Syariah

Polemik Aset Kripto Ditinjau dari Hukum Produksi

Sab, 30 Oktober 2021 | 15:30 WIB

Polemik Aset Kripto Ditinjau dari Hukum Produksi

Polemik Aset Kripto Ditinjau dari Hukum Produksi. (Ilustrasi)

Bapebti berniat mewadahi perdagangan aset kripto dalam mekanisme bursa. Tentu saja ini menjadi polemik, sebab aset kripto sendiri masih bermasalah dari berbagai sudut pandang.

 

Selama ini para penambang cryptocurrency (mata uang kripto) meyakini bahwa kripto merupakan aset digital. Sebutan sebagai aset ini menandakan bahwa kripto adalah harta yang berlaku sebagai dua hal, yaitu jika bukan sebagai mata uang, maka ia ditempatkan sebagai komoditi. Demikian yang berlaku sebaliknya, jika bukan komoditi, maka aset kripto bisa berlaku sebagai mata uang (nuqud), atau bahkan ada yang menempatkan bisa berlaku dua-duanya.

 

Kekuatan Proof of Work, teknologi Hash, dan pengenkripsian, dianggap sebagai satu paket entitas yang menjadi penopang utama dan memperkuat kedudukan cryptocurrency layak untuk disebut aset. Anggapan adanya keterpenuhan hukum produksi, yang terdiri atas pelibatan proses produksi, kapital (ra’sul mal), raw material yang digali dari alam dan terdiri dari bilangan kriptografi serta diperoleh setelah memecahkan rumus dasar dengan alat yang terdiri dari serangkaian miner, adanya  kerja dan pasokan listrik sebagai fasilitas pendukungnya, semua itu dianggap merupakan faktor pendukung yang menguatkan bahwa cryptocurrency adalah aset yang bisa diterima secara akal serta memenuhi logika ilmu pengetahuan.

 

Saat ditanya mengenai fisik virtual, umumnya jawaban seringkali dikaitkan dengan teori fisika quantum dan yang sejenisnya. Fisik non indrawi ini dianggap kedudukannya sama atau standar dengan fisik indrawi.

 

Fisik indrawi dalam teori ekonomi Islam, adalah fisik yang ditandai oleh keberadaan materi yang bisa dipegang, dilihat, dicium, ditakar, diukur kadarnya, dan didengar. Sementara fisik nonindrawi, tidak mempedulikan akan hal itu. Asalkan ada produksi, meski tanpa kehadiran fisik, kedudukannya tetap dianggap sebagai produk. Kendati hanya virtual bentuknya.

 

Di sinilah, masalah ini bermula sehingga timbul pertanyaan, benarkah bahwa hukum produksi sudah terpenuhi dalam proses tersebut? Mari kita uji bersama!

 

Pertama, hukum produksi meniscayakan adanya pihak yang menyuruh bekerja di satu sisi, dan pekerja di sisi yang lain. Karena ikatan menyuruh dan yang disuruh, maka penyuruh memiliki ikatan relasi gaji menggaji dengan pihak yang dipekerjakan.

 

Fakta yang terjadi dalam produksi cryptocurrency, justru berkebalikan. Pihak yang disuruh untuk bekerja meminta gaji pada orang lain atas nama penjualan aset kripto di bursa aset kripto (cryptocurrency exchange).

 

Apa ini artinya? Secara tidak langsung ini menandakan bahwa pihak yang mempekerjakan karyawan penambang (platform cryptocurrency) lepas tangan dari tanggung jawab menggaji pekerja kripto dan justru meminta orang lain agar memberikan upah kepada pekerja tersebut. Relasi semacam ini merupakan bagian dari penipuan. Sementara, kerja penambangan merupakan bagian dari sarana pengelabuan (taghrir). Objek pengelabuannya adalah persoalan gaji pekerja.

 

Kedua, menurut pengakuan para penambang, bahwa apabila seorang penambang (worker) telah berhasil menambang kriptografi sesuai dengan spesifikasi skrip miner tertentu yang dimilikinya, maka dia masih harus mengeluarkan uang atas nama pengesahan kriptografi tersebut menjadi mata uang cryptocurrency oleh pihak platform.

 

Baca juga: Jangan Tertipu, Ini Beda Cryptocurrency Asli dan Cryptocurrency Palsu

 

Pertanyaannya, mengapa pekerja masih harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan pengesahan? Hal yang berlaku sebagai urf (tradisi) adalah semestinya pihak Platform kripto justru berterima kasih kepada pihak pekerja karena sudah mendapatkan material kripto yang ia butuhkan untuk dimasukkan dalam bagian cryptocurrency.

 

Namun, faktanya tidak demikian. Pihak pekerja justru yang menyetor uang, dan setelah disahkan dia harus melelangnya ke bursa kripto. Yang untung siapa? Sudah barang tentu adalah pihak platform. Yang rugi siapa? Tentu saja adalah pihak yang membelinya.

 

Jika dirunut dari sini, maka harga sebenarnya dari setiap keping cryptocurrency adalah sebesar biaya yang dikeluarkan pekerja kepada pihak platform tersebut dan biaya ini seharusnya merupakan tanggung jawab yang harus diberikan Platform kepada si pekerja itu. Dan bukan malah sebaliknya.

 

Ingat, bahwa pihak platform-lah yang menempati kedudukan sebagai “pemberi kerja” sehingga wajib menggaji, dan bukan malah meminta imbalan atas hasil pekerja. Dengan demikian, jelas bahwa kedudukan imbalan ini adalah bagian dari sarana pengelabuan (taghrir) dan penipuan (tadlis) oleh pihak platform kepada pekerja tambang kripto.

 

Ketiga, bagaimana bila dirunut dari sisi bahan mentah tambang kripto yang mana bahan ini digali dari alat penambang yang memiliki spesifikasi khusus?

 

Sebagaimana kita tahu, bahwa alat penambang hanyalah suatu instrumen yang dibekali rumus dan scrypt tertentu yang programmable. Selayaknya berlaku sebagai instrumen pembawa rumus, maka dia hanya berfungsi memecahkan berbagai soal yang disodorkan dari pencipta rumus atau soal yang berikatan dengan rumus tersebut.

 

Suatu misal, rumus kecepatan merupakan hasil perbandingan antara jarak dan waktu tempuh sehingga memiliki satuan kilometer per jam (km/jam). Melalui rumus ini, semua bilangan yang memiliki satuan jarak tempuh dan bisa diukur dengan waktu, maka bisa pula diselesaikan dengan menggunakan rumus baku tersebut.

 

Tentu saja nilainya akan berbeda-beda, bahkan bisa tanpa batas. Sebab, deret ukur bilangan bisa berlaku antara 0 (nol) hingga bilangan tak terhingga. Demikian sebaliknya, mundur ke belakang, bisa berlaku dari 0 hingga minus bilangan tak hingga.

 

Semua bilangan itu bisa dilabeli dengan satuan km / jam meski berasal dari kecepatan dan jarak tempuh yang berbeda. Sebab, rumus merupakan satu persamaan yang sifatnya dibakukan. Jadi, kunci dasarnya adalah rumus / formula.

 

Setiap formula logis, bisa disusun dan dibuat alat hitungnya yang kemudian bisa kita labeli sebagai miner, bukan? Enkripsi, merupakan teknologi penyembunyian hasil sebenarnya sehingga tampak seolah menyerupai wujud bilangan lain. Teknologi semacam ini sudah lama dipelajari dalam ilmu sandi negara.

 

Suatu misal, hasil sebenarnya adalah angka 1, kita bisa menyebutnya sebagai talenta dengan aa. Keluar angka 2, kita bisa menyebutnya sebagai paduan Ab. Jadi, apabila keluar angka 21, kita bisa menggabungkan kedua angka tersebut sebagai Abaa. Tergantung formulasi atau rumus dan logika matematika yang dibangun dalam sistem.

 

Demikianlah fungsi dari miner. Pada dasarnya yang masuk adalah bisa berupa angka berapapun tergantung input yang masuk ke dalamnya, dan tergantung pada formula atau rumus penyelesaian yang dimasukkan.

 

Alhasil, kerja penambangan yang dilakukan oleh miner milik karyawan kripto, pada dasarnya merupakan yang mulgha (hal yang semestinya diabaikan). Sebab, produk yang dihasilkan menempati derajat produk programmable (yang bisa diprogram). Apabila hasilnya telah keluar, hasil itu tidak memiliki nilai guna (utilitas) apapun selain hanya telah berhasil menyelesaikan soal dari pihak Platform.

 

Jadi, apabila hasil itu kemudian dikirim ke rantai block untuk disahkan atas nama konsensus, yang kemudian disertai penyerahan uang kepada pihak platform, dan selanjutnya hasil itu diminta agar melelang di pasaran bursa, apakah hal ini termasuk yang bisa diterima oleh logika akal sehat kita? Sudah barang tentu tidak, bukan?

 

Jika tidak masuk akal, lalu kerja penambangan itu menempati derajat apa? Jawabnya, yang lebih tepat sebagai ilustrasinya adalah itu pekerjaan iseng, dari pihak yang kurang penghasilan dan ingin mendapatkan harta orang lain secara batil, karena platform yang menyuruh tidak mahu membayarinya.

 

Apa peran pencetus cryptocurrency itu? Mahu digambarkan bagaimana lagi untuk lebih tepat selain daripada kedudukan sebagai gembong penipuan internasional. Memakan harta orang lain secara batil dan tidak sah secara syara’ adalah bagian yang diharamkan dalam Islam.

 

Oleh karena itu, berbekal penjelasan di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa hukumnya adalah haram. Produk kripto hanya merupakan sarana pengelabuan, penipuan, dan penggelapan penghasilan. Bagi trader, aset kripto hanya akan masuk sebagai instrumen spekulasi saja. Jadi, semestinya tidak perlu diwadahi dalam bursa. Tindakan yang lebih tepat dan bahkan menjadi keharusan adalah menolak dan menutup semua bentuk perdagangan kripto.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jatim​​​​​​​