Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 234: Ketentuan Hukum ‘Iddah Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

Rabu, 27 November 2024 | 07:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 234: Ketentuan Hukum ‘Iddah Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

Ilustrasi iddah. Sumber: Canva/NU Online

Dalam ayat 234 Surah Al-Baqarah ini, Allah SWT menyebutkan hukum berkabung bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, serta kewajiban menjalani masa 'iddah. Ayat ini disampaikan setelah Allah menjelaskan berbagai hukum terkait talak, rujuk, penyusuan, dan kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya.


Ayat ini menegaskan ketentuan 'iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, untuk membedakannya dari 'iddah akibat perceraian. Masa 'iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.


Berikut ini disajikan teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan beberapa tafsir ulama mengenai Surah Al-Baqarah ayat 234:


وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًاۚ فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْٓ اَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ۝٢٣٤


walladzîna yutawaffauna mingkum wa yadzarûna azwâjay yatarabbashna bi'anfusihinna arba‘ata asy-huriw wa ‘asyrâ, fa idzâ balaghna ajalahunna fa lâ junâḫa ‘alaikum fîmâ fa‘alna fî anfusihinna bil-ma‘rûf, wallâhu bimâ ta‘malûna khabîr


Artinya, “Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 234)


Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirul Munir Jilid II (Damaskus: Darul Fikr, 1991: 368), munasabah (korelasi) antara Surah Al-Baqarah ayat 234 dengan ayat-ayat sebelumnya adalah bahwa ayat ini merupakan penjelasan lanjutan mengenai berbagai macam masa 'iddah.


Sebelumnya, Allah telah menyebutkan ketentuan mengenai 'iddah talak dengan haid, sementara dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan tentang 'iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, yang berbeda dari yang pertama. 


Tafsir Al-Qurthubi

Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi Jilid III (Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964:173-187) mengatakan bahwa ayat ini berbicara mengenai ‘iddah bagi istri yang suaminya meninggal dunia. Zahir ayat ini, lanjut Imam Qurthubi, bersifat umum, namun maknanya khusus.


Lebih lanjut, Imam Qurthubi mengutip Al-Mahdawi yang meriwayatkan dari beberapa ulama bahwa ayat ini mencakup istri yang sedang hamil. Namun, hal ini kemudian dinaskh (dibatalkan) dengan firman Allah SWT:


وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ ۝٤


wa ulâtul-aḫmâli ajaluhunna ay yadla‘na ḫamlahunn, 


Artinya: “Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4)


Sementara itu, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat dalam Surah Ath-Thalaq tersebut merupakan ayat yang menasakh (membatalkan) ayat:


وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًاۖ وَّصِيَّةً لِّاَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا اِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاجٍۚ ۝٢٤٠


walladzîna yutawaffauna mingkum wa yadzarûna azwâjaw washiyyatal li'azwâjihim matâ‘an ilal-ḫauli ghaira ikhrâj, 


Artinya: “Orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah).” (QS. Al-Baqarah: 240)


Sebab, pada masa awal Islam, ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri yang sedang hamil, maka biasanya orang tersebut berwasiat agar istrinya diberi nafkah selama setahun dan tempat tinggal, selama sang istri tidak keluar dari rumah itu dan tidak menikah. Namun, hukum ini kemudian dinaskh dengan kewajiban ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari dan hak waris (hlm. 173-187).


Sekelompok ulama berpendapat bahwa tidak ada naskh dalam hal ini, melainkan hanya terjadi pengurangan durasi dari satu tahun. Pendapat ini, menurut mereka, mirip dengan kasus shalat musafir, di mana pengurangan jumlah rakaat dari empat menjadi dua tidak dianggap sebagai naskh (hlm. 173-187).


Pendapat ini, menurut Imam Qurthubi, jelas salah. Sebab, jika hukum istri yang suaminya meninggal dunia adalah ber-‘iddah selama satu tahun selama tidak keluar rumah, dan jika ia hendak keluar rumah, maka tidak boleh dicegah, kemudian hukum ini diubah dengan ketentuan bahwa ia harus ber-‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, maka ini adalah contoh dari naskh. Sedangkan, kasus pengurangan jumlah rakaat dalam shalat musafir yang mereka contohkan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal ini (hlm. 173-187).


Lebih lanjut, Imam Qurthubi juga menyatakan bahwa dalam frasa, فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْٓ أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ terdapat dalil bahwa para wali berhak melarang putrinya (yang telah ditinggal mati suaminya) dari mempertontonkan hiasan, kecantikan, dan bersolek selama masa ‘iddah.


Dalam ayat ini, lanjut Imam Qurthubi, juga terdapat bantahan atas pendapat Ishak, yang mengatakan bahwa apabila istri yang ditalak mengaku sedang dalam haid ketiga, maka status talaknya menjadi talak ba'in, dan tidak ada lagi hak suami pertama untuk kembali padanya. Namun, istri tidak halal untuk menikah hingga dia mandi (hlm. 173-187).


Lebih detail, Imam Qurthubi menjelaskan bahwa maksud dari frasa بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ dalam ayat ini adalah habisnya masa ‘iddah dengan keluarnya darah haid ketiga. Dalam hal ini, Allah tidak menyebutkan kewajiban mandi. Oleh karena itu, apabila ‘iddahnya telah habis, maka wanita tersebut sudah halal untuk dinikahi, dan tidak ada dosa atas perbuatan mereka itu (hlm. 173-187).


Tafsirul Munir

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirul Munir Jilid III (hal. 368-374) mengatakan bahwa dalam ayat ini, Allah menyebutkan hukum perkabungan atas meninggalnya suami dan kewajiban ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.

 

Hal ini disebutkan-Nya setelah menjelaskan hukum-hukum talak, rujuk, penyusuan, dan kewajiban bapak terhadap anak dan istrinya. ‘Iddah wafat ini dijelaskan untuk menghindari anggapan bahwa hukumnya sama dengan ‘iddah talak. 


Lebih jauh, Syekh Wahbah juga menjelaskan bahwa ‘iddah adalah masa bagi wanita untuk tinggal di rumah yang ia tempati bersama suami, tidak menikah lagi, dan tidak keluar rumah kecuali karena uzur syar'i, guna memastikan kekosongan rahim dari janin, atau untuk berkabung atas meninggalnya suami.

 

Ketentuan Hukum ‘Iddah Wafat

Merujuk pada penjelasan Syekh Wahbah, ‘iddah wanita yang ditalak adalah tiga quru’, sedangkan ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya (dan ia tidak hamil) adalah empat bulan sepuluh hari.

 

Adapun wanita yang hamil, ‘iddah-nya adalah sampai anaknya lahir, meskipun kelahiran tersebut terjadi sesaat setelah suaminya meninggal. Syekh Wahbah juga menambahkan bahwa wanita tidak boleh berkabung atas selain suami (misalnya atas saudara, ayah, atau kerabat lainnya) lebih dari tiga hari (hlm. 368-374).


Lebih lanjut lai, Syekh Wahbah juga menegaskan bahwa dalam ‘iddah wafat ini, tidak ada perbedaan antara wanita yang masih kecil atau yang sudah tua, maupun antara wanita yang sudah digauli suaminya dan yang belum, karena pada dasarnya ‘iddah ini untuk berkabung. Tujuan untuk mengetahui kekosongan rahim merupakan tujuan sekunder (hlm. 368-374).


Oleh karena itu, dalam masa ‘iddah wafat, wanita tidak boleh dilamar, tidak boleh menikah, dan tidak boleh keluar rumah kecuali karena uzur syar'i. Hukum ini berlaku untuk wanita yang tidak hamil.


Adapun bagi wanita yang hamil dan ditinggal mati suaminya, masa ‘iddah-nya selesai begitu ia melahirkan bayinya, meskipun kelahiran tersebut terjadi sesaat setelah suaminya meninggal.

 

Hal ini berdasarkan ayat talak yang telah disebutkan sebelumnya dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Subai’ah al-Aslamiyyah, yang menceritakan bahwa Nabi saw. pernah menjelaskan kepadanya bahwa ia sudah boleh menikah lagi setelah ia melahirkan, meskipun ia melahirkan sebulan setelah suaminya meninggal (hlm. 368-374).


Masa ‘iddah dalam talak dan wafat, menurut empat madzhab, dimulai sejak hari kematian atau talak. Syekh Wahbah menambahkan bahwa ‘iddah wafat ini bisa berlaku bagi wanita merdeka maupun budak, perempuan muda maupun tua, yang belum haid maupun yang sudah haid atau telah menopause, termasuk wanita Ahli Kitab, yang sudah digauli suaminya maupun belum, dengan ketentuan jika ia tidak hamil.

 

Jangka waktu ‘iddah ini adalah empat bulan sepuluh hari, sesuai dengan keumuman ayat, "(Hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari."

 

Mengenai ‘sepuluh hari’ dalam ayat ini, Abul ‘Aliyah pernah ditanya, "Mengapa tempo empat bulan itu ditambah sepuluh hari?" Ia menjawab, "Karena roh ditiupkan ke jasad dalam tempo itu." (hlm. 368-374)

 

Nafkah Wanita yang Sedang ‘Iddah Wafat

Merujuk pada penjelasan Syekh Wahbah, wanita yang menjalani ‘iddah wafat tidak berhak memperoleh nafkah, menurut jumhur ulama, karena ikatan pernikahan sudah berakhir dengan meninggalnya suami.


Namun, menurut madzhab Maliki, wanita yang sedang menjalani ‘iddah wafat berhak mendapatkan hak tempat tinggal selama masa ‘iddah, asalkan rumah tersebut adalah milik suami atau rumah yang disewa suami dan sudah dibayar uang sewanya sebelum suami meninggal. Jika tidak, istri tidak berhak tinggal di rumah tersebut. Dalil yang mendasari hal ini adalah sabda Rasulullah saw. kepada Furai'ah (binti Malik bin Sinan):


امكثي في بيتك حتى يبلغ الكتاب أجله


Artinya: "Tinggallah di rumahmu sampai masa ‘iddah-mu habis." (hlm. 372)


Hikmah dan Ketentuan Hukum ‘Iddah Wafat

Menurut Syekh Wahbah dalam Tafsirul Munir Jilid II (hlm. 370), hikmah dari ‘iddah wafat ini adalah untuk mengetahui apakah seorang wanita hamil dari suaminya yang telah meninggal.

 

Oleh karena itu, wanita yang menjalani ‘iddah tidak boleh menikah selama masa tersebut, guna memastikan apakah ia hamil (sehingga anaknya nanti dinasabkan kepada suami yang meninggal) atau tidak (sehingga jika ia menikah lagi dan hamil, anak tersebut akan dinasabkan kepada suami kedua).


Wanita yang menjalani ‘iddah wafat dilarang memakai wewangian dan bersolek, karena kedua hal tersebut dapat memicu ketertarikan laki-laki untuk menikahi dirinya. Wanita tersebut juga dilarang keluar dari rumah yang sebelumnya dihuni bersama suaminya, karena pembatasan gerak ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan memastikan tidak ada godaan pernikahan yang segera setelah masa ‘iddah berakhir.

 

Selama masa ‘iddah, tidak diperbolehkan melakukan akad nikah, dan tidak boleh melamarnya secara eksplisit. Namun, melamar secara implisit (misalnya dengan perantara) tetap dibolehkan.


Hal-hal yang Harus Dihindari oleh Wanita yang Sedang Ber-‘Iddah

​​​​​​​Merujuk penjelasan Syekh Wahbah, para ulama berbeda pendapat tentang apa saja yang harus dihindari selama masa ‘iddah. Beberapa ulama berpendapat bahwa wanita yang sedang menjalani ‘iddah wafat tidak boleh menikah, memakai wewangian, berdandan, dan pindah dari rumah yang ditinggalinya ketika suami masih hidup. Dalilnya adalah dari beberapa hadits yang diriwayatkan, antara lain:


Pertama, riwayat Bukhari dan Muslim dari Zainab binti Ummu Salamah, ia mengatakan, "Aku mengunjungi Ummu Habibah ketika ayahnya (Abu Sufyan) meninggal. Ia meminta diambilkan wewangian lalu mengoleskannya ke pipinya." Kemudian ia berkata, "Demi Allah, sebetulnya aku tidak butuh wewangian, hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar:"

 

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحدّ على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشرا


Artinya, "Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh berkabung atas meninggalnya seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari."


Zainab menuturkan, "Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah, bercerita bahwa seorang perempuan menghadap Rasulullah saw. dan berkata, 'Wahai Rasulullah, anak perempuan saya telah ditinggal mati suaminya, dan sekarang ia sakit mata. Bolehkah kami mencelaknya?' Rasulullah saw. menjawab, 'Tidak boleh.' Perempuan itu bertanya dua atau tiga kali, dan Rasulullah saw. selalu menjawab, 'Tidak boleh.' Kemudian beliau bersabda:"


إنما هي أربعة أشهر وعشر


Artinya: "Masa berkabung wanita hanya empat bulan sepuluh hari."


Bercelak yang dilarang Nabi saw. adalah bercelak untuk mempercantik diri, bukan bercelak untuk berobat. Hal ini didasarkan pada hadits dalam al-Muwaththa' dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:


اجعليه بالليل وامسحيه بالنهار


Artinya: "Bercelaklah pada malam hari, dan hapuslah pada siang hari."


Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya hanya melarang pernikahan saja, sementara wanita tersebut tidak dilarang memakai wewangian, bersolek, atau pindah dari rumahnya. Mereka berpendapat berdasarkan riwayat dari Asma' binti Umais, yang mengatakan, "Ketika Ja'far gugur dalam perang, Rasulullah saw. bersabda kepadaku:"


تسلّبي ثلاثا، ثم اصنعي ما شئت


Artinya: "Kenakanlah pakaian berkabung (yang berwarna hitam) selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesuka hatimu."


Pendapat ini, menurut Syekh Wahbah, dibantah dengan argumen bahwa Rasulullah saw. menyuruh Asma' mengenakan pakaian berkabung selama tiga hari, kemudian mengenakan pakaian apa pun yang diinginkannya. Pakaian yang dimaksud tentu bukan pakaian yang berfungsi untuk mempercantik diri atau memakai wewangian, melainkan pakaian yang tidak tergolong dalam kategori hiasan.


Penentuan masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, menurut Syekh Wahbah, termasuk urusan ta'abbudiy (ritual), yang tidak perlu digali hikmahnya lebih jauh, karena sudah ditetapkan seperti halnya jumlah rakaat dalam shalat dan ukuran zakat (hlm. 369-370).


Ketentuan Ihdad (Berdiam Diri dalam Masa ‘Iddah)

Merujuk pada penjelasan Syekh Wahbah, al-ihdaad artinya adalah wanita meninggalkan segala bentuk hiasan (seperti pakaian indah, wewangian, perhiasan, celak, dan cat kuku) selama masa ‘iddah, karena hiasan dapat memancing laki-laki untuk melamar dan menikahi dirinya. Larangan bersolek dan berdandan ini merupakan saddudz dzari’ah (langkah preventif) yang bertujuan untuk menjaga agar larangan Allah tidak dilanggar.

 

Lebih lanjut, Syekh Wahbah juga menjelaskan bahwa masa berkabung atas meninggalnya kerabat hanya tiga hari, sedangkan atas meninggalnya suami adalah selama empat bulan sepuluh hari. Masa berkabung ini terbatas pada tidak bersolek, tidak memakai parfum, dan tidak keluar rumah kecuali dalam kondisi darurat atau ada uzur syar’i.


Madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan wanita yang ditinggal mati suaminya untuk keluar rumah selama masa ‘iddah pada siang hari guna mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena suami yang meninggal tidak lagi memberi nafkah, dan ia perlu memenuhi kebutuhan hidupnya.

 

Namun, ia harus pulang dan bermalam di rumah tersebut. Ia tidak boleh keluar rumah pada malam hari, karena pada waktu malam tidak ada keperluan yang mendesak untuk keluar rumah. Selain itu, ia tidak boleh keluar untuk mengunjungi sanak famili, berniaga, mengucapkan selamat, atau menyampaikan bela sungkawa.


Tidak ada perbedaan pendapat bahwa cat kuku dan celak mata termasuk dalam kategori hiasan yang terlarang selama masa ‘iddah, dan pakaian yang dicelup pewarna juga tidak boleh dipakai, kecuali yang dicelup warna hitam, yang diperbolehkan menurut empat madzhab.


Semua ulama sepakat bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya wajib berkabung. Mereka pun sepakat bahwa wanita yang dikenai talak raj’i (talak yang dapat dirujuk) tidak wajib berkabung karena statusnya masih seperti istri. Oleh karena itu, ia boleh bersolek agar suami mau merujuknya.


Adapun wanita yang dikenai talak ba'in (talak yang tidak bisa dirujuk) tidak diwajibkan berkabung menurut jumhur ulama, meskipun dianjurkan, karena suami telah menyakitinya dengan talak ba'in. Ia dianjurkan untuk berkabung agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat akibat bersolek.


Madzhab Hanafi mewajibkan wanita yang ditalak tiga dan yang ditalak ba'in untuk berkabung, karena ini adalah hak syariat yang dimaksudkan untuk menampakkan rasa sesal atas hilangnya nikmat pernikahan, sama seperti wanita yang ditinggal mati suaminya (hlm. 373-374).


Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 234 membahas tentang ketentuan hukum ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suami adalah empat bulan sepuluh hari. Wallahu a’lam.

 

M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.