Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 238: Jaga Shalat, Maka Jiwa Akan Tenang

Ahad, 15 Desember 2024 | 22:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 238: Jaga Shalat, Maka Jiwa Akan Tenang

Ilustrasi orang shalat. Sumber: Canva/NU Online

Usai menjelaskan hukum keluarga dalam beberapa ayat sebelumnya, pada ayat 238 surat Al-Baqarah, Allah menjelaskan hukum asasi antara manusia dengan Allah, yakni shalat. Hal ini seakan mengingatkan agar persoalan keluarga tidak membuat manusia lupa akan kewajiban asasinya, yaitu shalat. 

 

Alasan ayat-ayat tentang perintah memelihara shalat berada di antara ayat-ayat tentang hukum-hukum keluarga, karena manusia membutuhkan suatu media praktik yang membuatnya ingat kepada Allah, agar ia terjauh dari perbuatan zalim dan lebih dekat kepada keadilan serta baik dalam memperlakukan keluarga, apalagi sesudah talak yang melahirkan kebencian, dan media pengingat tersebut adalah shalat.

 

Berikut ini disajikan teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan beberapa tafsir ulama mengenai Surat Al-Baqarah ayat 238:

 

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ ۝٢٣٨

 

ḫâfidhû ‘alash-shalawâti wash-shalâtil-wusthâ wa qûmû lillâhi qânitîn

 

Artinya: “Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)

 

Munasabah (Korelasi dengan Ayat Sebelumnya)

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsirul Munir-nya jilid II (Damaskus: Darul Fikr, 1991: 393) mengatakan bahwa pada ayat-ayat sebelumnya, yang berisi hukum-hukum ibadah, muamalah, serta perlakuan terhadap istri, ditutup dengan perintah agar kita bertakwa kepada Allah.

 

Dia swt. mengingatkan bahwa Dia mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya dan sudah menyediakan balasan atas amal yang mereka kerjakan, guna menguatkan kesadaran keagamaan di dalam jiwa, seperti kebiasaan Al-Qur'an.

 

Selanjutnya, Syekh Wahbah menjelaskan lebih dalam, bahwa hikmah ayat-ayat perintah memelihara shalat berada di antara ayat-ayat tentang hukum-hukum keluarga antara lain karena manusia membutuhkan suatu media praktik yang membuatnya ingat kepada Allah.

 

Menurut Syekh Wahbah, shalat merupakan media praktik yang mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar, mengajak kepada kebaikan dan sikap memaafkan, serta melenyapkan kegalauan hati dan melupakan beban-beban dunia. Dengan begitu, jiwa manusia akan terbina dengan perilaku yang terpuji. Penjelasan ini juga mengisyaratkan bahwa urusan rumah tangga semestinya tidak melalaikan kita dari shalat.

 

Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 238

Syekh Wahbah Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir jilid II (Damaskus: Darul Fikr, 1991: 392-393) memaparkan beberapa sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 238 ini. 

 

Beliau mengutip beberapa pendapat ulama, di antaranya keterangan dari Imam Ahmad, Imam al-Bukhari dalam Tarikh-nya, Abu Dawud, Baihaqi, dan Ibnu Jarir ath-Thabari yang meriwayatkan dari jalur Zaid bin Tsabit, bahwa Nabi saw. dulu biasa mengerjakan shalat Zhuhur pada waktu tengah hari, dan shalat ini adalah shalat yang paling berat bagi para sahabatnya, maka turunlah ayat:

 

حافِظُوا عَلَى الصَّلَواتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطى

 

Artinya: “Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. (QS. Al-Baqarah: 238)

 

Riwayat ini menurut Syekh Wahbah menunjukkan bahwa shalat wustha adalah shalat Zhuhur, dan pendapat ini dipegang sejumlah ulama.

 

Selain itu, Ahmad, Nasa'i, dan Ibnu Jarir ath-Thabari juga memaparkan versi lain mengenai sebab turunnya ayat tersebut, yang berasal dari riwayat Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. dulu biasanya mengerjakan shalat Zhuhur pada waktu tengah hari, tapi makmum yang ada biasanya hanya satu-dua shaf saja, sementara kebanyakan orang beristirahat di rumah mereka yang teduh atau sibuk dengan perniagaan, maka turunlah ayat ini.

 

Kemudian, mengenai firman-Nya, وَقُومُوا لِلّهِ قانِتِينَ enam imam hadits meriwayatkan dari Zaid bin Arqam, katanya,

 

كنا نتكلم على عهد رسول الله ﷺ في الصلاة، يكلم الرجل منا صاحبه، وهو إلى جنبه في الصلاة، حتى نزلت: ﴿وَقُومُوا لِلّهِ قانِتِينَ﴾ فأمرنا بالسكوت ونهينا عن الكلام.

 

Artinya: “Pada zaman Rasulullah saw. dulu kami berbicara dalam shalat, yakni orang yang sedang shalat di antara kami berbicara dengan orang di sebelahnya, hingga turunlah ayat, وَقُومُوا لِلّهِ قانِتِينَ (Berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyuk). Dengan ayat ini, kami diperintahkan agar diam dan tak berbicara dalam shalat.”

 

Tafsir Al-Qurthubi

Imam Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi, Jilid III (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964: 208-213) mengatakan bahwa perintah dalam frasa, حَافِظُوْا (peliharalah) pada ayat ini ditujukan kepada seluruh umat. Ayat ini, lanjut Imam Qurthubi, memerintahkan kita agar senantiasa mendirikan shalat dalam waktunya dan sesuai dengan syarat-syaratnya. Sebab, makna dari الْمُحَافَظَةُ adalah kontinyu terhadap sesuatu dan menekuninya.

 

Lebih jauh, Imam Qurthubi juga mengatakan bahwa shalat wustha disebutkan terpisah, padahal sudah termasuk dalam keumuman shalat, karena untuk menekankan kemuliaan shalat wustha tersebut. Contoh lain yang hampir sama seperti ini adalah firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 7, yang berbunyi:


وَاِذْ اَخَذْنَا مِنَ النَّبِيّٖنَ مِيْثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُّوْحٍ ۙ ۝٧

 

wa idz akhadznâ minan-nabiyyîna mîtsâqahum wa mingka wa min nûḫi

 

Artinya: “(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, darimu (Nabi Muhammad), dari Nuh...” (QS. Al-Ahzab: 7)

 

Dan firman-Nya surat ar-Rahman ayat 68 yang berbunyi:

 

فِيْهِمَا فَاكِهَةٌ وَّنَخْلٌ وَّرُمَّانٌۚ ۝٦٨

 

fîhimâ fâkihatuw wa nakhluw wa rummân

 

Artinya: “Di dalam keduanya ada buah-buahan (antara lain) kurma dan delima.” (QS. Ar-Rahman: 68)

 

Lebih detail, dalam frasa, وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى terdapat dalil bahwa shalat witir itu tidak wajib, sebab kaum Muslim telah menyepakati bahwa jumlah shalat yang diwajibkan itu kurang dari tujuh dan lebih dari tiga. 

 

Tidak ada di antara bilangan tiga dan tujuh angka ganjil kecuali lima, sedangkan angka genap tidak ada pertengahan baginya. Maka, dapat disimpulkan bahwa shalat yang diwajibkan itu adalah lima. Dalam hadits tentang isra’ disebutkan,

 

هِيَ خَمْسٌ وَهُنَّ خَمْسُونَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ

 

Artinya: “Shalat wajib itu ada lima, namun (pahalanya) sama dengan lima puluh. Keputusan-Ku tidak dapat diganti.”

 

At-Tafsirul Munir

​​​​​​​Syekh Wahbah Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir-nya Munir jilid II (Damaskus: Darul Fikr, 1991: 394), memberikan representasi ayat 238 surat al-Baqarah ini sebagai berikut:

 

داوموا على الصلوات جميعها، لما فيها من مناجاة الله ودعائه والثناء عليه، ولأنها عماد الدين، ولما لها من الأثر الفعال في تطهير النفس، إذا كانت على النحو المقرر في الحديث: "اعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه، فإنه يراك"

 

Artinya: “Kerjakanlah semua shalat dengan rutin karena shalat berisi munajat kepada Allah, doa, dan pujian kepada-Nya. Di samping itu, shalat adalah tiang agama, dan ia sangat efektif dalam menyucikan jiwa apabila dilaksanakan sesuai dengan cara yang disebutkan dalam hadits:

 

اعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه، فإنه يراك

 

Artinya, "Sembahlah Allah seolah-olah kau melihat-Nya. Meskipun kau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia melihatmu."

 

Perintah untuk Menjaga Waktu Shalat

Merujuk penjelasan Syekh Wahbah, dalam ayat 238 ini Allah mewajibkan kita untuk menjaga semua shalat pada waktunya lengkap dengan seluruh syaratnya, sebab semua shalat punya keutamaan, pun juga kita harus lebih menjaga shalat-shalat yang lebih utama daripada shalat lainnya, yang mana keutamaan ini merupakan pemuliaan terhadapnya.

 

Lebih jauh, Syekh Wahbah mengatakan bahwa menjaga shalat pada waktunya, disertai sikap khusyuk dan konsentrasi pikiran, merupakan bukti keimanan dan benarnya keislaman seseorang, mempererat persaudaraan agama, dan menjaga hak-hak. Hanya orang yang menjaga shalat yang kemungkinan besar selalu berbuat baik dan menjauhi kejahatan.

 

Mengutip Ahmad dan para penyusun kitab Sunan meriwayatkan dari hadits Buraiddah, katanya, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

 

العهد الذي بيننا وبينكم: الصلاة، فمن تركها فقد كفر

 

Artinya: “Batas yang memisahkan antara kita dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka berarti ia telah kafir.”

 

Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Amr dari Nabi saw., bahwa pada suatu hari beliau berbicara tentang shalat. Beliau bersabda,

 

من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة يوم القيامة، ومن لم يحافظ عليها، لم تكن له نورا ولا برهانا ولا نجاة، وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبيّ بن خلف

 

Artinya: “Barangsiapa menjaga shalat, niscaya ia menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan baginya pada hari Kiamat; dan barangsiapa tidak menjaganya, niscaya ia tidak akan menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan baginya pada hari Kamat, dan pada hari Kiamat ia akan berada (di neraka) bersama Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubaiy bin Khalaf.”

 

Adapun dampak dari tidak ditunaikannya shalat sesuai dengan ajaran syariat antara lain adalah perbuatan mungkar dan keji merajalela, pengkhianatan timbul, keamanan atas jiwa dan harta lenyap, penganiayaan sering terjadi, manusia enggan melakukan kebajikan, rasa kasih sayang minim, buruk sangka, dan kepercayaan di antara sesama manusia menjadi lemah (hlm. 394-396).

 

Perintah Menjaga Shalat Wustha

​​​​​​​Merujuk penjelasan Syekh Wahbah, shalat wustha sebetulnya sudah masuk dalam frasa,  الصلوات (semua shalat). Namun, secara khusus Allah menyebutkannya tidak lain untuk mengingatkan manusia akan kemuliaannya di antara shalat-shalat lain.

 

Kemuliaan tersebut, lanjut Syekh Wahbah, tak peduli apakah yang dimaksud dengan shalat wustha adalah shalat Dhuhur (lantaran udara sangat panas di daerah-daerah beriklim panas dan ia dikerjakan pada tengah hari) sebagaimana di-tarjih Imam Qurthubi, shalat Ashar (karena orang-orang biasanya berat mengerjakannya sebab mereka ingin menyelesaikan aktivitas sehari-hari), shalat Shubuh (lantaran manusia masih mengantuk dan malas mengerjakannya, dan karena ia adalah shalat yang paling berat bagi orang munafik) sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Umamah, dan Ali, maupun shalat-shalat lainnya (Maghrib, Isya, atau Jum'at).

 

Mengenai maksud shalat wustha ini, papar Syekh Wahbah lebih dalam, ada tujuh pendapat para ulama, dan Ibnul Arabi lebih memilih pendapat bahwa penentuan shalat mana yang dimaksud dengan shalat wustha tidak dapat dilakukan (hlm. 394).

 

Dari semua paparan di atas, kita dapat memahami bahwa surat Al-Baqarah ayat 238 ini mengandung bahasan utama mengenai perintah untuk menjaga shalat sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang telah diberlakukan, terlebih shalat wustha. Wallahu a'lam.      


M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.