Tafsir

Konsep Hibah dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an

Ahad, 9 Maret 2025 | 14:00 WIB

Konsep Hibah dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an

Ilustrasi hibah. (Foto: NU Online)

Ibu Shofi adalah penjual makanan ringan manis di pinggiran jalan kota. Pada setiap momen Ramadhan, ibu Shofi biasanya menjajakan makanannya sebagai takjil setelah waktu Ashar hingga sebelum waktu maghrib tiba. Sebagaimana umumnya orang yang berjualan, dagangan terkadang habis, kadang pula tersisa barang satu atau dua buah, ibu Shofi pun demikian. Saat dagangannya masih tersisa di waktu maghrib, ibu Shofi biasanya memberikannya secara cuma-cuma kepada pejalan kaki yang lewat di sekitar tempatnya.

 

Praktik transaksi dengan memberi secara cuma-cuma, tanpa imbalan apa pun yang dilakukan oleh Ibu Shofi seperti pada ilustrasi di atas, dalam ajaran Islam disebut dengan hibah. Mari simak penjelasan Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazi berikut:

 

وهي في الشرع تمليكٌ منجزٌ مطلق في عينٍ حالَ الحياة بلا عوض ولو من الأعلى. فخرج بالمنجز الوصيةُ، وبالمطلق التمليكُ المؤقت، وخرج بالعين هِبَّةُ المنافع، وخرج بحال الحياة الوصيةُ

 

Artinya: “Hibah dalam terminologi syariat ialah praktik mengalihkan hak kepemilikan barang secara langsung dan mutlak, yang dilakukan pada saat masih hidup tanpa adanya imbalan, meski dilakukan dari orang yang lebih rendah derajatnya kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Dari definisi tersebut, frasa “secara langsung” mengecualikan praktik wasiat, frasa “secara mutlak” mengecualikan mengalihkan hak kepemilikan yang dibatasi waktu, frasa “benda” mengecualikan hibah kemanfaatan, dan frasa “pada saat hidup” mengecualikan wasiat." (Fathul Qarib, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah, 2014], hal 111).

 

Hibah memiliki makna memberikan secara cuma-cuma tanpa adanya imbalan. Dalam hal ini, hibah lebih umum dari sedekah dan hadiah dan mencakup keduanya. Dalam Al-Qur’an, praktik hibah masuk dalam kategori “al-birr” atau berbuat baik. Hibah diisyaratkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an. Salah satu ayat Al-Qur’an yang dijadikan dasar praktik hibah oleh ulama ialah surat Al-Baqarah ayat 177. Allah SWT berfirman:

 

لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْاۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

 

Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Qs. Al-Baqarah: 177).

 

Ayat 177 surat Al-Baqarah ini secara jelas menjelaskan hakikat melakukan kebaikan bagi umat manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan dapat diperoleh dengan diawali beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan utusan-utusan Allah. Kemudian dengan menyejahterakan lingkungan sekitar mulai dari kerabat, anak-anak yatim, orang miskin dan yang lainnya (hubungan sosial/sesama manusia) selain juga tetap menjaga hubungan spiritual dengan melaksanakan shalat.

 

Kalimat wa âtal-mâla ‘alâ ḫubbihî dzawil-qurbâ wal-yatâmâ wal-masâkîna wabnas-sabîli was-sâ'ilîna wa fir-riqâb, menjadi salah satu dalil ulama dalam praktik hibah.

 

Tafsir Marah Labid

Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan arti ayat 177 dalam surat Al-Baqarah di atas maksudnya ialah bahwa kebaikan tidaklah diperoleh dengan menghadapkan wajah ketika Shalat ke arah timur (Ka’bah) dan barat (Baitul Maqdis), melainkan dengan beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab Allah, nabi-nabi Allah.

 

Lebih lanjut, maksud dari kebaikan pada ayat ini juga dapat dilakukan dengan berbuat baik kepada sesama yaitu dengan memberikan hartanya (menyedekahkannya) kepada kerabat, anak-anak yatim yang membutuhkan, orang-orang miskin, ibnu sabil, orang yang meminta-minta karena butuh, budak-budak yang butuh dimerdekakan, mendirikan shalat yang difardhukan, menunaikan zakat, menepati janji baik dengan Allah maupun sesama manusia, dan sabar ketika mendapatkan cobaan, sakit juga kesempitan.

 

Anjuran untuk memberikan sebagian harta yang dicintainya kepada yang membutuhkan pada ayat di atas merupakan salah satu dalil bagi praktik hibah.

 

وَآتَى الْمالَ عَلى حُبِّهِ أي مع حب المال وهو أن يؤتيه وأنت صحيح شحيح تأمل العيش وتخشى الفقر ذَوِي الْقُرْبى أي القرابة وَالْيَتامى أي المحاويج منهم وَالْمَساكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ أي مار الطريق وَالسَّائِلِينَ أي الذين ألجأتهم الحاجة إلى السؤال وَفِي الرِّقابِ أي في المكاتبين. وقيل: في اشتراء الرقاب لإعتاقها

 

Artinya: “Memberikan harta yang dicintainya (dalam keadaan masih sehat, membutuhkan penghidupan dan takut terhadap kefakiran) kepada kerabat, anak-anak yatim yang membutuhkan, orang-orang miskin, orang-orang yang sedang dalam perjalanan yang membutuhkan bantuan, dan hamba sahaya”. (Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H], juz I, hal 57).

 

Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mengandung sejumlah penjelasan agung, kaidah-kaidah universal dan akidah yang lurus. Ayat ini turun sehubungan dengan resahnya sebagian hati orang-orang Islam dan golongan Ahli Kitab setelah Allah swt memindahkan kiblat yang mulanya menghadap Baitul Maqdis menjadi menghadap Ka’bah. Allah menurunkan ayat ini untuk menjelaskan bahwa kebaikan yang diperintahkan ialah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya, dan menghadap sesuai yang diperintahkan oleh-Nya.

 

Dalam ayat ini, Allah SWT juga menjelaskan banyak sekali macam-macam kebaikan yang dapat dilakukan oleh umat manusia. Di antaranya ialah dengan memberikan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, meski dalam dirinya sendiri masih ada perasaan cinta terhadap harta.

 

وَآتَى الْمالَ عَلى حُبِّهِ أَيْ أَخْرَجَهُ وَهُوَ مُحِبٌّ لَهُ رَاغِبٌ فِيهِ، نَصَّ عَلَى ذَلِكَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَغَيْرُهُمَا مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: «أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ

 

Artinya: “Memberikan harta yang dicintainya, maksudnya ialah mengeluarkan harta meski ia mencintainya. Hal ini ditetapkan oleh Ibnu Masud, Said bin Jubair dan yang lainnya dari kalangan ulama salaf dan khalaf. Sebagaimana juga tercantum dalam hadits Bukhari dan Muslim dari riwayat Abi Hurairah “Sebaik-baiknya sedekah ialah sedekah yang dilakukan dalam keadaan sehat, mengharap kaya dan, khawatir terhadap kefakiran”. (Tafsirul Qur’anil Adzim, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1419 H], juz 1, hal 355).

 

Kesimpulannya, praktik hibah dalam Al-Qur’an termasuk dalam kategori “al-birr” atau berbuat baik yang sangat dianjurkan oleh Islam. Oleh karenanya, penting bagi umat Islam untuk mengamalkannya dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan sebagai wujud dari mengamalkan ayat Al-Qur’an.

 

Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Jakarta.