Syariah

Kripto, Instrumen Spekulasi dalam Perdagangan Berjangka Komoditi

Ahad, 31 Oktober 2021 | 13:00 WIB

Kripto, Instrumen Spekulasi dalam Perdagangan Berjangka Komoditi

Kripto bukanlah aset materi, dan tidak memiliki fungsi material apa pun. Karena itu ia bisa disebut kripto adalah aset fiktif digital.

Judul ini terinspirasi dari definisi komoditi dalam UU Nomor 10 Tahun 2011. Undang-undang itu menyatakan, bahwa “komoditi adalah semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya dan setiap derivatif dari komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka , kontrak derivatif syariah, dan atau kontrak derivatif lainnya.”

 

Tidak dipungkiri bahwa hak merupakan yang diakui sebagai bagian dari harta. Secara fiqih, right ini merupakan cabang dari harta berjamin (syaiun mausuf fi al-dzimmah) dengan jenis jaminan berupa fi’lin (pekerjaan). Aset yang berjamin pekerjaan ini ada 2, yaitu aset berjamin jasa (khadamat) dan aset berjamin hak.

 

Sudah barang tentu, hak yang dimaksud di sini adalah hak yang bisa diakui sebagai harta (haqqun maliyyun). Contoh dari aset dengan jaminan hak ini misalnya adalah sertifikat profesi yang merupakan hak bagi pemegangnya untuk menjalankan profesi tertentu sesuai yang dituangkan dalam sertifikat. Ada pekerjaan berupa menjalankan profesi yang bisa dinilai (ditaqwim) sebagai harta.

 

 

Hak bagi penyewa rumah adalah tinggal di rumah yang disewanya dalam batas waktu yang telah ditentukan. Hak tinggal merupakan bagian dari haqqun maliyyun yang apabila ada pihak lain menghilangkan atau merusakkan hak tersebut, maka wajib bagi pihak tersebut untuk menggaanti rugi. Besaran ganti rugi itu ditetapkan berdasarkan harga sewa selama waktu yang tersisa. Artinya, manfaat sewa itu bisa ditetapkan nilai hartawinya (taqwim).

 

Di dalam pasar berjangka, hak ini diperdagangkan sebagai bagian dari aset derivatif, bersama-sama dengan giro, warant, saham, obligasi, dan aset derivatif lainnya. Wujud praktik dari right (hak) ini di antaranya adalah hak melakukan opsi (khiyarat).

 

Suatu contoh, ada perusahaan melelang sahamnya. Di sisi lain, ada investor yang memegang saham mayoritas di perusahaan tersebut. Itu sebabnya, pihak investor ini memiliki hak, yang disebut Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Untuk itu, agar haknya tidak hilang, maka dia harus memberikan uang muka (urbun) untuk kepastian ia menggunakaan haknya. Batas waktu terakhir pelunasan sudah ditetapkan, misalnya 1 bulan ke depan.

 

Selang 1 bulan, ternyata pihak investor ini tidak memiliki cukup dana untuk menebus efek secara keseluruhan. Untuk itu, dia punya 2 opsi, antara merelakan uang mukanya, atau mengusahakan keuangan untuk mengakuisisi saham yang dilelang dan sudah dikontraknya. Namun, seandainya dipaksakan untuk menebusnya, dia tetap tidak punya cukup modal. Satu-satunya pilihan adalah ia merelakan uang mukanya hangus daripada ia memaksakan diri menebus. Atau, ia mengoperkan hak pembelian tersebut kepada investor lain, dengan syarat pihak lain tersebut menggantikan uang muka yang sudah diserahkan.

 

Inilah bagian dari penerapan right issue (haqqun maliyyun) pada pasar berjangka dan umumnya berlaku pada pasar derivatif dengan aset-aset derivatif pula.

 

Bagaimana dengan Kripto?

Sebagian pihak menyangkutkan mata uang kripto (cryptocurrency) sebagai harta berjamin hak (right), termasuk di dalamnya adalah Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Pertanyaannya adalah kripto ini termasuk aset berjamin hak apa?

 

Sebenarnya keputusan Bappebti dalam memasukkan kripto sebagai bagian dari aset ini juga bermasalah. Sebab, kripto tidak punya aset fisik apa pun, sehingga tidak masuk dalam bagian komoditas barang atau jasa. Karena tidak masuk keduanya, lantas kripto dipaksakan untuk masuk ke dalam bagian aset berjamin hak. Pertanyaan mendasarnya adalah ada hak apa di balik aset kripto tersebut?

 

Jawabnya adalah tidak ada hak apa pun di balik kripto tersebut. Ia tak ubahnya sekadar catatan-catatan saja dan catatan itu bisa dilakukan oleh semua orang.

 

Beberapa pihak menyebut bahwa kripto (cryptocurrency) merupakan bagian dari haq ibtikari (hak inovasi) dan haq istihlaki (hak konsesi). Persoalannya adalah kripto tidak memilikii fisik materi.

 

Semua aset derivatif sebagaimana yang telah disebutkan di atas, memiliki ushul tsabitah (aset landasan yang berlaku) berupa materi fisik dan jasa. Dan kripto tidak memiliki keduanya. Mana mungkin hendak dikelompokkan ke dalam bagian haq ibtikari dan haq istihlaki? Lagi pula hak merupakan cabang dari aset berjamin, dengan jenis jaminan berupa fi’lin (pekerjaan). Jadi, hak yang ada seharusnya juga wajib memenuhi kategori pekerjaan atau fungsi pekerjaan sehingga bisa ditetapkan nominal harganya. Kripto tidak menyatakan kedua kategori pekerjaan dan fungsi pekerjaan tersebut. Jadi, tidak ada hak di balik kripto yang bisa dinominalkan harganya.

 

 

Alhasil, memasukkan kripto ke dalam bagian aset berjamin hak adalah termasuk kekeliruan yang mendasar. Di dalam Islam, semua harta, wajib memiliki ushul tsabitah (aset landasan yang berlaku). Sebagaimana hal ini merupakan ta’rif harta yang disepakati dalam konsepsi fiqih, yaitu:

 

كُلُّ مَا يَقـْتَضِى وَيَحُوْزُهُ الْإِنْسَانُ بِالْفِعْلِ سَوَاءٌ أَكاَنَ عَيْنًا أَوْ مَنْفَعَةً كَذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ حَيَوَانٍ أَوْ نَبَاتٍ أَوْ مَنَافِعٍ الشَّيْءِ كَاَلرُّكُوْبِ وَاللُّبْسِ وَالسُّكْنَى

 

“Segala sesuatu yang dibutuhkan dan bisa diperoleh oleh manusia dengan suatu usaha baik berupa benda yang tampak (materi) seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun berupa fungsi dari suatu aset, misalnya dikendarai, dikenakan, dan ditinggali.”

 

Kripto bukanlah aset materi, dan tidak memiliki fungsi material apa pun. Oleh sebab itu, ia juga tidak punya fungsi haqqun maliyyun (hak hartawi di baliknya). Karena bukan materi dan tidak memiliki fungsi material apa pun maka kripto adalah aset fiktif digital, yang keberadaannya tak lebih dari sekadar catatan tak bermanfaat. Coba tanya pada diri Anda, mau Anda manfaatkan untuk apa catatan itu? Tidak ada manfaatnya selain hanya sebagai sarana bagi para spekulan untuk memakan harta orang lain secara batil dengan dalih perdagangan. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur