Tafsir

Tafsir Surat Al-Ma'un Ayat 1-3: Dua Sifat Mengherankan Para Pendusta

Rab, 29 November 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Ma'un Ayat 1-3: Dua Sifat Mengherankan Para Pendusta

Ilustrasi: Tanya (NU Online)

Berikut ini adalah teks, Translit, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Ma'un Ayat 1-3.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ (١) فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ (٢) وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ (٣)
 

(1) Ara'aital-lazi yukażżibu bid-din (i). (2) Fa żalikal-lazi yadu'ul-yatim(a). (3) Wa la yaḥuḍdu 'ala ta'amil-miskin(i). 

 

Artinya: "(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim (3), dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin."
 

Ragam Tafsir

Kata "Ara'aita" dalam ayat bukanlah sebuah pertanyaan semata yang membutuhkan jawaban, karena Allah Mengatahui segala hal dan tidak membutuhkan jawaban itu, tetapi bentuk ketakjuban atau mengherankannya kondisi manusia yang kebodohan dan pengingkarannya telah melampui batas. Pertanyaan ini bermaksud untuk menggugah pikiran dan hati pendengarnya untuk memperhatikan kalimat berikutnya.
 

Khithab dalam ayat ini tidak hanya untuk Rasulullah saw melainkan untuk orang-orang yang patut baginya.

Adapun maksudnya ayat pertama adalah, "Wahai Muhammad apakah engkau melihat dan mengetahui keadaan manusia yang mendustakan hari kebangkitan, hari pembalasan dan hari penghitungan amal, dan menginkari apa yang engkau bawa dari sisi Tuhanmu yang merupakan perkara hak dan petunjuk? Tidak diragukan lagi keadaan manusia yang demikian itu adalah keadaan yang paling mengherankan dan siksanya adalah seburuk-buruknya siksa." (Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsirul Wasith, [Kairo, Dar Nahdlah: 1997 M], juz XV, halaman 518).

Syekh Musthafa Al-Maraghi (wafat 1371 H) dalam tafsirnya menerangkan tentang penjelasan ayat di atas sebagai berikut:

"Apakah engkau (Muhammad) mengetahui orang itu, orang yang mendustakan perkara-perkara Ilahiyah dan urusan-urusan gaib yang akan mereka temui mendatang setelah jelas baginya  adanya dalil qath'i dan petunjuk yang terang-benderang yang menjelaskannya.

Jika engkau tidak mengetahui sosoknya maka kenali dia dengan sifat-sifatnya, yaitu: pertama, orang yang mendustakan hari kebangkitan itu adalah orang yang menghardik anak yatim dan membentak-bentaknya dengan kasar bila datang kepadanya untuk meminta kebutuhanya, merendahkan keadaannya dan menyombongkan diri kepadanya.

Kedua, ia tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan kepada orang miskin. Jika ia tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan kepada orang miskin dan tidak mengajak untuk itu maka ia sendiri lebih-lebih tidak melakukannya. (Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba'ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M], juz XXX, halaman 249).


Sayyid Thanthawi dalam Tafsirul Wasith mengatakan, tiga ayat di atas merupakan dalil yang jelas bahwa manusia yang mendustakan hari pembalasan sungguh telah melampaui batas dalam keburukan dan kejelekannya. Hal itu, karena kerasnya hati sehingga tidak berbuat lemah lembut terhadap anak yatim, melainkan merendahkan, mencegah segala kebaikan kepadanya. Karena kebusukan jiwanya, mereka enggan berbuat baik dan tidak mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan, melainkan mendorong sebaliknya, mendorong untuk berbuat buruk dan dosa. 

Tatkala sifat-sifat tercela ini tidak mendatangkan keikhlasan dan khusuk kepada Allah, melainkan sifat-sifat tercela ini mendatangkan sifat pamer dan tidak ada perhatian untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan Allah kepada mahluknya. (Thanthawi, Tafsirul Wasith, juz XV, halaman 519).

Syekh Wahbah Az-Zuhili dalam tafsirnya mengatakan dari ayat-ayat tersebut dapat diambil hal-hal sebagai berikut:

Celaan atas orang  yang mendustakan hari pembalasan dan perhitungan amal di akhirat.

Lafal dalam ayat ini bersifat umum sehingga tidak terbatas pada orang yang menjadi objek sebab turunnya ayat. 

Di antara sifat dan keburukan orang yang mendustakan hari pembalasan di akhirat adalah menghardik, mengusir, menzalimi, serta tidak memberikan hak kepada anak yatim.

Termasuk juga, tidak melakukan kebaikan dan tidak menganjurkan atau tidak memerintahkan untuk memberi makan orang-orang fakir dan miskin karena sifat bakhil dan mendustakan hari
pembalasan.

Celaan dalam ayat ini tidak bersifat umum, sehingga tidak mencakup orang yang tidak melakukan hal itu karena tidak mampu. Akan tetapi, orang-orang munafik tersebut bakhil padahal mereka sebenarnya kaya-raya. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 424-425). Wallahu a'lam bisshawab.



Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo