Tafsir

Bantahan As-Sya'rawi terhadap Penafsiran 'Burung Ababil' Perspektif Al-Maraghi dan Muhammad Abduh

Jum, 1 Desember 2023 | 05:00 WIB

Bantahan As-Sya'rawi terhadap Penafsiran 'Burung Ababil' Perspektif Al-Maraghi dan Muhammad Abduh

Ilustrasi: kitab tafsir (via bitterwinter.org)

Syekh Mustafa Al-Maraghi (wafat 1946 M) dalam tafsirnya memberikan penjelasan yang jauh berbeda dengan mufasir-mufasir sebelumnya, utamanya saat ia menjelaskan surat Al-Fil ayat 3-4 sebagai berikut:

 

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْراً أَبابِيلَ. تَرْمِيهِمْ بِحِجارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ أي إنه تعالى أرسل عليهم فرقا من الطير تحمل حجارة يابسة سقطت على أفراد الجيش، فابتلوا بمرض الجدري أو الحصبة حتى هلكوا

 

Artinya: "Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar. Yakni, sesungguhnya Allah mengirim kepada mereka burung yang berbondong-bondong dengan membawa batu kering, kemudian dijatuhkan kepada masing-masing individu tentara gajah. Lalu mereka menderita sakit cacar atau campak sehingga mereka semua musnah." 

 

وقد يكون هذا الطير من جنس البعوض أو الذباب الذي يحمل جراثيم بعض الأمراض، أو تكون هذه الحجارة من الطين اليابس المسموم الذي تحمله الرياح، فيعلق بأرجل هذا الطير، فإذا اتصل بجسم دخل فى مسامّه، فأثار فيه قروحا تنتهى بإفساد الجسم وتساقط لحمه

 

Artinya, "Bisa jadi burung (thair) itu dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa bakteri penyakit, atau batu tersebut dari tanah kering yang mengandung racun yang dibawa oleh angin kemudian menempel pada kaki-kaki burung tersebut. Lalu bila menyentuh badan, racunnya masuk pada pori-pori kulit, lalu menyebabkan luka yang berakhir pada rusaknya jasad dan rontoknya daging." (Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba'ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M], juz XXX, halaman 243).

 

Tampaknya Al-Maraghi mencoba merasionalkan peristiwa musnahnya tentara gajah pimpinan Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah. Jika kita cermati lebih jauh penjelasan Al-Maraghi berkaitan dengan 'thair' bermakna nyamuk atau lalat yang membawa bakteri penyakit dan kemudian menjadi penyebab musnahnya tentara bergajah, bukanlah penafsiran yang pertama. Jauh sebelumnya seorang penggagas gerakan modernisme Islamdan pemikir muslim berkebangsaan Mesir Syekh Muhammad Abduh (wafat 1905 M) mengemukakan, peristiwa yang dialami oleh tentara bergajah adalah wabah penyakit campak atau cacar yang tersebar di lokasi tentara bergajah. 

 

Dasar pendapat Abduh ini, adalah riwayat yang diperselisihkan keshahihannya yang menyatakan bahwa pada tahun kehadiran tentara bergajah itu telah terjadi wabah campak. 

 

Abduh merasionalkan keterangan ayat di atas dengan menyatakan, wabah tersebut adalah akibat batu-batu kering yang berjatuhan di atas lokasi tempat tentara bergajah yang dibawa oleh burung-burung yang dikirim oleh Allah swt. 

 

Karena itu, tuturnya lebih jauh: "Kita bisa berpendapat bahwa thair adalah jenis nyamuk atau lalat yang membawa kuman-kuman penyakit, dan bahwa batu itu dari tanah kering yang beracun, yang dibawa oleh angin sehingga bergantungan di kaki binatang-binatang (yang terbang) itu, yang apabila menyentuh manusia akan mengakibatkan luka dan akhirnya memusnahkan tubuh dan menjatuhkan daging yang melekat di tubuh itu.

 

Sedemikian hebat wabah penyakit itu sehingga daging-daging tubuh tentara bergajah  berjatuhan, termasuk pemimpin pasukannya juga mengalami nasib serupa. Abrahah, walaupun dapat bertahan hingga tiba di kota asalnya San'a di Yaman, namun di sana ia meninggal." 

 

Pandangan Syekh Muhammad Abduh di atas terkesan lebih rasional, namun dibantah oleh Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi (wafat 1998 M). Alasan penolakannya antara lain adalah awal surat ini dimulai dengan 'alam tara kaifa fa'ala Rabbuka' (Tidakkah engkau melihat bagaimana perbuatan Tuhanmu?). 

 

Pertanyaan dalam ayat ini menurut As-Sya'rawi mengandung isyarat bahwa apa yang terjadi itu adalah perbuatan Tuhan, dan bahwa peristiwa tersebut di luar hukum sebab dan akibat yang lumrah diketahui. 

 

Peristiwa itu lanjutnya, bukan berdasarkan sebab akibat atau aksi dan reaksi, tetapi semata-mata adalah perbuatan Tuhan sendiri. Dengan demikian, hal tersebut tidak dapat diukur dengan ukuran yang berlaku dalam kebiasaan para makhluk. 

 

Memang, biasanya kita mengukur kadar dan nilai suatu perbuatan dengan melihat pelakunya, sedang dalam peristiwa itu seperti halnya ayat di atas pelakunya adalah Allah swt sendiri. 

 

Asy-Sya'rawi memperkuat pendapatnya itu dengan alasan kebahasaan, yakni pada penggunaan huruf fa' (maka) pada firman-Nya: 'fa ja'alahum ka'asfin ma'kul'. Huruf fa' menunjukkan singkatnya waktu antara peristiwa yang ditunjuk oleh kata sebelum fa' dengan peristiwa yang ditunjuk kata sesudah huruf fa', berbeda halnya jika mengunakan kata tsumma. Ini berarti kemusnahan badan mereka menjadi bagaikan daun-daun yang dimakan ulat terjadi dalam waktu yang sangat singkat setelah terjadi pelemparan batu-batu Sijil. 

 

Nah seandainya apa yang mereka derita itu adalah wabah penyakit campak atau lepra, tentu proses kehancuran tubuh memerlukan waktu yang tidak singkat, dan bila demikian, seharusnya ayat di atas tidak menggunakan huruf fa' tetapi 'tsumma'. Demikian pendapat As-Sya'rawi sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Syihab dalam Tafsir Al-Misbah. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Lentera Hati, Cilandak Timur Jakarta: 2005] Volume 15 halaman 527-528). Wallahu a'lam bisshawab.

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo