Syariah

Pemimpin yang Ingkar Janji menurut Hukum Islam

Sab, 30 Desember 2023 | 14:00 WIB

Pemimpin yang Ingkar Janji menurut Hukum Islam

Ilustrasi pemimpin. (Foto: NU Online/Freepik)

Pada musim kampanye pemilu, calon legislatif, kepala daerah, dan presiden menawarkan janji kampanye berupa program kerja yang akan mereka laksanakan jika terpilih. Janji ini merupakan salah satu strategi untuk menarik simpati dan dukungan publik. Program-program tersebut dapat mencakup bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

 

Lebih jauh lagi, janji manis ini dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih pemimpin. Namun, faktanya setelah jabatan itu tercapai, baik itu di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif karena berbagai sebab, tak sedikit pemimpin pemerintahan yang ingkar akan janjinya. Padahal, janji adalah hutang yang harus ditepati.

 

Sementara itu, tidak ada mekanisme formal dari suatu institusi resmi yang mampu menagih janji-janji tersebut. Oleh karena itu, acapkali rakyat pemilih merasa kecewa sehingga enggan menaatinya. Padahal, Islam mengajarkan agar pemimpin wajib ditaati.

 

Dalam konteks pemimpin yang tidak memenuhi janjinya, bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut dalam Islam? Apakah janji yang diumbar saat kampanye wajib ditepati?

 

Berdasarkan hasil Sidang Komis Bahtsul Masail Ad-Diniyyah al-Waqi'iyyah pada Muktamar NU ke 33 yang digelar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mengatakan bahwa status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan atau pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dalam istilah fiqh ada dua kategori, yakni al-wa‘du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk kategori al-‘ahdu (komitmen).

 

Adapun hukumnya dapat diperinci sebagai berikut:

 

Pertama, apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana, sedangkan ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya jika ia menduga kuat tidak akan mampu untuk merealisasikannya maka hukumnya haram (tidak boleh).

 

Sementara itu, jika yang dijanjikan tersebut dari dana pribadi dan diberikan sebagai imbalan agar ia dipilih maka hukumnya adalah haram, karena masuk dalam kategori janji riswah (suap).

 

Kedua, apabila janji-janjinya tersebut sesuai dengan tugasnya dan tidak menyalahi prosedur maka wajib ditepati. Ketiga, pemimpin yang tidak menepati janji harus diingatkan, meskipun selama menjadi pemimpin yang sah tetap harus ditaati.

 

Adapun dasar dari keharaman mengingkari janji bagi pemimpin yang mampu melaksanakannya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, tentang pentingnya menepati janji. Menurut Imam Ghazali, seseorang yang berjanji harus memiliki niat untuk memenuhi janjinya. Jika seseorang berjanji dengan bertekad untuk mengingkari janjinya, maka ia termasuk orang munafik.

 

Sedangkan jika seseorang berjanji dengan bertekad untuk memenuhi janjinya, tetapi kemudian ada alasan yang menghalanginya untuk memenuhi janjinya, maka ia tidak termasuk orang munafik. Namun, ia tetap harus berhati-hati dari gambaran nifak, yaitu perbuatan yang menyerupai perbuatan orang munafik. Abil Faidh Muhammad bin Muhammad Al Husaini  dalam kitab Ithafu as Sadah al Muttaqin bi Syarh Ihya Ulumiddin halaman 506, menjelaskan:

 

ثم إذا فهم مع ذلك الجزم في الوعد فلا بد من الوفاء إلا أن يتعذر ، فإن كان عند الوعد عازما على أن لا يفي فهذا هو النفاق ، قال النبي - صلى الله عليه وسلم - : " ثلاث من كن فيه فهو منافق ، وإن صام وصلى وزعم أنه مسلم : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان " وقال - صلى الله عليه وسلم - : " أربع من كن فيه كان منافقا ، ومن كانت فيه خلة منهن كان فيه خلة من النفاق حتى يدعها : إذا حدث كذب ، وإذا وعد [ ص: 195 ] أخلف ، وإذا عاهد غدر ، وإذا خاصم فجر "

 

Artinya: “Kemudian, jika dalam janji tersebut terdapat keputusan, maka harus ditepati, kecuali jika ada uzur yang menyulitkan. Jika seseorang berjanji, kemudian sudah bertekad untuk tidak menepatinya, maka itulah bentuk kemunafikan. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ada tiga sifat yang jika ada pada seseorang, maka ia adalah orang munafik, meskipun ia puasa dan shalat dan mengaku sebagai muslim: jika ia berbicara maka ia berdusta, jika ia berjanji maka ia mengingkari, dan jika ia dipercaya maka ia berkhianat."

 

Selanjutnya, Nabi SAW juga bersabda, "Ada empat sifat yang jika ada pada seseorang, maka ia adalah orang munafik, dan jika ada pada seseorang salah satu dari sifat-sifat tersebut, maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan hingga ia meninggalkannya: jika ia berbicara maka ia berdusta, jika ia berjanji maka ia mengingkari, jika ia berjanji maka ia berkhianat, dan jika ia berdebat maka ia curang."

 

Sementara itu, dalam Al-Qur'an Q.S An-Nahl [16] ayat 91, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk selalu menepati janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia. Janji kepada Allah adalah janji yang dibuat dengan Allah, seperti janji untuk beribadah, janji untuk berbuat baik, atau janji untuk menjauhi perbuatan maksiat. Janji kepada sesama manusia adalah janji yang dibuat dengan orang lain, seperti janji untuk membantu, janji untuk memenuhi kewajiban, atau janji untuk menjaga rahasia.

 

وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ

 

Artinya: "Tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. Janganlah kamu melanggar sumpah(-mu) setelah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

 

Imam Abu Ja'far at-Thabari dalam kitab Tafsir Jami' al Bayan, Jilid 17, [Mekkah: Dar Tarbiyah wa Turats,tt] halaman 282, mengatakan Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu menepati janji yang dibuat dengan sungguh-sungguh dan tidak melanggarnya. Janji yang dimaksud adalah janji yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Allah. Janji yang baik itu misalnya tidak melanggar aturan, tidak merugikan orang lain, dan sesuai dengan nilai-nilai moral. Contohnya, janji untuk membayar utang, janji untuk menikah, atau janji untuk membantu orang lain.

 

والصواب من القول في ذلك أن يقال: إن الله تعالى أمر في هذه الآية عباده بالوفاء بعهوده التي يجعلونها على أنفسهم، ونهاهم عن نقض الأيمان بعد توكيدها على أنفسهم لآخرين بعقود تكون بينهم بحقّ مما لا يكرهه الله

 

Artinya: "Pendapat yang benar dalam hal ini adalah mengatakan bahwa Allah Ta'ala memerintahkan dalam ayat ini hamba-hamba-Nya untuk memenuhi janji yang mereka buat atas diri mereka sendiri, dan melarang mereka untuk melanggar janji setelah menegaskannya atas diri mereka sendiri untuk orang lain dengan perjanjian yang ada di antara mereka dengan hak yang tidak dibenci oleh Allah."

 

Sementara itu, di sisi lain, berdasarkan keputusan Bahtsul Masail Kubro Lembaga Bahtsul Masail Provinsi Jawa Barat, 19 Oktober 2023, menyatakan bahwa hukum mengingkari janji-janji manis oleh para calon pemimpin baik di tingkat eksekutif, yudikatif, dan legislatif adalah haram, jika janji-janji tersebut tidak didasari tekad yang serius untuk memenuhinya, melainkan hanya sebatas janji manis untuk meraup dukungan dan suara rakyat.

 

Abu Abbas Al-Qarafi dalam kitab Anwarul Buruq Fi Anwa'il Furuq, Jilid IV, halaman 21 mengatakan melanggar janji hukumnya haram jika dilakukan dengan niat untuk menipu atau merugikan orang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam keterangan berikut:

 

قال الله عز وجل { يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون } والوعد إذا أخلف قول لم يفعل فيلزم أن يكون كذبا محرما ، وأن يحرم إخلاف الوعد مطلقا . وقال عليه السلام من { علامة المنافق ثلاث إذا اؤتمن خان وإذا حدث كذب وإذا وعد أخلف } فذكره في سياق الذم دليل على التحريم ، ويروى عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ، وعد المؤمن واجب أي وعده واجب الوفاء به.

 

Artinya: "[Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan] [As-Saff ayat 2-3]."

 

"Jika janji dilanggar, maka itu berarti perkataan yang tidak dilakukan. Oleh karena itu, janji yang dilanggar adalah suatu kebohongan yang dilarang. Dengan demikian, melanggar janji secara mutlak juga dilarang. Rasulullah SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika dipercaya berkhianat, jika berbicara bohong, dan jika berjanji mengingkari." (HR. Bukhari dan Muslim)."

 

"Disebutkannya hal ini dalam konteks celaan menunjukkan bahwa melanggar janji itu dilarang. Dikisahkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, "Janji seorang mukmin itu wajib." (HR. Bukhari dan Muslim), yaitu janjinya wajib ditepati."

 

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka hukum bagi pemimpin pemerintahan yang mengingkari janjinya, karena ada niat tidak ingin menepatinya adalah haram. Hal ini karena janji adalah salah satu bentuk amanah yang harus ditunaikan. Oleh karena itu, para calon pemimpin harus berhati-hati dalam menyampaikan janji-janjinya kepada rakyat. Janji-janji tersebut harus didasari dengan tekad yang kuat untuk memenuhinya, bukan hanya sebatas janji pemanis untuk kepentingan politik.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Penggiat Kajian Islam, Tinggal di Tangerang Selatan