Syariah

Hukum Sewa Pohon dalam Mazhab Syafi'i

Jum, 1 Desember 2023 | 12:00 WIB

Hukum Sewa Pohon dalam Mazhab Syafi'i

Ilustrasi: petani - padi - beras - sawah (freepik)

Menanam pepohonan utamnya buah-buahan merupakan salah satu alternatif untuk memanfaatkan lahan kosong. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, buah-buahan mempuyai nilai ekonomis yang tinggi, lantaran kebutuhan pasar yang masih tinggi dan langkanya pembudidaya dalam jumlah besar. 

 

Keterbatasan pengetahuan sebagian petani dalam membudidaya menjadikan mereka kadang merugi akibat gagal panen. Akhirnya dengan kenyataan ini diambilah solusi untuk menyewakan pohon, sebab hal ini tidak ada risiko gagal panen. 

 

Bagi sebagian orang hal ini membuka peluang usaha yang menjanjikan, sebab dengan biaya yang minimal dengan menyewa mereka akan mendapatkan keuntungan maksimal dari hasil panenannya. Lantas, sebenarnya bagaimana hukum menyewa pohon untuk tujuan diambil buahnya? 

 

Sebelumnya perlu diketahui bahwa sewa menyewa adalah suatu akad untuk mengambil manfaat barang dengan membayar sejumlah uang pengganti dengan batas waktu yang telah ditentukan. 

 

Dalam ijarah yang sah, manfaat benda yang disewa harus memiliki nilai harga, diketahui ukuran dan sifatnya. Kemanfaatanya diperuntukan untuk penyewa serta tidak ada kesengajaan mengambil kemanfaatan barangnya. Maksudnya, akad sewa hanya untuk mendapatkan kemanfaatan barang, bukan untuk mendapatkan barang. 

 

Hal ini sebagaimana dijelaskan Sykeh Bakri Syatho dalam Hasyiyah I'anatut Thalibin;

 

قوله: وبغير متضمن الخ معطوف على بمتقومة، أي وخرج بغير متضمن لاستيفاء عين، ما تضمن استيفاءها: أي استئجار منفعة تضمن استيفاء عين، كاستئجار الشاة للبنها، وبركة لسمكها، وشمعة لوقودها، وبستان لثمرته، فكل ذلك لا يصح. وهذا مما تعم به البلوى، ويقع كثيرا. قوله: لأن الأعيان لا تملك بعقد الإجارة قصدا أي بخلافها تبعا، كما في اكتراء امرأة للإرضاع، فإنه يصح

 

Artinya:" Ungkapan Mushannif: Dan dikecualikan dari ungkapan "dengan tanpa kesengajaan mengambil barangnya", akad ijarah yang mengandung isi untuk mengambil barang. Maksudnya memyewa manfaat untuk mengambil barang seperti menyewa kambing untuk diambil susunya, kolam untuk diambil ikannya, lilin untuk membakarnya, kebun untuk diambil buahnya semuanya itu tidak sah. Dan hal ini telah umum terjadi (umumil balwa)

 

"Ungkapan Mushannif: "Karena kepemilikan barang tidak dapat diperoleh dengan akad ijarah secara sengaja", berbeda bila hanya mengikuti saja seperti ikutnya air susu dalam menyewa wanita untuk menyusui anak, maka itu sah." (Bakri Syatha, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 135). 

 

Selain itu, telah kita ketahui bersama bahwa syarat manfaat dalam akad ijarah itu manfaatnya harus jelas baik ukuran maupun sifatnya sedangkan dalam menyewa pohon untuk diambil buahnya kemanfaatannya tidak jelas dan tidak terukur sebab bisa jadi dalam satu tahun sama sekali tidak panen, gagal panen atau panen namun tidak seperti biasanya. 

 

Lain halnya menyewa pohon untuk dekorasi, tempat berteduh atau selainnya yang manfaatnya jelas dan terukur. 

 

Dengan demikian hukum menyewa pohon untuk diambil buahnya tidak diperbolehkan, selain karena kemanfaatannya yang tidak jelas dan terukur, memiliki barang dalam hal ini adalah buah-buahan dari menyewa pohon bukan merupakan konsekuensi dari akad sewa-menyewa. Akad-sewa menyewa berfungsi untuk mendapatkan manfaat suatu barang bukan untuk memiliki barang, tidak seperti jual beli. Demikian penjelasan dalam mazhab Syafi'i. Wallahu a'lam bisshawab.

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo