Syariah

Ushul Fiqih: Mengenal Istilah Hukum, Hakim, dan Mahkum Fih

Rab, 1 Februari 2023 | 11:00 WIB

Pembaca yang budiman, kehidupan seorang muslim tidak akan bisa terlepas dari hukum Allah. Sebagaimana telah diketahui, setiap aspek kehidupan baik berupa akidah, ibadah, maupun muamalah selalu terkait dengan hukum. Dalam pemaparan kali ini, akan dibahas seputar istilah hukum, hakim dan mahkum fih, sebagai bahan menuju pemahaman kita tentang hukum Islam yang kita terapkan dalam keseharian.
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushulul Fiqh menyebutkan definisi hukum sebagai berikut:
 

الحكم هو خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير او الوضع
 

Artinya: “Hukum ialah khithab Allah yang berkaitan dengan pekerjaan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pembebasan, atau wadha’”. (Wahbah Az-Zuhaili, Ushulul Fiqh Al-Islami, [Damaskus: Darul Fikr: 2005], juz I, halaman 46).
 

Secara sederhana hukum berarti komunikasi yang dilakukan oleh Allah kepada makhluk, khususnya manusia, yang berkaitan dengan pekerjaan orang-orang mukallaf. Terkadang hal tersebut berupa tuntutan, pembebasan, ataupun wadha’. Pengertian semacam ini sekaligus menunjukkan kategorisasi hukum yang terbagi menjadi dua yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i.
 

Istilah “mukallaf” sendiri berarti orang-orang yang tertaklif, dimana Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitab Syarh Jam’ul Jawami’ memaknainya sebagai: 
 

إلْزَامُ مَا فِيهِ كُلْفَة 
 

Artinya: “Menetapkan sesuatu yang di dalamnya terdapat pembebanan.” (Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawami’, [Surabaya, Al-Hidayah: 2000], juz I, halaman 67).
 

Ketika seseorang telah mencapai kategori sebagai mukallaf, berarti orang tersebut telah ditetapkan oleh Allah untuk diberi beban, baik beban melaksanakan kewajiban ataupun beban meninggalkan keharaman.
 

Karena hukum merupakan khithab Allah, maka berarti “Hakim”, atau Sang Pembuat Hukum secara hakikat pada dasarnya ialah Allah. Hal ini bisa dimaklumi karena hukum syariat bersumber pada Al-Qur'an yang merupakan representasi dari sifat kalam Allah. Beberapa hal yang perlu diperjelas kemudian dijelaskan oleh Rasulullah saw saat beliau hidup, baik penjelasan tersebut berupa ucapan, perbuatan, maupun taqrir. Ketiganya kita sebut sebagai hadits.
 

Di saat Rasulullah saw wafat, jika terdapat sebuah persoalan baru, maka para sahabat berkumpul, melakukan ijma’. Bermusyawarah untuk menentukan jawaban persoalan tersebut yang berdasarkan atas memori pemahaman mereka tentang Al-Qur'an dan hadits. Pada generasi-generasi selanjutnya pun demikian, jika terdapat lagi sebuah persoalan baru, maka para ulama di suatu zaman melakukan penganalogian atau qiyas persoalan baru tersebut barangkali memiliki titik temu dengan persoalan yang sudah disinggung di dalam Al-Qur'an, hadits, atau ijma’. Jika ternyata tidak memiliki padanan, maka ulama melakukan proses ijtihad yang lagi-lagi dengan menjadikan Al-Qur'an dan hadits sebagai referensi utama mereka.
 

Dengan demikian, secara hakikat yang menentukan hukum syariat ialah Allah itu sendiri, sedangkan manusia, mulai dari Rasulullah saw sampai kepada ulama zaman now, hanyalah berupaya menginterpretasikan kalam Allah ke dalam realitas yang terjadi di hadapan mereka.
 

Terakhir, mahkum fih atau hal yang dihukumi, dalam hal ini adalah pekerjaan orang mukallaf, dimana kategori pekerjaan ini meliputi pekerjaan hati yang berupa keyakinan, pekerjaan lisan yang berupa ucapan, dan pekerjaan yang dilakukan oleh anggota lahiriah yang dinamakan perbuatan. Apa yang diyakini oleh seseorang, apa yang diucapkannya, dan apa yang diperbuatnya, itulah yang menjadi obyek hukum.
 

Hukum tidak berkait dengan dzat atau kebendaan, namun terkait dengan pekerjaan. Sebagai contoh, kita tidak mempersoalkan “apa hukum babi?”, karena babi adalah dzat, benda, yang tidak bisa dihukumi. Persoalan yang bisa kita bahas adalah “apa hukum makan daging babi?”, “apa hukum menjual babi?”, “apa hukum memelihara babi?” dan lain sebagainya yang berupa pekerjaan.
 

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

 


Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji