Shofiyatul Ummah
Kolomnis
Haid yang merupakan siklus bulanan perempuan tidak hanya berpengaruh pada aspek hormonal, namun tentunya juga berpengaruh secara hukum, utamanya berkaitan dengan kewajiban ibadahnya. Yang semula berkewajiban puasa menjadi tidak wajib dan yang semula harus shalat lima waktu dalam sehari menjadi tidak wajib selama haid masih berlangsung.
Meski demikian, ibadah-ibadah tersebut ada yang perlu diqadha setelah haid selesai seperti puasa, dan ada yang tidak. Puasa menjadi salah satu ibadah yang wajib diqadha karena dianggap sangat mudah dan tidak memberatkan untuk dilaksanakan bagi seorang wanita saat darah mulai berhenti. Hal ini karena puasa fardhu hanya terjadi dalam satu tahun sekali dengan jumlah sebanyak satu bulan. (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri ala Ibn Qasim, [Darul Ilmi:1980], juz I, halaman134).
Selain itu ada juga ibadah yang tidak perlu diqadha seperti shalat. Secara umum shalat yang ditinggalkan orang haid memang tidak wajib untuk diganti (qadha) dengan alasan kewajiban mengqadha shalat dianggap dapat menjadi aturan syariaat yang memberatkan wanita. Hal ini tak lain karena shalat merupakan ibadah yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari.
Berkaitan dengan ketentuan di atas, terdapat hadits Nabi saw yang diceritakan oleh Sahabat Mu'adzah yang berbunyi:
عن معاذة قالت: إن امرأة سألت عائشة رضي الله عنها أتقضي الحائض الصلاة؟ فقالت أحرورية أنت؟ لقد كنا نحيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فلا نقضي ولا نؤمر بالقضاء. رواه بو داود
Artinya "Dari Sahabat Muadzah ia berkata: "Bahwa ada wanita bertanya kepada Sayyidah Aisyah ra: “Apakah wanita haid berkewajiban mengqadha shalat?" Sayyidah Aisyah kembali bertanya: “Apakah engkau wanita Haruriyyah? Kami telah benar-benar mengalami haid di masa Rasul saw, kemudian kami tidak mengqadha shalat dan kami juga tidak diperintahkan untuk mengqadhanya." (HR Abu Dawud).
Meski secara umum shalat tidak wajib untuk diqadha, namun ada beberapa shalat yang tetap berkewajiban diqadha karena ditinggalkan saat sudah mungkin untuk dilaksanakan. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, Nabi saw menjelaskan:
عن عبد الرحمن بن عوف قال: اذا طهرت الحائض قبل ان غرب الشمس صلت الظهر والعصر واذا طهرت قبل الفجر صلت المغرب والعشاء. رواه ابو داود
Artinya, “Dari Abdurrahaman bin Auf nabi bersabda: “Ketika wanita haid suci sebelum tenggelam matahari, maka ia berkewajiban shalat Dhuhur dan Ashar, dan jika ia suci sebelum fajar maka ia wajib melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’.” (HR. Abu Dawud). (Khalil Ahmad Al-Saharnafuri, Badzlul Majhud fi Halli Sunani Abi Dawud, [Darul Kutub Al-Islamiyyah: 1973], juz II, halaman 303).
Secara sekilas hadis di atas memberikan penjelasan bahwa kemungkinan munculnya kewajiban untuk mengqadha shalat bagi orang yang haid hanya akan terjadi saat baru mulai haid dan juga saat haid akan berhenti, dengan mempertimbangkan masih berkemungkinan melaksanakan shalat atau tidak pada waktu tersebut.
Secara lebih eksplisit ulama fiqih lebih memperinci kewajiban qadha shalat bagi orang yang mulai haid, sebagaimana penjelasan Syekh Nawawi Al-Bantani:
فان طرأ مانع كحيض او نفاس او جنون او اغماء او سكر او ردة بعد ما مضى من وقتها اي الصلاة ما يسعها باخف ممكن وطهرها لنحو سلس البول مما لا يصح معه تقديم الطهر على الوقت كتيمم وطهر المستحاضة لزمه قضاءها
Artinya, “Jika baru terjadi hal yang menghalangi keabshan shalat seperti haid, nifas, gila, epilepsi, mabuk, atau murtad, setelah melewati waktu yang cukup untuk digunakan shalat secara seringan mungkin dan memuat sucinya bagi semisal orang beser, yakni setiap orang yang tidak sah untuk mendahulukan sucinya sebelum masuk waktu, seperti tayammum dan orang istihadah, maka ia wajib mengqadha shalatnya.” (Nawawi Al-Bantani, Mirqatu Su’uduit Tashdiq, [Al-Haramian: 1987], halaman 17).
Secara lebih sederhana referensi di atas menjelaskan, jika wanita haid setelah masuknya waktu shalat yang sekira cukup untuk digunakan untuk melaksanakannya dengan standar minimal, maka ia wajib untuk mengqadhanya ketika darah telah berhenti.
Namun jika wanita yang mengalami haid adalah orang yang sering berhadas, maka minimal waktunya adalah waktu yang dapat digunakan untuk shalat serta bersuci.
Adapun saat berhenti haid, shalat yang wajib diqadha sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairimi:
وَلَوْ زَالَتْ هَذِهِ الْأَسْبَابُ الْمَانِعَةُ مِنْ وُجُوبِ الصَّلَاةِ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ الْوَقْتِ قَدْرُ تَكْبِيرَةٍ فَأَكْثَرَ وَجَبَتْ الصَّلَاةُ؛ لِأَنَّ الْقَدْرَ الَّذِي يَتَعَلَّقُ بِهِ الْإِيجَابُ يَسْتَوِي فِيهِ قَدْرُ الرَّكْعَةِ وَدُونِهَا
Artinya, “Andaikan sebab-sebab yang mencegah dari kewajiban shalat hilang, sedangkan waktu shalat yang masih tersisa cukup untuk sekira membaca takbiratul ihram atau lebih, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat. Karena kira-kira waktu yang berkaitan dengan kewajiban sepadan dengan kadar satu rakaat dan atau kurang dari satu rakat." (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi 'alal Khatib, [Darul Fikr: 2006], juz I, halaman 114).
Sebagai tambahan, khusus dalam kasus bersuci, wanita yang bersuci di waktu yang mungkin melakukan jama’ shalat dengan shalat sebelumnya, wajib pula untuk mengqadha shalat sebelumnya. sebagaimana penjelasan berikut:
وَيَجِبُ الظُّهْرُ مَعَ الْعَصْرِ بِإِدْرَاكِ قَدْرِ زَمَنِ تَكْبِيرَةِ آخَرِ وَقْتِ الْعَصْرِ وَتَجِبُ الْمَغْرِبُ مَعَ الْعِشَاءِ بِإِدْرَاكِ ذَلِكَ آخَرِ وَقْتِ الْعِشَاءِ لِاتِّحَادِ وَقْتَيْ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَوَقْتَيْ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي الْعُذْرِ، فَفِي الضَّرُورَةِ أَوْلَى
Artinya, “Dan wajib mengqadha shalat Dhuhur beserta Ashar dengan menemui waktu sekira cukup untuk membaca takbiratul ihram saat akhir waktu Ashar dan wajib mengqadha shalat Maghrib beserta Isya saat menemui akhir waktu Isya karena menyatunya dua waktu shalat Duhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya dalam hal uzur, sehingga dalam kondisi darurat menjadi lebih utama." ( Al-Bujairimi, II/40). Wallahu a'lam.
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding Sumenep
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua