Tafsir

Membedah Tafsir Surat Muhammad Ayat 4 yang Sering Disalahpahami Kaum Ektrimis

Rab, 8 Mei 2024 | 19:00 WIB

Membedah Tafsir Surat Muhammad Ayat 4 yang Sering Disalahpahami Kaum Ektrimis

Tafsir surat Muhammad ayat 4 yang sering disalahpahami kaum ektrimis (freemalaysiatoday, FMT).

Sepanjang sejarah, agama tak jarang diselimuti kisah kelam tentang kekerasan dan radikalisme yang mengatasnamakan Tuhan. Kekuatan ide "atas nama Tuhan" ini begitu dahsyat, bahkan mampu melampaui klaim otoritas politik manapun. Ideologi agama, dengan kekuatan supranaturalnya, seringkali dijadikan landasan untuk memicu radikalisme dan sebagai justifikasi atas segala tindakan manusia.
 

Kekuatan ide "atas nama Tuhan" ini tak hanya mampu menggerakkan individu, tetapi juga massa. Sejarah mencatat banyak peristiwa kerusuhan, pemberontakan, dan bahkan perang yang dipicu oleh sentimen agama. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi agama, ketika diinterpretasikan secara keliru dan dimanipulasi oleh oknum tertentu, dapat menjadi alat yang sangat berbahaya. (Junaidi Abdillah, Radikalisme Agama: Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat “Kekerasan” Dalam Al-Qur’an , [Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 2, Desember, 2014], halaman 282).
 

Ekspresi radikalisme beragama seringkali menimbulkan ketakutan dan memiliki berbagai bentuk yang mengerikan. Para penganut radikal ini mengkafirkan pihak yang berbeda keyakinan, menyerang tempat hiburan, dan bahkan membunuh dokter dan perawat di klinik aborsi. Semua tindakan ini mereka lakukan atas nama Tuhan, meskipun tindakan tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
 

Radikalisme beragama dapat menjadi sangat berbahaya karena mereka meyakini bahwa tindakan tersebut adalah kehendak Tuhan. Hal ini membuat sulit dikompromikan dan rela melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Kekejaman yang dilakukan atas nama agama dapat menimbulkan trauma dan rasa takut yang mendalam bagi masyarakat.
 

Pada sisi lain, kekerasan atas nama agama bukan hanya merusak citra agama itu sendiri, tetapi juga membawa dampak destruktif bagi kehidupan bermasyarakat. Perpecahan, kebencian, dan rasa tidak aman menjadi konsekuensi yang harus ditanggung. Diperlukan upaya bersama untuk memerangi radikalisme dan mengembalikan agama pada fitrahnya sebagai pembawa kedamaian dan nilai-nilai kemanusiaan.
 

Ironisnya, Islam, yang sejak awal mengusung konsep "ummatan wasathan" (umat moderat) dan sarat nilai-nilai kedamaian, tak luput dari fenomena ini. Nilai-nilai ideal tersebut telah tereduksi oleh oknum yang memonopoli tafsir agama. Mereka menjadikan agama sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan dan radikalisme. Agama pun "dipenjara" dan dieksploitasi demi kepentingan ideologis mereka. Akibatnya, yang muncul ke permukaan adalah klaim kebenaran yang memicu sikap reaksioner dan destruktif terhadap perbedaan (ikhtilaf).


Tak bisa dipungkiri, kekerasan dan terorisme yang sering terjadi, baik di dunia maupun di Indonesia, kerap dikaitkan dengan fundamentalisme Islam dan al-Qur'an. Pandangan ini didasari oleh interpretasi tekstual ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap memicu dan mendukung gerakan fundamentalisme Islam, sehingga aksi kekerasan dan terorisme mereka dianggap memiliki "dasar Al-Qur'an".
 

"Dasar Qur'ani" ini diklaim bersumber dari beberapa ayat Al-Qur'an yang diinterpretasikan secara tekstual dan literal. Interpretasi ini mengabaikan konteks ayat, sejarah, dan tujuan diturunkannya al-Qur'an, sehingga memicu penafsiran yang keliru dan menyesatkan.
 

Salah satu ayat sering disalahpahami adalah surat Muhammad ayat 4:
 

فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّا ۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَاۛ ذٰلِكَۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ 
 

Artinya, "Maka, apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah batang leher mereka. Selanjutnya, apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang). Akan tetapi, Dia hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal-amalnya." (QS Muhammad: 4).
 

Memahami ayat ini secara tekstual tanpa konteks dan analisis mendalam, dapat menimbulkan pemahaman yang berbahaya. Interpretasi tekstual dangkal menuntun pada kesimpulan tunggal bahwa umat Islam diwajibkan memerangi non-Muslim dan bahkan sesama Muslim yang tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Pemahaman tekstual seperti ini keliru dan menyesatkan. 
 

Al-Qur'an sebagai kitab suci penuh dengan makna dan hikmah yang membutuhkan pemahaman komprehensif dan kontekstual. Mengabaikan konteks dan kompleksitas teks suci dapat menghasilkan interpretasi yang keliru dan berbahaya. Penting untuk diingat bahwa Al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan dan tidak boleh diinterpretasikan berdasarkan ayat-ayat tertentu secara terpisah. Memahami ayat-ayat Al-Qur'an dengan benar membutuhkan pengetahuan tentang konteks historis, tujuan diturunkannya ayat, dan interpretasi ulama yang terpercaya.
 

Tafsir Al-Misbah

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa surat Muhammad ayat 4 diturunkan dalam konteks peperangan, bukan pada masa damai. Ketika kaum Muslim berperang untuk menegakkan kebenaran dan hak, mereka diperintahkan untuk mengambil tindakan tegas terhadap musuh yang berusaha menghalangi mereka. Hal ini dimaksudkan untuk melumpuhkan musuh yang aktif memerangi kebenaran. Tindakan ini termasuk segala upaya yang diperlukan untuk menghentikan perlawanan mereka. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat, Lentera Hati: 2002], jilid XIII, halaman 122).
 

Namun, ayat ini juga menekankan bahwa tindakan keras ini hanya boleh dilakukan dalam situasi perang. Ketika musuh sudah menyerah atau pertempuran berakhir, kekerasan harus dihentikan. Dalam konteks ini, Allah memerintahkan agar tawanan diperlakukan dengan adil. Mereka dapat dibebaskan tanpa tebusan atau ditukar dengan tawanan lain, sesuai dengan prinsip kemanusiaan dalam peperangan.
 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah memiliki kekuatan penuh untuk membinasakan musuh tanpa campur tangan manusia. Namun, Dia memilih untuk menguji manusia dengan konflik dan jihad. Hal ini menunjukkan bahwa perintah untuk berperang bukan karena Allah tidak mampu mengalahkan musuh secara langsung, tetapi sebagai bagian dari ujian dan pilihan-Nya terhadap manusia. Ini menggarisbawahi bahwa dalam peperangan, tindakan yang diambil oleh manusia harus sesuai dengan ketentuan Allah untuk menguji iman dan kesabaran mereka dalam menghadapi tantangan.
 

Secara keseluruhan, ayat menekankan pentingnya mengambil tindakan tegas melawan musuh yang menghalangi kebenaran, namun juga menyerukan perlakuan yang adil terhadap tawanan dan penghentian kekerasan ketika perang berakhir. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi kemanusiaan dalam konteks peperangan.
 

Ayat 4 surah Muhammad ini memberi pemahaman bahwa penguasa perang memiliki dua pilihan dalam memperlakukan tawanan perang, yaitu membebaskan mereka tanpa tebusan atau dengan tebusan. Ayat ini tidak membahas tentang pembunuhan tawanan perang. Para ulama sepakat bahwa membunuh tawanan perang dilarang. Pendapat ini dinilai lebih sesuai dengan ajaran Islam.
 

Namun, ada sebagian ulama yang memperbolehkan pembunuhan tawanan perang. Mereka merujuk pada tindakan Nabi Muhammad saw yang membunuh Uqbah dan An-Nadhr ibnul Harits pada perang Badar. Pendapat ini kemungkinan merujuk pada kasus khusus dan pengecualian tertentu. Tawanan yang dibunuh tersebut mungkin bukan tawanan perang biasa, melainkan pengkhianat atau mata-mata.
 

Tafsir Munir Syekh Wahbah Zuhaili

Menurut Tafsir Munir oleh Syekh Wahbah Zuhaili, surat Muhammad ayat 4 menceritakan peristiwa Perang Uhud. Saat itu, kaum Muslim yang dipimpin Rasulullah berada di Syi'b. Pasukan musuh mengalami banyak korban jiwa dan luka-luka. Situasi perang semakin menegangkan. Kaum musyrik bersorak sorai menyebut nama Hubal, berhala terbesar mereka, untuk meminta kekuatan. Sementara kaum Muslim berseru lantang takbir, "Allahu Akbar," yang artinya Allah Maha Besar dan Agung. [Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir,[Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], jilid XXVI, halaman 85].
 

Tak ingin kalah semangat, kaum musyrik menyebut nama Uzza, berhala mereka yang lain. Mereka seolah ingin membanggakan memiliki lebih dari satu pelindung. Melihat hal tersebut, Rasulullah saw menginstruksikan kaum Muslim untuk membalas dengan seruan yang lebih menguatkan. Beliau bersabda, "Katakanlah, Allah-lah Penolong kami, sementara kalian tidak memiliki penolong."
 

Perintah Rasulullah ini memiliki makna yang dalam. Para Muslim diingatkan untuk hanya bersandar kepada Allah swtsebagai satu-satunya penolong yang sejati. Berbeda dengan kaum musyrik yang menggantungkan harapan pada berhala-berhala mereka.
 

Ayat ini juga menjelaskan tentang tawanan perang. Syekh Wahbah Zuhaili mengatakan setelah berhasil mengalahkan musuh, terdapat dua pilihan yang dapat diambil: membebaskan mereka tanpa tebusan atau membebaskan mereka dengan imbalan tertentu, seperti menukar mereka dengan tawanan Muslim atau menerima tebusan. Tujuannya adalah untuk menghentikan peperangan dan pembunuhan terhadap orang-orang kafir. Hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan senjata dan mengadakan perjanjian damai.
 

Perintah untuk membebaskan tawanan ini bertujuan untuk mengakhiri pertempuran dan peperangan. Pada hakikatnya, ini merupakan dorongan untuk menciptakan perdamaian yang kokoh sehingga manusia hidup dalam keadaan damai dan sentosa. Dengan tercapainya perdamaian, akan terjalin dialog untuk pertukaran pemikiran dan dakwah Islam dapat tersebar dengan cara yang bijaksana dan penuh kerelaan, melalui argumen dan bukti yang kuat, serta nasihat yang baik.
 

Persepsi keliru yang dipegang oleh sebagian pihak musuh bahwa Islam disebarkan dengan pedang perlu diluruskan. Faktanya, Islam disebarkan dengan cara yang damai dan penuh kerelaan, tanpa paksaan atau tekanan. Penerimaan Islam harus didasari atas kesadaran dan kemauan individu secara bebas.


Penyebaran Islam dengan cara yang damai dan penuh kasih sayang ini sejalan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Dengan demikian, Islam dapat diterima dengan lapang dada oleh semua orang dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia.
 

وهذا في الحقيقة حث على السلم المستتب، ليعيش الناس في سلام وأمان، ويتم تبادل الأفكار، وتنتشر دعوة الإسلام بالحكمة والإقناع، والحجة والبرهان، والموعظة الحسنة، فليس انتشار الإسلام بالسيف كما يتصور بعض الأعداء، وإنما كان انتشاره بالقناعة الذاتية، وبالاستحسان الحر الطليق دون إجبار ولا إكراه: لا إِكْراهَ فِي الدِّينِ [البقرة ٢٥٦/ ٢]
 

Artinya, "Inilah yang sesungguhnya merupakan dorongan untuk mencapai perdamaian yang abadi, agar manusia hidup dalam ketenangan dan keamanan, terjadi pertukaran ide, dan dakwah Islam disebarkan dengan kebijaksanaan dan persuasi, argumen dan bukti, serta nasihat yang baik. Dakwah Islam tidak disebarkan dengan pedang seperti yang dibayangkan oleh beberapa musuh, melainkan dengan keyakinan diri dan persetujuan yang bebas tanpa paksaan atau tekanan: "Tidak ada paksaan dalam beragama" [Al-Baqarah 2:256]." (Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XXVI, [[Damaskus, Darul Fikr, 1418 H], halaman 85).
 

Tafsir Al-Qurthubi

Sementara itu, Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Jâmi' li Ahkâmil Qurân menjelaskan, ayat tersebut adalah ayat yang muhkamah yang menjelaskan tentang tawanan perang. Tawanan perang bagaimana pun keadaannya adalah imam tetap mempunyai hak pilih apakah akan membebaskan tawanan, membunuh, menerima tebusan. Imam memiliki hak untuk memilih tindakan yang akan diambil terhadap tawanan tersebut, seperti membebaskan mereka, membunuh mereka, menerima tebusan, atau memperbudak mereka. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh para sahabat Nabi lainnya, seperti Ibnu Umar, Al-Hasan, dan Atha'. Pendapat ini merupakan madzhab Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Al-Auza'i, Abu Ubaid, dan lainnya. 
 

Pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang paling representatif. Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad saw dan Khalifah Umar bin Khattab pernah melakukan hal serupa. Nabi saw pernah membunuh Aqabah bin Abi Mu'ait dan An-Nadhr bin Al-Harith pada perang Badar tanpa perlawanan, kemudian beliau juga menerima tebusan atas tawanan perang lainnya. Beliau juga melepaskan Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi, padahal Tsumamah adalah tawanan yang berada dalam kekuasaan beliau.
 

Selain itu, Nabi saw pernah mengambil seorang budak perempuan penipu dari Salam bin Abi Al-Akhwa', kemudian dengan budak perempuan tersebut beliau menebus sekelompok kaum muslimin yang ditawan. Sekelompok orang Yahudi juga pernah jatuh ke tangan beliau, lalu beliau menahan mereka untuk menebus harta benda. Beliau pernah melakukan hal yang sama terhadap tawanan Hawazin. Semua tindakan tersebut diriwayatkan dengan pasti dalam hadis-hadis shahih.
 

الْخَامِسِ: أَنَّ الْآيَةَ مُحْكَمَةٌ، وَالْإِمَامُ مُخَيَّرٌ فِي كُلِّ حَالٍ، رَوَاهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَقَالَهُ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ مِنْهُمُ ابْنُ عُمَرَ وَالْحَسَنُ وَعَطَاءٌ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَأَبِي عُبَيْدٍ وَغَيْرِهِمْ. وَهُوَ الِاخْتِيَارُ، لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدِينَ فَعَلُوا كُلَّ ذَلِكَ
 

Artinya, "Kelima: Bahwa ayat  tersebut(surah Muhammad ayat 4) adalah ayat muhkam (ayat yang maknanya jelas dan pasti), dan Imam memiliki pilihan dalam setiap keadaan. Diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, dan pendapat ini juga dikemukakan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Umar, Al-Hasan, dan Atha'. Ini adalah mazhab Malik, Syafi'i, Thawri, Auza'i, Abu Ubaid, dan ulama lainnya. Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, karena Nabi Muhammad SAW dan para Khalifah Rasyidin telah melakukannya". (Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jâmi' li Ahkâmil Qurân, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1964 M], jilid XVI, halaman 228).
 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam memiliki hak untuk memilih tindakan yang akan diambil terhadap tawanan perang. Pendapat ini didukung oleh para sahabat Nabi dan para Imam mazhab.  Tindakan Nabi Muhammad saw dan Khalifah Umar bin Khattab juga menjadi bukti sejarah yang mendukung pendapat ini.
 

Menurut Imam Al-Qurthubi, surat Muhammad ayat 4 yang membahas tentang kewajiban umat Islam untuk memerangi orang-orang kafir yang memerangi mereka. Menurut ahli tafsir ayat iini telah dinasakh atau hapuskan hukumnya. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama ternama seperti Qatadah dan Mujahid. 
 

Landasan utama pencabutan hukum sura Muhammad ayat 4 adalah ayat lain dalam Al-Quran, yaitu surah At-Taubah ayat 5: 
 

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 
 

Artinya, "Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu) di mana saja kamu temui! Tangkaplah dan kepunglah mereka serta awasilah di setiap tempat pengintaian! Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS At-Taubah: 5).
 

Dengan ditetapkannya surah At-Taubah ayat 5 sebagai ayat nasikh, umat Islam memiliki pedoman yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dalam menghadapi peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan bisa menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang ada.


Dengan demikian, ayat ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan kemanusiaan. Wallahu a'lam.
 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat Jakarta