Syariah

Hukum Ulama Mendatangi Umara dalam Islam

Ahad, 3 September 2023 | 20:00 WIB

Hukum Ulama Mendatangi Umara dalam Islam

Hukum Ulama Mendatangi Umara dalam Islam. (Foto ilustrasi: NU Online)

Pembahasan tentang relasi antara ulama dan umara (pemerintah) merupakan bahasan yang sangat menarik dan sangat peting untuk diulas dengan detail dan terperinci, khususnya ketika membahas hukum ulama mendatangi umara. Di mana ada yang menilai haram karena merendahkan citra dan martabat Islam dan ilmu agama, bahkan tidak sedikit yang melabeli mereka sebagai “ulama su’-ulama jelek”.


Pembahasan seperti ini perlu diselesaikan dengan ilmiah yang mengandung maslahah untuk sebuah negara. Hakikatnya, para ulama mendatangi umara bertujuan hanya untuk memberikan sebuah edukasi, pertimbangan, dan pandangan-pandangan positif tentang keberlanjutan suatu bangsa; mulai dari undang-undang, kebijakan, dan lainnya melalui perspektif agama Islam. Meski tentu ada juga sebagian yang mendatangi mereka karena kepentingan pribadi, politik, dan bahkan duniawi.


Lantas, bagaimana sebenarnya hukum ulama mendatangi umara?


Sebelum membahas lebih lanjut perihal hukum tersebut, perlu diketahui bahwa stigma buruk kepada para ulama yang dekat dengan pemerintah ini sebenarnya bermula dari salah satu hadits Rasulullah saw, yaitu:


اَلْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ عَلىَ عِبَادِ اللهِ تَعَالىَ مَا لَمْ يُخُالِطُوا السَّلاَطِيْنَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ فَاحْذَرُوْهُمْ وَاعْتَزَلُوْهُمْ


Artinya, “Para ulama merupakan pemegang amanah para utusan atas hamba-hamba Allah swt selama mereka tidak berbaur dengan pemerintah. Jika mereka melakukannya (berbaur dengan pemerintah), sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul, maka berhati-hatilah kepada mereka dan jauhilah.


Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far al-Uqaili dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmi (I/185), dan Ibnul Jauzi dalam kitab al-Maudhu’at (510), dari Anas bin Malik, dengan status hadits mursal. Sedangkan menurut Imam Abu Hatim dalam kitab al-Ilal (II/137), status hadits ini merupakan hadits munkar.


Hadits lain yang juga sering dikutip dalam membahas hukum para ulama mendatangi umara adalah riwayat Ibnu Majah, yaitu:


شِرَارُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْأُمَرَاءَ وَخِيَارُ الْأُمَرَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْعُلَمَاءَ


Artinya, “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mendatangi pemerintah, dan sebaik-baiknya pemerintah adalah yang mendatangi ulama.”


Dalam kitab Ihya Ulumiddin disebutkan bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah, dengan status hadits dhaif (lemah).


Kendati dua hadits di atas dinilai tidak sahih, namun banyak ulama yang menjadikan hadits ini sebagai sebuah dalil ketika membahas etika para ulama. Makna secara umum dari hadits ini adalah penguatan terhadap para ulama. Ada kecurigaan setiap orang berilmu yang berkumpul dengan pemerintah, kecuali bagi mereka yang datang untuk memberikan nasihat, edukasi, dan masukan-masukan positif lainnya.


Dengan demikian, kedekatan para ulama dengan umara sebagaimana dimaksudkan dalam hadits di atas tidaklah berlaku secara mutlak, melainkan karena adanya sebab yang bisa memperburuk citra seorang ulama. Sedangkan ketika ulama memberikan sebuah nasihat, atau diminta pendapat untuk suatu keputusan dan undang-undang, maka tentu ini tidak masuk dalam kategori hadits tersebut. Bahkan menjadi sebuah keharusan bagi mereka untuk mendatanginya.


Pendapat ini dipertegas oleh Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith Ba’alawi al-Husaini dalam salah satu kitab karyanya, ia menjelaskan:


اَلنَّهْيُ عَنِ الدُّخُوْلِ عَلىَ السَّلاَطِيْنِ وَالسَّعْيِ لَهُمْ لَيْسَ عَلىَ اِطْلاَقِهِ، بَلْ هُوَ فِي حَقِّ مَنْ يَطْلُبُ الدُّنْيَا. وَأَمَّا مَنْ قَصْدُهُ بِذَلِكَ النَّصِيْحَةُ لَهُمْ فَهُوَ خَارِجٌ عَنِ الذَّمِّ. فَاِطْلاَقُ الذَّمِّ عَلىَ ذَلِكَ مِنَ الْخَطَاءِ، فَاِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الصَّالِحِيْنَ قَدْ دَخَلُوْا عَلَيْهِمْ وَلَكِنْ نَصِيْحَةً لَهُمْ وَشَفَقَةً عَلَيْهِمْ وَعَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ


Artinya, “Larangan (kepada para ulama) untuk mendatangi pemerintah dan pergi menuju mereka bukanlah (larangan) secara mutlak, tetapi hanya bagi mereka yang hanya mencari hal-hal duniawi saja. Sedangkan ulama yang (datang) dengan tujuan untuk memberikan nasihat kepada mereka, maka tidak tercela. Karenanya, memutlakkan celaan bagi semua ulama yang mendatangi pemerintah merupakan kesalahan, karena banyak dari kalangan orang saleh yang mendatangi mereka untuk memberikan nasihat dan didasari kasih sayang kepada mereka dan umat Islam.” (Habib Zain, al-Manhajus Sawi Syarh Ushuli Thariqatis Sadah Ba’alawi, [Darul Ilmi wad Da’wah: 2005], halaman 209).


Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab monumentalnya menceritakan kedekatan sahabat Abu Bakar dengan Mu’awiyah (gubernur Damaskus pada masa itu). Ia sering mendatanginya untuk memberi nasihat takut kepada Allah. Ia mengatakan: “Wahai Mu’awiyah! Ketahuilah bahwa siang dan malam yang mendatangimu, tidak akan menambah umurmu di dunia, akan tetapi justru menjadikanmu lebih dekat pada akhirat.”


Karena itu, Imam al-Ghazali mempertegas bahwa sudah seharusnya kedekatan para ulama dengan pemerintah menjadi alternatif untuk semakin memperbaiki keadaan dan tata kelola negaranya. (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], juz II, halaman 148).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa hukum para ulama mendatangi pemerintah tergantung motif dan tujuannya. Jika tujuannya untuk memberikan nasihat, edukasi, dan mengajak pada yang lebih baik, maka ini diperbolehkan dan tidak masuk dalam kategori yang disebutkan. Namun jika tujuannya hanya untuk kepentingan duniawi, kepentingan untuk mendapatkan pangkat dan lainnya yang tidak berhubungan dengan agama, maka tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur