangan kanannya, kemudian tangan kirinya. Kemudian, dia mencium apa yang ada di tangan kanannya, kemudian apa yang ada di tangan kirinya. Hal ini karena mengikutI sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Bukhari.

 

Dan dia keluar dengan tangannya, yakni mulutnya. Maka dimakruhkan memberi isyarat dengan mulutnya karena mencium dengan menggunakan itu, terbilang tindakan yang tercela. 

 

Terlihat bahwa menunjuk dengan kepala tidak dianjurkan, kecuali jika dia tidak mampu menunjuk dengan tangannya dan apa yang ada di dalamnya. Dianjurkan untuk menunjuk dengan tangan, kemudian dengan ujung mata seperti isyarat dalam salat.

 

Dan seyogianya menunjuk dengan kaki tidak dianjurkan. Zarkasyi bahkan menyatakan haram mengarahkan kaki sebagai isyarat untuk menyentuh. Ada yang mengatakan bahwa Ka'bah seperti hajar aswad, meskipun ada beberapa perbedaan,". [Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, [Beirut; Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt], Jilid IV, halaman 84 ]

 

Penjelasan serupa juga dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitab I'anah at-Thalibin, Jilid II, halaman 497 bahwa tata cara mencium atau menyentuh Hajar Aswad dengan tertib dan tidak mengganggu jamaah lain. Jika tidak memungkinkan untuk mencium atau menyentuh Hajar Aswad dengan cara yang dianjurkan, jamaah dapat melakukan alternatif, seperti mengisyaratkan dengan tangan atau dengan sesuatu benda lalu, kemudian menciumnya.

 

 فإن عجز عن التقبيل استلم بيده اليمنى، فإن عجز عنه فباليسرى، فإن عجز عن استلامه استلمه بنحو عود ثم قبل ما استلم به، فإن عجز عن استلامه أشار إليه بيده أو بشئ فيها ثم قبل ما أشار به. ولا يشير بالفم إلى التقبيل، ولا يزاحم للتقبيل، بل تحرم المزاحمة له وللاستلام إن آذى غيره أو تأذى به

 

Artinya; "Jika tidak mampu mencium (Hajar Aswad), maka sentuh dengan tangan kanan. Jika tidak mampu, maka dengan tangan kiri. Jika tidak mampu menyentuhnya, maka sentuh dengan sesuatu seperti kayu, kemudian cium apa yang telah disentuhnya. Jika tidak mampu menyentuhnya, maka tunjukkan dengan tangan atau benda di tangannya, kemudian cium apa yang ditunjukkannya. Tidak boleh menunjuk dengan mulut untuk mencium, dan tidak boleh berdesak-desakan untuk mencium. Berdesak-desakan untuk mencium dan menyentuh Hajar Aswad haram jika mengganggu orang lain atau ia sendiri terganggu,". (Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, I'anah at-Thalibin, [Darul Kutub al-Ilmiyah, 1971] Jilid II, halaman 497) 

 

Dengan demikian, Bagi Jamaah haji menyentuh Hajar Aswad (istilam) saat tawaf dianjurkan. Namun, jika situasinya sulit dan tidak memungkinkan untuk mencium atau menyentuhnya langsung, Islam memberikan kemudahan. Tidak perlu berdesak-desakan atau saling mendorong yang bisa membahayakan. Ingat!, keselamatan dan kelancaran ibadah haji adalah yang utama.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, Tinggal di Ciputat.