Syariah

Klasifikasi dan Ketentuan Penangguhan Transaksi Keuangan dalam Fiqih Muamalah

Rabu, 4 Desember 2024 | 05:00 WIB

Klasifikasi dan Ketentuan Penangguhan Transaksi Keuangan dalam Fiqih Muamalah

Ilustrasi keuangan yang ditangguhkan. Sumber: Canva/NU Online

Dalam fiqih muamalah, ada beberapa keadaan yang menyebabkan seseorang kehilangan atau dibatasi hak untuk mengelola hartanya (tasharruf). Pembatasan ini dikenal dengan istilah mahjur ’alaih, yang dilakukan untuk melindungi kepentingan individu maupun orang lain.

 

Syariat menetapkan aturan ini sebagai upaya untuk mencegah kerugian yang dapat timbul akibat ketidakmampuan seseorang dalam mengelola hartanya dengan bijak, baik karena faktor usia, kondisi mental, ataupun keadaan finansial.

 

Para ulama menyebutkan pembatasan hak kelola harta berlaku pada delapan golongan: anak kecil (shabi), orang gila (majnun), orang bodoh (safih), orang bangkrut (muflis), orang sakit keras (maridh makhuf), budak, orang murtad, dan penggadai (rahin).

 

Delapan golongan tersebut sebagaimana tertera dalam sebuah nadzom yang dikutip dari Hasyiah al-Bujairimi Jilid III (Beirut, Darul Fikr, 1995: 383):

 

ثَمَانِيَةٌ لَا يَشْمَلُ الْحَجْرُ غَيْرَهُمْ ... تَضَمَّنَهُمْ بَيْتٌ وَفِيهِ مَحَاسِنُ
صَبِيٌّ وَمَجْنُونٌ سَفِيهٌ وَمُفْلِسُ ... رَقِيقٌ وَمُرْتَدٌّ مَرِيضٌ وَرَاهِنُ

 

Artinya, “Ada delapan golongan yang hak pengelolaan hartanya dibatasi, dan tidak berlaku pembatasan ini pada selain mereka. Golongan-golongan tersebut tercakup dalam sebuah bait syair yang indah, yaitu anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang bangkrut, budak, orang murtad, orang sakit keras, dan penggadai.“

 

Setiap golongan memiliki alasan dan syarat tersendiri yang menyebabkan hak kelola hartanya dibatasi, serta mekanisme tertentu untuk membebaskan mereka dari status tersebut. Tulisan ini akan menjelaskan masing-masing kategori tersebut.

 

 1. Anak Kecil (Shabi)

Shabi adalah anak yang belum mengalami ihtilam (mimpi basah) atau haid, atau belum mencapai usia 15 tahun. Hak kelola harta anak kecil dibekukan oleh syariat karena dua alasan:

  • Perkataannya tidak diakui syariat (maslubul ibarah), baik dalam aspek duniawi seperti transaksi maupun dalam aspek keagamaan seperti ikrar masuk Islam.
  • Kewenangannya tidak diakui syariat (maslubul wilayah), karena anak kecil dianggap belum mampu mengambil keputusan dengan bijak. (hlm. 389)

Anak kecil akan terbebas dari status mahjur ’alaih (dibatasi hak tasharruf-nya) jika telah baligh dalam keadaan rusydu atau dalam Mazhab Syafi’i, rusydu mencakup kecakapan dalam aspek agama dan finansial.

 

Dalam finansial, kecakapan diukur dengan tidak boros atau melakukan tindakan yang merugikan harta secara signifikan. Sementara dalam agama, seseorang dianggap rusydu jika tidak melakukan maksiat yang merusak sifat adil. Imam Nawawi menjelaskan dalam Minhajuth Thalibin:

 

والرشد صلاح الدين والمال فلا يفعل محرما يبطل العدالة ولا يبذر بأن يضيع المال باحتمال غبن فاحش في المعاملة أو رميه في بحر أو إنفاقه في محرم

 

Artinya, “Rusydu adalah kecakapan dalam agama dan harta, yaitu tidak melakukan hal haram yang membatalkan keadilan dan tidak menyia-nyiakan harta, seperti mengalami kerugian besar dalam transaksi, membuangnya ke laut, atau membelanjakan untuk hal yang haram.” (Beirut, Darul Fikr, 2005: 123)

 

2. Majnun (Orang Gila)

Majnun adalah orang yang kehilangan kemampuan membedakan antara yang benar dan salah. Hak tasharruf orang gila dibekukan karena dua alasan serupa anak kecil, yaitu perkataan dan kewenangannya tidak diakui syariat.

 

Orang gila akan terbebas dari pembekuan hak kelola hartanya jika ia sembuh dan kembali memiliki kecakapan mengelola harta. Kondisi ini disebut ifaqah atau steril dari cacat mental, sebagaimana dikutip dari Hasyiah al-Jamal Jilid III (hlm. 335).

