Syariah

Urgensi Bermazhab Tanpa Fanatisme

Ahad, 14 Januari 2024 | 20:00 WIB

Urgensi Bermazhab Tanpa Fanatisme

Ilustrasi: perbedaan Mazhab3 (NU Online)

Salah satu nikmat besar yang telah Allah berikan kepada umat Islam adalah kehadiran para imam mujtahid, ulama yang memiliki kredibelitas untuk mengeluarkan fatwa dalam suatu masalah. Kehadirannya mampu memberikan warna berbeda dalam menjalankan syariat Islam bagi semua kaum muslimin. Beberapa pendapat berbeda antara mereka yang sejatinya merupakan sunnatullah (ketetapan Allah) memberikan jalan yang lebih mudah dalam menjalankan agama.

 

Para imam mujtahid pada hakikatnya tidak hanya terbatas pada mazhab empat saja, sebagaimana yang masyhur di Indonesia, seperti mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Namun sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya, misal di antaranya mazhab Al-Laitsi yang dinisbatkan kepada Imam Al-Laits bin Sa’d; mazhab Al-Auza’i yang dinisbatkan kepada Imam Abu Amru al-Auza’i; mazhab Ad-Dzahiri yang dinisbatkan kepada tokohnya yaitu Imam Abu Daud Ad-Dzahiri.

 

Hanya saja dari sekian banyak mazhab itu, yang bertahan dan tersebar dalam dunia Islam hanyalah empat mazhab yang sudah sangat populer, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali. Mazhab-mazhab lainnya sebagian besar telah hilang karena tidak adanya ulama yang meneruskan dan melanjutkan pemikiran-pemikiran dan pendapat dari mazhab tersebut.

 

Kendati demikian, kita tetap saja tidak diperbolehkan untuk fanatik dalam menjalankan syariat-syariat hanya dengan berpedoman pada satu mazhab tertentu saja. Misalnya, pengikut mazhab Imam As-Syaf’i tidak boleh menyalahkan pengikut mazhab yang lain jika dalam beberapa praktik ibadahnya ada yang berbeda, begitu juga sebaliknya. Selama tidak menyangkut tentang aqidah, maka perbedaan pendapat dan praktik akan terus ada.

 

Selain itu, fanatisme mazhab bisa mengarah pada intoleransi dan ketidakmampuan untuk menerima pandangan atau interpretasi lain dari mazhab yang berbeda. Sehingga syariat akan diterapkan dengan kaku dan keras. Oleh karena itu, beberapa abad yang lalu Rasulullah sudah menegaskan kepada semua umat Islam bahwa perbedaan pendapat di antara umatnya adalah rahmat bagi mereka. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda:

 

إِخْتِلاَفُ أُمَّتِى رَحْمَةٌ

 

Artinya, “Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat.” (HR Al-Baihaqi).

 

Merujuk penjelasan Imam Al-Qurthubi, hadits ini menjadi dalil bahwa perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang-cabang ilmu syariat yang tidak ada dalil nash dari Al-Qur’an maupun hadits nabi) adalah sebuah keniscayaan. Semua itu bermula karena perbedaan pandangan seorang mujtahid dalam memahami dan mengartikan suatu dalil syariat.

 

Tidak hanya saat ini, bahkan para sahabat Rasulullah sejak zaman dahulu juga sering berbeda pendapat perihal hukum-hukum yang belum Rasulullah jelaskan saat itu, dan mereka tidak menjadikan perbedaan itu untuk saling menjelekkan dan membenci masing-masing dari yang lainnya. Semuanya tetap hidup rukun dan tetap saling tolong-menolong:

 

اَلْاِخْتِلاَفُ فِيْهَا بِسَبَبِ اسْتِخْرَاجِ الْفَرَائِضِ وَدَقَائِقِ مَعَانِي الشَّرْعِ؛ وَمَا زَالَتْ الصَّحَابَةُ يَخْتَلِفُوْنَ فِي أَحْكَامِ الْحَوَادِثِ وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ مُتَآلِّفُوْنَ

 

Artinya, “Perbedaan pendapat dalam hal itu (masalah-masalah furu’) disebabkan perumusan suatu hukum dan cara memahami rincian makna syariat. Para sahabat juga sering berbeda pendapat dalam menjawab hukum-hukum yang baru, dan mereka tetap saja rukun dalam perbedaan itu.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Darul Kutub Ilmiah: 2003], juz IV, halaman 159).

 

Sementara itu, menurut Syekh Thahir bin Shalih Al-Jazairi, perbedaan pendapat antara imam mujtahid dalam masalah-masalah furu’ disebabkan tidak adanya nash yang jelas di dalamnya, sehingga perbedaan pendapat memiliki ruang yang sangat terbuka dalam merumuskan sebuah hukum melalui dalil-dalil yang mereka jadikan pijakan.

 

Para imam mujtahid yang sudah memiliki kredibilitas untuk ijtihad akan tetap mendapatkan pahala sekalipun hukum yang mereka rumuskan kurang tepat, hal itu disebabkan karena mereka telah berusaha untuk memberikan jawaban atas problematika yang ada dengan kesungguhan dan ijtihadnya, sebagaimana dikatakan:

 

وَاِنَّمَا اخْتَلَفُوْا فِي بَعْضِ الْمَسَائِلِ الْفَرْعِيَّةِ لِعَدَمِ نَصٍّ قَطْعِيٍّ فِيْهَا، اِذِ الْجُزْئِيَّاتُ لَايَتَيَسَّرُ حَصْرُهَا وَالْاِخْتِلاَفُ فِيْهَا سَهْلٌ فَكُلٌّ مِنْهُمْ بَذَلَ وُسْعَهُ فِي اسْتِخْرَاجِ حُكْمِهَا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بِحَسَبِ مَا ظَهَرَ لَهُ، فَمَنْ أَصَابَ مِنْهُمْ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ أَخْطَأَ مِنْهُمْ فَلَهُ أَجْرٌ لِسَعْيِهِ فِي اِظْهَارِ الصَّوَابِ

 

Artinya, “Sesungguhnya perbedaan mereka hanya dalam masalah-masalah furu’ saja karena tidak adanya nash yang jelas di dalamnya, sebab sesuatu yang partikular tidak mudah untuk disederhanakan, sehingga ruang perbedaan pendapat di dalamnya sangat mudah terjadi. Dan setiap imam mujtahid telah berusaha semampunya untuk merumuskan hukum melalui Al-Qur’an dan hadits nabi sesuai dengan apa yang tampak bagi mereka. Jika hasil rumusannya benar, maka akan mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan pahala karena telah berusaha untuk menampakkan kebenaran.” (Imam Al-Jazairi, Al-Jawahirul Kalamiyah fi Idhahil Qawaid Al-Islamiyah, [Surabaya, Maktabah As-Salam], halaman 60).

 

Kendati demikian, ruang bermazhab alangkah baiknya tidak memilih di luar mazhab empat yang sudah masyhur di Indonesia, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali, karena para ulama menilai bahwa selain empat mazhab tersebut tidak kredibel dan tidak bisa dipercaya. Hal itu disebabkan tidak adanya ulama atau pengikut dari selain mazhab empat yang meneruskan pemikiran dan pemahamannya, sehingga kebenaran dan keotentikannya sangat diragukan.

 

Pendapat ini sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnus Shalah yang kemudian dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin:

 

نَقَلَ ابْنُ الصَّلاَحِ الْإجْمَاعَ عَلىَ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ غَيْرِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ، أَيْ حَتَّى الْعَمَلَ لِنَفْسِهِ فَضْلاً عَنِ الْقَضَاءِ وَالْفَتْوَى لِعَدَمِ الثِّقَّةِ بِنِسْبَتِهَا لِأَرْبَابِهَا بَأَسَانِيْدَ تَمْنَعُ التَّحْرِيْف وَالتَّبْدِيْل

 

Artinya, “Menurut kutipan Ibnus Shalah, sesuai dengan kesepakatan para ulama, setiap orang tidak boleh mengikuti selain dari empat imam mazhab sekalipun hanya untuk pribadinya sendiri, terutama untuk memutus suatu persoalan dan berfatwa. Hal itu karena kredibilitas jalur sanadnya diragukan, sehingga membuka peluang terjadinya distorsi.” (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 17).

 

Alhasil, dari beberapa uraian di atas, perbedaan pendapat antara imam mazhab memiliki ruang yang sangat terbuka dalam persoalan-persoalan cabang-cabang syariat. Oleh karenanya, keberadaan suatu mazhab tidak boleh menjadi alat pemisah antara umat Islam, namun menjadi sarana untuk memperdalam pemahaman tentang Islam untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.