Syariah

Time Value of Money dan Pengaruhnya terhadap Pembayaran Utang

Sel, 7 Mei 2024 | 17:30 WIB

Time Value of Money dan Pengaruhnya terhadap Pembayaran Utang

Time Value of Money dan Pengaruhnya terhadap Pembayaran Utang (freepik).

Time Value of Money (TVM) adalah konsep yang secara sederhana dapat dipahami bahwa uang satu rupiah yang kita terima atau kita miliki saat ini lebih bernilai dibanding satu rupiah yang akan diterima pada waktu yang akan datang. 
 

Dalam Islam berutang bukanlah perilaku yang dilarang selama orang yang berutang dapat melunasi hutangnya di waktu yang telah ditentukan. Secara sekilas hal ini akan sangat berkaitan erat dengan konsep Time Value of Money, dimana nilai uang harus dipertimbangkan di saat melakukan pelunasan. 
 

Al-Mughawiri dalam kitab Al-Qadhayal Fiqhiyyah Al-Mu'ashirah, memberikan gambaran hubungan antara Time Value of Money dan pembayaran utang, dengan redaksi sebagai berikut:
 

إذا أقرض شخص آخر مبلغا من هذه النقود ثم عند الوفاء بالقرض كانت القوة الشرائية للنقود قد انخفضت بحسب مستوى الأسعار، فساعتئذ هل يدفع المقترض قيمة ذلك المبلغ يوم أن اقترضه أم يدفع المثل الذي تقاضاه يوم التعاقد ؟ إن قلنا بالأول وقعنا في دائرة الربا، وإن قلنا بالثاني ظلمنا المقرض ظلما بينا
 

Artinya, "Jika seseorang meminjamkan uang kepada orang lain, dan ketika hutang tersebut dibayar kembali, daya beli uang tersebut telah turun sesuai dengan tingkatan harga, apakah peminjam harus membayar jumlah uang yang dipinjam pada hari peminjaman, ataukah harus membayar nilai yang sama dengan hari penyerahan hutang? Jika kita memilih yang pertama, kita akan jatuh dalam praktik riba, dan jika kita memilih yang kedua, kita akan menzalimi pemberi pinjaman." (Muhammad Abdurrahman Al-Mughawiri, Al-Qadhayal Fiqhiyyah Al-Mu'ashirah, (Kairo, Universitas Al-Azhar: 2019 M), halaman 102).
 

Sebagai Ilustrasi, pada tahun 2000 Zaid meminjam uang kepada Ahmad Rp 50.000,- untuk membeli satu karung beras. Pada tahun 2024 Zaid berniat ingin membayar utangnya.
 

Dalam konsep Time Value of Money, uang Rp 50.000,- pada tahun 2000 dapat digunakan untuk membeli satu karung beras. Namun pada tahun 2024, uang Rp 50.000,- tidak akan cukup untuk membeli sekarung beras yang sama seperti yang dibeli Zaid pada tahun 2000. 
 

Sebagaimana gambaran yang diberikan Dr Al-Mughawiri di atas, lantas Bagaimana Si Zaid harus membayar utangnya? 

  1.  Jika Si Zaid memilih yang pertama, yaitu dia harus melunasi utang sesuai nilai uang pada tahun 2024, artinya Zaid adalah orang yang telah melakukan praktik riba, karena dia telah memberikan penambahan nominal uang dari jumlah utang yang harus dibayarnya.
     
  2. Jika Si Zaid membayar sejumlah nilai uang di tahun 2000 yaitu Rp 50.000,- saja, secara tidak langsung Zaid telah melakukan kezaliman terhadap Si Ahmad, karena nilai uang Rp 50.000,- di tahun 2000 tidak sesuai dengan nilai Rp 50.000,- tahun 2024.


Dalam menyelesaikan masalah ini maka Al-Mughawiri menyebutkan beberapa pendapat ulama:

Pendapat pertama mengatakan bahwa muqtaridh (orang yang utang) wajib membayar dengan nominal uang yang sama pada waktu peminjaman. Pendapat ini juga dipakai oleh Abu Hanifah, Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi'iyah. (Khalid Muhammad Abdullah, Atsar Rukhasil 'Umlah wa Ghalaiha 'ala ada-id Duyun wal Qurud, (Malaysia: Jurnal of Fatwa Management and Research: 2014), volume 4, nomor 1, halaman 232).
 

Pendapat kedua, muqtaridh wajib membayar dengan nominal uang yang setara pada waktu pembayaran. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syekh Nashr Farid Washil dan Abu Yusuf yang merupakan murid Imam Abu Hanifah. 
 

Pendapat ketiga, membedakan cara pembayaran sesuai kondisi:

  1.  Ketika perubahan nilai mata uang terjadi sebelum jatuh tempo pembayaran, maka muqtaridh wajib membayar dengan nominal yang sama pada waktu peminjaman. 
  2. Ketika perubahan nilai mata uang terjadi setelah jatuh tempo, maka ditafshil (diperinci) kembali. Yaitu (a) ketika terjadi keterlambatan membayar karena tidak mampu, maka saat sudah mampu muqtaridh wajib membayar dengan nominal yang sama pada waktu peminjaman; dan (b) ketika keterlambatan terjadi karena menunda-nunda dan sebenarnya mampu untuk membayar, maka muqtaridh wajib membayar dengan nominal uang yang setara pada waktu pembayaran.  
 

Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syekh Yusuf Qasim dan Syekh Mahmud as-Sya'ir.

Pendapat keempat membedakan cara pembayaran dengan melihat parah atau tidaknya perubahan nilai mata uang: 

  1. Ketika perubahan nilai mata uang dianggap parah, maka muqtaridh wajib membayar dengan nominal uang yang setara pada waktu pembayaran. 
  2. Ketika perubahan nilai mata uang tersebut tidak dianggap parah, maka muqtaridh wajib membayar dengan nominal yang sama pada waktu peminjaman. 
 

Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan dan ukuran dianggap parahnya perubahan nilai mata uang. Sebagian ulama berpendapat ketika mencapai sepertiga dari nominalnya, sebagian lagi berpendapat ketika lebih dari setengahnya, dan sebagian lagi menyerahkan hal itu kepada ahlinya. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Naji bin Muhammad Syafiq dan Ajil Jasim An-Nasymi
 

Pendapat kelima menyatakan bahwa pembayaran utang dilakukan dengan jalur shulh (perdamaian) dan kesepakatan untuk mencari jalan tengah. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syekh Mustafa Az-Zarqa dan Syekh Muhammad Fathi Ad-Dairani. (Shalih Ridha Hasan Abu Al-Farh, Thesis: Taghayuru Qimati Nuqud wa Atsaruhu fi Sadadid Dain fil Islam, (Nablus, An-Najah National University: 2005), halaman 94).

 

Dari lima pendapat di atas, Al-Mughawiri sendiri memilih pendapat pertama, berpijak pada hadis nabi riwayat Abu Sa'id Al-Khudri yang berbunyi:
 

كُنَّا نُرْزَقُ تَمْرَ الْجَمْعِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَبِيعُ الصَّاعَيْنِ بِالصَّاعِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَا صَاعَيْ تَمْرٍ بِصَاعٍ، وَلَا صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ، وَلَا دِرْهَمًا بِدِرْهَمَيْنِ
 

Artinya, "Dahulu kami diberikan kurma Al-Jama’, yaitu campuran dari kurma (yang baik dan yang buruk) dan kami menjual dua sha' dengan harga satu sha. Lalu peristiwa itu sampai kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda: "Tidak boleh menjual dua sha' dibayar satu sha' dan dua dirham dengan satu dirham." (Lihat: Abu Abddirrahman An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Kairo, Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra: 1348 H), volume II, halaman 272).
 

Praktik yang dilakukan Abu Sa'id Al-khudri tidak lain karena dua sha' kurma Jam'i itu setara nilainya dengan satu sha' kurma yang bagus, namun Nabi saw tetap melarang hal demikian karena takut terjerumus dalam praktik riba. Walaupun notabene penukaran ini secara kontan. Apalagi dalam bentuk utang piutang, seharusnya lebih diantipasi terjadinya praktik riba. 
 

Dari uraian di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa konsep Time Value of Money sangatlah berpengaruh terhadap praktik pembayaran utang. Hal itu terjadi karena melihat sisi sosial dan kemanusiaan. Namun dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, diharapkan bisa menambah khazanah pembaca serta mengarahkan pembaca  untuk bersikap bijak dalam memilih sikap yang lebih maslahat sesuai kondisi dan zaman. Wallahu a’lam.
 

Ustadzah Mutiara Intan Permatasari, Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Science & Mahasiswi Akuntansi UIN Jakarta