Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 230: Ketentuan Hukum Talak Ba’in Kubra
Sabtu, 16 November 2024 | 12:00 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Tuntunan dan tuntutan ayat 230 surat al-Baqarah memberi pelajaran yang sangat pahit bagi suami-istri yang bercerai untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian pertama terjadi, maka peristiwa itu kiranya menjadi pelajaran bagi keduanya untuk introspeksi dan melakukan perbaikan.
Kalaupun masih terjadi perceraian untuk kedua kalinya, maka kesempatan terakhir harus dapat menjamin kelangsungan perkawinan. Sebab kalau tidak, dan perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga kalinya, maka tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, kecuali memberi kesempatan kepada istri untuk kawin dengan pria lain.
Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah, dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 230:
فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗۗ فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يَّتَرَاجَعَآ اِنْ ظَنَّآ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ ٢٣٠
Baca Juga
Mengenal Talak Bain Sugra dan Kubra
Fa in thallaqahâ fa lâ taḫillu lahû mim ba‘du ḫattâ tangkiḫa zaujan ghairah, fa in thallaqahâ fa lâ junâḫa ‘alaihimâ ay yatarâja‘â in dhannâ ay yuqîmâ ḫudûdallâh, wa tilka ḫudûdullâhi yubayyinuhâ liqaumiy ya‘lamûn
Artinya: "Jika dia menceraikannya kembali (setelah talak kedua), perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain. Jika (suami yang lain itu) sudah menceraikannya, tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya menduga akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang (mau) mengetahui."
Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 230
Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya memaparkan riwayat dari Ibnul Mundzir yang meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan berkata:
نزلت هذه الآية في عائشة بنت عبد الرحمن بن عتيك، كانت عند رفاعة بن وهب بن عتيك، وهو ابن عمها، فطلقها طلاقا بائنا، فتزوجت بعده عبد الرحمن بن الزبير القرظي، فطلقها، فأتت النّبي ﷺ، فقالت: إنه طلقني قبل أن يسمني، أفأرجع إلى الأول؟ قال: لا حتى يمس، ونزل فيها: ﴿فَإِنْ طَلَّقَها فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ﴾ فيجامعها ﴿فَإِنْ طَلَّقَها﴾ بعد ما جامعها ﴿فَلا جُناحَ عَلَيْهِما أَنْ يَتَراجَعا
Artinya: “Ayat ini turun turun berkaitan dengan Aisyah binti Abdurrahman bin ‘Atik yang menjadi istri dari putra pamannya sendiri, yakni Rifa'ah bin Wahb bin ‘Atik. Ia diceraikan dengan talak ba'in oleh suaminya, kemudian ia menikah dengan Abdurrahman bin Zubair al-Quradziy. Setelah diceraikan oleh Abdurrahman, ia menghadap Nabi saw dan berkata, “Ia menceraikan saya sebelum menyentuh saya, Bolehkah saya nanti rujuk kepada suami pertama saya?” Beliau saw bersabda, “Tidak boleh sebelum ia menggaulimu.” Sehubungan dengan ini, turunlah firman-Nya, فَإِنْ طَلَّقَها فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain (dan suami kedua ini menyetubuhinya). Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya (setelah menyetubuhinya), maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin Kembali.” (At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1991], jilid II, halaman 333).
Tafsir Al-Qurthubi
Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dari frasa, فَإِنْ طَلَّقَها (kemudian jika si suami menalaknya, sesudah talak yang kedua), maksudnya adalah suami yang kedua. Sedangkan yang dimaksud dari frasa, فَلا جُناحَ عَلَيْهِما (maka tidak ada dosa bagi keduanya) adalah istri dan suami pertama. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, tanpa ada perbedaan pendapat.
Baca Juga
Sahkah Talak dalam Kondisi Sangat Marah?
Kemudian menurut beliau, frasa, إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيما حُدُودَ اللَّهِ (jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah) adalah syarat. Thawus berpendapat, bahwa maksudnya adalah jika masing-masing dari keduanya menyangka dapat berlaku baik pada pasangannya.
Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘hukum-hukum Allah’ dalam ayat adalah melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Maksudnya, jika suami istri mengetahui bahwa antar mereka terdapat ishlah/kebaikan dengan pernikahan yang kedua, dan kapan saja suami mengetahui dan menyadari bahwa dia tidak mampu menafkahi istrinya atau memberikan maharnya atau sesuatu dari hak-hak istri yang wajib diberikannya, maka suami tersebut tidak boleh menikahinya, sampai dia menjelaskan kepada istrinya, ataupun menyadari akan kemampuan dirinya untuk menunaikan hak-hak istrinya.
Demikian pula apabila terdapat satu sebab pada dirinya yang menghalanginya untuk bersenang-senang/hubungan intim, maka dia harus menjelaskannya, agar istri tidak kecewa kepada dirinya. Demikian juga tidak boleh mengecewakan istrinya dengan menyebut-nyebut nasab, harta, dan usaha yang sebenarnya dia berdusta.
Demikian halnya bagi seorang istri apabila dia mengetahui dan menyadari kelemahan pada dirinya dalam menunaikan hak-hak suaminya, atau pun memiliki suatu sebab yang dapat menghalanginya bersenang-senang (istimta'), seperti gila, penyakit kusta (lepra), ataupun penyakit di kemaluannya, maka ia tidak boleh mengecewakan suaminya, dan harus menjelaskan kepada suaminya apa pun yang terjadi pada dirinya. Sebagaimana layaknya seorang penjual barang yang harus menjelaskan cacat-cacat yang terdapat pada barang dagangannya.
Jika salah satu dari kedua suami istri ini menemukan cacat pada pasangannya, maka dia berhak menolaknya. Jika cacat ini ada pada pihak suami, maka istri berhak mendapatkan mahar atau nafkah, jika suami pernah mencampurinya. Sedangkan apabila belum mencampurinya, maka istri mendapatkan setengah dari mahar tersebut.
Adapun jika cacat itu terdapat pada pihak istri, maka suami boleh menolak pernikahan ini dan mengambil apa yang telah diberikan kepada isti dari maharnya. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964], jilid. III, hal. 152-153)
At-Tafsirul Munir
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir-nya mengatakan, ayat ini berbicara tentang ketentuan hukum talak tiga atau yang dikenal dengan istilah talak ba’in kubra.
Mabtuutah adalah wanita yang terkena talak tiga. Ia boleh menikah dengan lelaki lain sesudah masa ‘iddah-nya dari suami pertama habis. Ia bisa menjadi halal bagi suami pertamanya jika pernikahan kedua itu terlaksana atas dasar keinginan untuk mengikat hubungan seumur hidup, kemudian terjadi talak tanpa ada konspirasi, dan ‘iddah talak ini sudah habis.
Lalu, pernikahan bagaimanakah yang menjadikan wanita yang sudah ditalak tiga halal bagi mantan suaminya? Merujuk Syekh Wahbah, para ulama berbeda pendapat tentang ‘pernikahan’ yang menjadi syarat halalnya wanita yang sudah ditalak tiga bagi mantan suaminya.
Menurut Sa'id bin Musayyib, yang dimaksud dengan ‘pernikahan’ itu adalah ‘akad’. Jadi, wanita yang sudah ditalak tiga menjadi halal bagi suami pertamanya begitu akad nikah dengan suami kedua berlangsung. Ini adalah salah satu pendapatnya yang menyimpang dari pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan seluruh ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah persetubuhan, yaitu bertemunya alat kelamin pria dan wanita yang mengharuskan hukuman/had (bila dilakukan di luar pernikahan) dan mandi junub, membatalkan puasa dan haji, membuat suami dan istri jadi muhshan, dan mengharuskan pemberian mahar secara utuh.
Imam Malik mensyaratkan persetubuhan ini harus persetubuhan yang mubah, yaitu si istri tidak sedang puasa, ihram, atau haid, dan si suami sudah baligh. Imam Ahmad juga mensyaratkan persetubuhan ini halal dan pelakunya sudah berumur dua belas tahun.
Sedangkan Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan persetubuhan ini mubah. Jadi, boleh saja persetubuhan ini terjadi pada waktu yang tidak mubah (saat haid atau nifas). Beliau pun membolehkan pelaku persetubuhan ini orang yang baligh dan berakal, anak kecil yang masih remaja, maupun orang gila, karena persetubuhan anak kecil dan orang gila berdampak pada mahar dan pengharaman, sama dengan persetubuhan orang yang baligh dan berakal.
Para ulama empat madzhab sepakat bahwa pernikahan yang tidak sah tidak dapat menghalalkan wanita yang ditalak tiga. Jadi, pernikahan itu harus sah.
Menurut Syekh Wahbah, sebab terjadinya perbedaan pendapat antara Ibnul Musayyib dan jumhur adalah karena kata ‘nikah’ di dalam Al-Qur'an bisa dimaknai ‘akad’ dan ‘persetubuhan’, dan yang dimaksud dengan frasa, حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ akad atau persetubuhan; kemudian As-sunnah menerangkan maksud ‘nikah’ dalam ayat ini adalah ‘persetubuhan’. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 346-347)
Bagaimanakah Hukum Nikah Tahlil?
Merujuk Syekh Wahbah, nikah tahlil yang sifatnya temporer yaitu pernikahan yang dimaksudkan untuk menghalalkan wanita bagi suami pertamanya dengan syarat atau kesepakatan dalam akad atau lainnya dengan niat- adalah pernikahan yang tidak sah. Pernikahan ini tidak menjadikan wanita halal bagi suami pertama yang menalaknya dan ia juga merupakan perbuatan dosa yang dikutuk syariat baik suami yang menalak itu, baik mengetahuinya maupun tidak. Ini adalah pendapat Imam Malik, Ahmad, Tsauri, dan madzhab Zhahiri.
Sedangkan madzhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah tahlil hukumnya sah, tapi makruh, asalkan tidak disyaratkan tahlil dalam akad.
Menurut Syekh Wahbah, pendapat pertama (pendapat Imam Malik, Ahmad, Tsauri, dan madzhab Zhahiri) lebih benar dan lebih layak diikuti, karena ada riwayat yang disebutkan oleh Ahmad dan Nasa'i dari Ibnu Mas'ud, serta disebutkan oleh Ibnu Majah dari Uqbah bin Amir ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ألا أخبركم بالتيس المستعار؟ قالوا: بلى يا رسول الله، قال: هو المحلّل، لعن الله المحلّل والمحلّل له
Artinya: “Maukah kalian kuberitahu tentang pejantan pinjaman?” Para sahabat menjawab, ‘Ya’. Beliau bersabda, ‘Yaitu lelaki yang mengawini wanita untuk menghalalkannya bagi mantan suaminya. Allah melaknat lelaki seperti itu dan melaknat lelaki yang meminta lelaki lain berbuat seperti itu.’
Abu Ishaq al-Juzjani meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw pernah ditanya tentang hukum lelaki yang melakukan nikah tahlil. Beliau saw pun menjawab:
لا، إلا نكاح رغبة، لا دلسة ولا استهزاء بكتاب الله، ثم تذوق العسيلة
Artinya: “Tidak boleh, kecuali pernikahan atas dasar keinginan murni, tanpa ada penipuan maupun pelecehan terhadap Kitabullah, kemudian mereka merasakan air mani pasangannya.”
Ibnul Mundzir dan lbnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Umar ra bahwa ia berkata:
لا أوتى بمحلّل ومحلّل له إلا رجمتهما
Artinya: “Setiap muhallil dan muhallal lahu yang dihadapkan kepadaku pasti akan kurajam.”
Tatkala putranya, Ibnu Umar ditanya tentang (alasan) perkataan ayahnya, ia berkata, “Karena keduanya melakukan zina.”
Seorang lelaki juga pernah menanyai Ibnu Umar, “Apa pendapatmu tentang seorang perempuan yang saya nikahi supaya ia halal bagi suaminya, sementara suami itu tidak menyuruh saya dan tidak mengetahui maksud saya?”
Ibnu Umar ra pun menjawab, “Tidak boleh, kecuali pernikahan yang dilandasi keinginan murni (untuk menjalin ikatan seumur hidup). Jika kau menyukai istrimu itu, kau akan terus menahannya menjadi istrimu; tapi kalau kau membencinya, kau boleh menceraikannya, meskipun pada zaman Rasulullah saw. dulu kami menganggap hal seperti ini perbuatan zina!”
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga kemudian ia menyesal. Ibnu Abbas menjawab: “Orang itu berbuat dosa kepada Allah sehingga Dia swt membuatnya menyesal; dan ia menaati setan sehingga Allah tidak memberinya jalan keluar.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa pendapatmu tentang orang yang menghalalkan istri tersebut baginya?” Beliau pun menjawab, "Barangsiapa memperdaya Allah, niscaya Dia akan menipunya.”
Dengan demikian, lanjut Syekh Wahbah, telah jelas bahwa nikah tahlil yang bersifat temporer bukan ajaran Islam, ia mengandung banyak dampak negatif dan perbuatan itu tergolong zina meskipun lahiriahnya terlaksana dengan akad nikah. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 337-338)
Apakah lstri Harus Memberikan Pelayanan pada Suami?
Madzhab Maliki berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa istri tidak harus memberi pelayanan, karena akad nikah hanya mencakup istimtaa' (hubungan badan), bukan pelayanan.
Akad nikah, menurut pendapat tersebut, bukanlah akad persewaan, bukan pula perbudakan, melainkan akad untuk melakukan hubungan badan, dan yang didapatkan melalui akad adalah hubungan badan itu, bukan yang lainnya. Karenanya, istri tidak dituntut memberi lebih dari itu, dengan dalil firman Allah swt,
فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ ٣٤
fa in atha‘nakum fa lâ tabghû ‘alaihinna sabîlâ,
Artinya: “Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa istri harus memberi pelayanan sesuai dengan kebiasaan wanita yang sepertinya. Jika ia mulia karena ayahnya seorang hartawan, maka ia harus mengatur rumah dan perintah kepada para pembantu. Jika keadaannya sedang-sedang saja, maka ia harus menggelarkan tikar dan sejenisnya. Jika statusnya di bawah itu, maka ia harus menyapu rumah, memasak dan mencuci. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ ٢٢٨
wa lahunna mitslulladzî ‘alaihinna bil-ma‘rûfi
Artinya: “Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Menurut Syekh Wahbah, pendapat ini lebih tepat, dan sesuai dengan kebiasaan umat Islam di berbagai negeri, sejak dulu hingga kini. Kita pun tahu bahwa istri-istri Nabi saw dan istri-istri para sahabatnya pun membuat adonan roti, memasak, membentangkan tikar, menyuguhkan makanan, dan sebagainya. Nabi saw juga telah membagi tugas antara Ali dan Fatimah mengenai urusan penghidupan; beliau tugaskan Fatimah mengurus rumah, dan Ali mencari rezeki di luar rumah. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], jilid II, hal. 347-348)
Dari paparan ini dapat kita mengerti, surat Al-Baqarah ayat 230 ini mengandung bahasan utama perihal beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan istri yang ditalak tiga kali atau diistilahkan dengan talak ba’in kubra. Wallahu a’lam.
M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua