Tafsir

Surat Al-Muthaffifin: Islam Melarang Segala Kecurangan

Sab, 17 Februari 2024 | 05:00 WIB

Surat Al-Muthaffifin: Islam Melarang Segala Kecurangan

Ilustrasi: quraish shihab1

Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Salah satu bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai ini adalah kecurangan, yang dalam Islam dilarang keras dalam segala bentuk. Hal ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad saw.

 

Salah satu surat dalam Al-Qur'an yang secara khusus membahas tentang kecurangan adalah surat Al-Muthaffifin. Surat ini menjelaskan tentang orang-orang yang curang dalam hal apapun, termasuk timbangan dan takaran ketika berdagang. Allah swt mengancam mereka dengan siksaan yang pedih di akhirat.

 

Simak penjelasan berikut:

 

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ

 

Wailul lil muthaffifin.


 

Artinya, "Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!"

 

Ragam Tafsir

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Tafsir Marah Labib menjelaskan terkait surat Al-Mutaffifin, ulama berbeda pendapat. Satu golongan menyatakan surat tergolong Makkiyah dan turun sebelum Nabi saw berhijrah. Kelompok kedua menyatakannya sebagai Madaniyah, yakni turun setelah beliau berhijrah. 


 

Kelompok ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat dari surat adalah Makkiyah dan sebagian lainnya Madaniyah. Ayat Makkiyahnya dari ayat 29 sampai ayat 36, sedangkan yang Madaniyah dari ayat 1 sampai 28. 



 

Surah ini terdiri dari 36 ayat, 199 kata, dan 780 huruf.
 

 

Ayat pertama surat menjelaskan siksaan pedih bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan dengan sedikit dan secara diam-diam. Dalam sebuah riwayat dikisahkan sebab turun ayat adalah ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, penduduknya adalah orang-orang yang paling buruk dalam hal takaran. Kemudian ayat ini turun, dan setelah itu mereka memperbaiki takaran mereka.
 

 

 أي شدة العذاب للناقصين في المكيال والميزان بالشيء القليل على سبيل الخفية

 

Artinya, "Sangatlah pedih siksaan bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan dengan sedikit demi sedikit secara diam-diam. (Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marah Labib, [Beirut, Dar Kutub Ilmiyah: 1417 H], jilid II, halaman 511).


 

Dengan demikian ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan siksaan yang pedih bagi orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan, meskipun hanya sedikit demi sedikit dan dilakukan secara diam-diam. Hal ini karena perbuatan tersebut termasuk dalam kategori dosa besar yang dapat merugikan orang lain.


 

Sementara itu, Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menyatakan, surat menggambarkan keadaan masyarakat Makkah dan Madinah sebelum dan saat-saat awal kehadiran Islam. Di samping itu surat juga membuktikan bahwa ajaran Islam bukan sekadar aqidah yang tertancap di dalam hati, tetapi ia juga harus membuahkan amal dalam dunia nyata. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat, Lentera Hati: 2002], jilid XV, halaman 120).



 

Ajaran Islam tidak hanya mengawang-awang di udara dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat metafisik, tetapi juga harus membumi, sehingga keadilan yang dianjurkannya terasa dalam kehidupan keseharian masyarakat. Itu sebabnya secara gamblang surat menjanjikan ancaman kecelakaan dan kebinasaan bagi mereka yang curang dalam takaran dan timbangan.


 

Masih merujuk Profesor Quraish, kecurangan dalam interaksi, baik dalam perdagangan maupun kehidupan sosial, akan membawa konsekuensi fatal bagi pelakunya. Kecelakaan, kebinasaan, dan kerugian duniawi akan menimpanya. Dalam perdagangan, pelaku curang akan kehilangan kepercayaan dan ditinggalkan oleh para relasinya. Hanya orang-orang yang berniat menipu yang mau berinteraksi dengannya, dan ini adalah awal dari kehancuran. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, halaman 122).

 

Hubungan yang langgeng dan harmonis hanya bisa terjalin dengan sopan santun, kepercayaan, dan amanah. Sifat-sifat ini lebih penting daripada kesamaan agama, suku bangsa, atau keluarga. Seseorang lebih memilih berinteraksi dengan orang yang terpercaya dan sopan, meskipun berbeda agama, suku bangsa, atau keluarga, daripada dengan orang yang memiliki hubungan darah tetapi tidak memiliki sifat-sifat tersebut.


 

Selain konsekuensi duniawi, kecurangan juga akan membawa konsekuensi di akhirat. Dosa kecurangan, terutama yang berkaitan dengan hak manusia, akan menjadi tuntutan di hari kemudian. Pahala amal kebajikan pelaku curang bisa saja dialihkan kepada korbannya sebagai ganti atas kerugian yang telah dialaminya.


 

Karena itu, seyogianya seorang muslim menghindari kecurangan dalam segala bentuk interaksi. Kejujuran, amanah, dan sopan santun adalah kunci utama untuk menjalin hubungan yang langgeng dan harmonis, baik di dunia maupun di akhirat.


Syekh Wahbah Az Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir menjelaskan, surat dinamakan "Al-Muthaffifin" karena diawali dengan firman Allah swt: "Celakalah orang-orang yang mengurangi timbangan."
 

Mereka adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, baik dengan melebihkan saat mereka menerima dari orang lain, maupun dengan mengurangi saat mereka memberikan atau menimbang atau menakar untuk orang lain.


 

Ada pun isi kandungan surat seperti halnya surat Makkiyah lainnya, membahas tentang masalah-masalah aqidah, khususnya tentang keadaan dan kengerian Hari Kiamat. Surat juga membahas masalah moral sosial, yaitu tentang kecurangan dalam timbangan dan takaran.


 

Pada bagian moral sosial, surat ini menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam bermu'amalah. Surat melarang tindakan menipu dan mengurangi timbangan atau takaran, karena hal tersebut merupakan dosa besar dan akan dibalas oleh Allah swt.


 

Surat ditutup dengan gambaran keadaan orang-orang yang berdosa di hadapan orang-orang yang beriman. Di dunia, orang-orang yang berdosa mengejek dan menertawakan orang-orang yang beriman karena keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah. Namun, keadaan ini akan berbalik di akhirat, di mana orang-orang yang beriman akan menertawakan dan mengejek orang-orang yang berdosa dan celaka.


 

Simak penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili berikut:zzz
 

 

ما اشتملت عليه السورة:عنيت هذه السورة كسائر السور المكية بأمور العقيدة، وعلى التخصيص أحوال يوم القيامة وأهوالها، وعنيت بأمور الأخلاق الاجتماعية، وهي هنا تطفيف الكيل والميزان
 

 

Artinya, "Surat ini mencakup seperti surat-surat Makkiyah lainnya dalam masalah-masalah keimanan, serta mengkhususkan kondisi dan kegentingan Hari Kiamat. Ini juga membahas masalah-masalah etika sosial, di sini menyeimbangkan timbangan dan neraca. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut, Dar Fikr: 1991 M], jilid XXX, halaman 110).

 

Dengan demikian, Islam melarang segala bentuk kecurangan dalam segala bentuk dan konteks. Kejujuran dan keadilan merupakan nilai-nilai yang sangat penting dalam Islam dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
 

 

Dengan menghindari kecurangan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman tinggal di Ciputat Jakarta