 

3. Orang Bodoh (Safih)

Safih adalah orang yang tidak memiliki kecakapan (rusydu) dalam mengelola harta, seperti boros (mubazir), membelanjakan untuk perkara haram, atau membuang-buang harta tanpa manfaat. Safih sebagaimana mengutip Syekh Mahfudz Tarmasi dalam Hasyiah Tarmasi Jilid VII (Beirut, Darul Minhaj: 2021: 335) dibagi menjadi dua:

 
  1. Safih Muhmal, orang yang awalnya cakap (rusydu) dalam finansial, tetapi kemudian kehilangan kecakapan tersebut. Hak tasharruf-nya tetap diakui selama belum ada keputusan hijr dari qadhi. Safih Mahjur ’Alaih, orang yang sejak awal tidak cakap dalam finansial atau telah dijatuhi keputusan hijr oleh qadhi.
  2. Safih akan terbebas dari status mahjur ’alaih setelah mampu mengelola harta secara bijak. Jika pembekuan dilakukan oleh qadhi, pencabutannya juga memerlukan keputusan qadhi.
 

4. Orang Bangkrut (Muflis)

Muflis adalah orang yang asetnya tidak cukup untuk melunasi utang, sehingga hak pengelolaan hartanya dibekukan untuk melindungi hak pemilik piutang. Pembekuan ini hanya bisa dilakukan melalui keputusan qadhi atas tuntutan dari pihak pemberi utang.

 

Muflis hanya bisa terbebas dari status mahjur ’alaih melalui keputusan qadhi, setelah memastikan ia tidak lagi berada dalam kondisi bangkrut. Keterangan ini sebagaimana dikutip dari Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiah al-Jamal Jilid III (hlm. 320).

 

5. Orang Sakit Keras (Maridh Makhuf)

Maridh makhuf adalah orang yang menderita sakit parah yang secara medis berpotensi mengakibatkan kematian. Hak tasharruf hartanya dibekukan demi kepentingan ahli waris.

 

Karena itu, pembatasan hak orang sakit hanya pada hak kelola harta non-komersial, seperti hibah, hadiah, sedekah, waqaf, dan wasiat. Sementara hak kelola yang bersifat komersial seperti jual beli dan semacamnya tidak dibekukan, karena tidak merugikan hak ahli waris. (Sulaiman al-Bujairimi, III/394)

 

Pembekuan ini hanya diberlakukan pada angka di atas sepertiga dari total kekayaan yang dimiliki orang sakit keras. Sehingga tasharruf di bawah angka tersebut hukumnya sah. Konsekuensi dari adanya pembekuan keuangan bagi orang sakit keras diperinci oleh Imam asy-Syirazi dalam al-Muhadzab Jilid I [Surabaya, Toko Kitab al-Hidayah, t.t.: 460) sebagai berikut:

 
  1. Apabila tidak memiliki ahli waris, maka hak kelola harta yang bersifat nonkomersial di atas angka sepertiga dari total kekayaannya adalah batal, karena kekayaannya menjadi hak umat islam.
  2. Apabila memiliki ahli waris, maka hukum kelola harta nonkomersial di atas angka sepertiga dari kekayaannya masih terjadi perbedaan pendapat. Menurut pendapat pertama hukumnya batal, dan menurut pendapat kedua ditangguhkan pada persetujuan ahli waris pasca kematian, sebab kekayaannya menjadi hak ahli waris.

6. Budak

Budak adalah orang yang berada di bawah kepemilikan tuannya. Hak tasharruf-nya dibekukan agar fokus melayani tuannya. Segala bentuk kelola harta, seperti jual beli atau sewa menyewa, dianggap batal. Budak akan terbebas dari status mahjur ’alaih setelah dimerdekakan, sebagaimana dikutip dari Syekh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t.: 283).

 

7. Murtad

Murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam. Hak kelola hartanya ditangguhkan untuk melindungi kepentingan umat Islam. Jika ia kembali masuk Islam, haknya dikembalikan. Jika meninggal dalam keadaan murtad, hartanya menjadi harta fai’ (milik umat Islam).

 

Menurut pendapat yang kuat (ashah), pembekuan hak tasharruf orang murtad memerlukan keputusan hakim (qadhi). Namun, ia dapat bebas dari status mahjur ’alaih hanya dengan kembali masuk Islam tanpa memerlukan keputusan qadhi sebagaimana disebut oleh Sulaiman al-Jamal (hlm. 27).

 

8. Rahin (Penggadai)

Rahin adalah orang yang menggadaikan barang sebagai jaminan atas utang. Hak kelola atas barang yang digadaikan dibatasi untuk melindungi kepentingan pihak yang memberi utang. Setelah utangnya lunas, hak atas barang tersebut dikembalikan sepenuhnya, sebagaimana mengutip Imam asy-Syirazi dalam al-Muhadzab Jilid I (hlm. 223)

 

Pembatasan hak tasharruf (mahjur ’alaih) dalam syariat Islam bertujuan untuk menjaga kemaslahatan bersama, baik bagi individu yang dibatasi maupun bagi pihak lain yang berhubungan dengannya. Setiap kategori mahjur ‘alaih memiliki ketentuan khusus sesuai dengan keadaan mereka.

 

Prinsip utama dalam pembatasan ini adalah perlindungan terhadap harta dan hak individu, sekaligus mencegah potensi kerugian yang lebih besar. Dengan memahami aturan ini, kita dapat melihat keadilan dan kehati-hatian syariat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat secara seimbang dan penuh tanggung jawab. Wallahu A’lam

 

Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura