Tafsir

Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 20: Hakikat Kehidupan Dunia bagi Orang Beriman

NU Online  ·  Selasa, 25 Juni 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 20: Hakikat Kehidupan Dunia bagi Orang Beriman

Ilustrasi kehidupan di dunia. (Foto: NU Online/Freepik)

Surat Al-Hadid ayat 20 mengandung pesan mengenai hakikat kehidupan dunia dan akhirat. Allah mengingatkan umat manusia bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau yang penuh dengan perhiasan dan kebanggaan akan harta dan keturunan. Dunia ini bersifat sementara, ibarat tanaman yang tumbuh subur setelah disirami hujan, membuat petani bahagia melihat hasil tanamannya. Namun, seiring berjalannya waktu, tanaman itu akan layu dan hancur, diterbangkan oleh angin. Begitu juga kehidupan dunia yang hanya berlangsung sesaat, penuh dengan kesenangan semu yang akhirnya akan lenyap tanpa bekas.

 

Allah kemudian menggambarkan realitas kehidupan akhirat yang akan dialami manusia. Bagi mereka yang terlalu mencintai dunia dan mengabaikan amal saleh serta terlibat dalam kemusyrikan dan penyembahan berhala, disediakan azab yang pedih dan terus-menerus. Sebaliknya, Allah menjanjikan ampunan dan keridhaan-Nya bagi mereka yang mensucikan diri dari dosa dan maksiat, yang merendahkan diri kepada Allah serta taat dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga hubungan dengan Allah SWT dan tidak terperdaya oleh gemerlap dunia yang sementara.

 

Penegasan di akhir ayat ini memberikan peringatan keras bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu. Banyak orang yang terjerat oleh pesona dunia, mengira bahwa hidup hanya ada di dunia ini tanpa memikirkan kehidupan setelahnya. Mereka tertipu oleh harta, kedudukan, dan segala macam kemewahan dunia, yang pada akhirnya hanya menyesatkan dan membawa kepada kehancuran. Oleh karena itu, ayat ini mengajak manusia untuk berpikir jernih dan memahami bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara menuju kehidupan yang sebenarnya di akhirat.

 

Ayat ini mengandung pesan moral yang kuat bagi umat manusia agar tidak terlena dengan dunia. Kehidupan di dunia harus dimanfaatkan untuk mengumpulkan bekal amal saleh, menghindari dosa dan maksiat, serta memperbanyak ibadah kepada Allah. Hanya dengan cara demikian, manusia akan meraih kebahagiaan sejati dan keselamatan di akhirat. Pesan ini relevan sepanjang masa, mengingat bahwa godaan dunia selalu ada dan manusia perlu diingatkan untuk tetap fokus pada tujuan hidup yang sebenarnya.

 

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ 

 

I‘lamû annamal-ḫayâtud-dun-yâ la‘ibuw wa lahwuw wa zînatuw wa tafâkhurum bainakum wa takâtsurun fil-amwâli wal-aulâd, kamatsali ghaitsin a‘jabal-kuffâra nabâtuhû tsumma yahîju fa tarâhu mushfarran tsumma yakûnu huthâmâ, wa fil-âkhirati ‘adzâbun syadîduw wa maghfiratum minallâhi wa ridlwân, wa mal-ḫayâtud-dun-yâ illâ matâ‘ul-ghurûr

 

Artinya: "Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya."

 

Munasabah Ayat

Syekh Wahbah Zuhaily dalam kitab Tafsir al-Munir menjelaskan, setelah menjelaskan kondisi dua golongan di akhirat, yaitu golongan orang-orang Mukmin dan golongan orang-orang kafir, Allah SWT mengiringinya dengan ayat yang menunjukkan peremehan urusan-urusan duniawi dan kesempurnaan keadaan akhirat. Dunia digambarkan sebagai tempat yang minim kemanfaatan dan cepat sirna, sementara kenikmatan akhirat sempurna lagi kekal. Tidak ada keraguan bahwa sesuatu yang lebih kekal tentu lebih unggul dan utama daripada sesuatu yang bersifat temporal dan sementara.

 

Munasabah antara surah Al-Hadid ayat 20 dengan ayat-ayat sebelumnya menekankan perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat. Allah mengajak manusia untuk merenungi betapa dunia hanya bersifat sementara dan penuh dengan tipu daya, sedangkan kehidupan akhirat penuh dengan kenikmatan yang abadi dan jauh lebih utama. Dengan demikian, Allah mengingatkan agar manusia tidak terjebak dalam kesenangan dunia yang fana, melainkan lebih fokus pada persiapan menuju akhirat yang kekal. (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Fikr Muashir, 1991] Jilid XXVII, halaman 320).

 

Selain itu, Allah memberikan dorongan dan rangsangan agar manusia lebih bersemangat melakukan perbuatan yang dapat membawa mereka kepada maghfirah (ampunan) Allah dan ridha-Nya. Ayat ini mengajak manusia untuk tidak hanya memikirkan keuntungan duniawi yang sementara, tetapi juga mengutamakan amal saleh yang bisa membawa kepada kebahagiaan abadi di akhirat. Ini adalah panggilan untuk berinvestasi dalam amal kebaikan yang memiliki nilai jangka panjang di sisi Allah SWT.

 

Akhirnya, persesuaian ayat ini dengan ayat sebelumnya menegaskan pentingnya kesadaran akan realitas kehidupan yang sebenarnya. Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan akhir yang harus dicapai. Oleh karena itu, Allah mendorong manusia untuk memanfaatkan waktu di dunia ini dengan sebaik-baiknya untuk mencari ridha dan maghfirah-Nya, serta untuk berusaha meraih keberuntungan yang abadi di akhirat.

 

Tafsir Al-Misbah

Sementara itu, dalam Tafsir Al-Misbah, Profesor Quraish Shihab menjelaskan munasabah atau hubungan antara Surah Al-Hadid ayat 20 dengan ayat-ayat sebelumnya, yang menganjurkan bersedekah dan melarang kekikiran. Kekikiran ini biasanya timbul dari keinginan untuk menikmati harta dalam kehidupan duniawi. Ayat 20 dari Surah Al-Hadid menggambarkan hakikat kehidupan dunia, khususnya bagi mereka yang hanya memandang kehidupan dari sudut pandang duniawi semata. Quraish Shihab menyebut bahwa beberapa ulama melihat hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya sebagai penjelasan tentang penyebab kekikiran, yaitu hasrat untuk kesenangan dunia.

 

Lebih lanjut, dengan mengutip Thabathaba’i, Profesor Quraish dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat-ayat sebelumnya telah menguraikan keadaan orang-orang yang termasuk dalam kelompok ash-Shiddiqin dan asy-Syuhada', yang merupakan golongan manusia terbaik dan pasti meraih keselamatan. Selain itu, ayat tersebut juga membahas tentang orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, kelompok yang dianggap paling jahat dan pasti akan binasa. Namun, masih ada satu kelompok manusia yang belum dibahas, yaitu mereka yang berada di antara kedua kelompok tersebut. Thabathaba’i menyoroti pentingnya memahami kedudukan kelompok ini dalam konteks ayat berikutnya.

 

Kelompok ketiga ini adalah orang-orang beriman yang melakukan dosa dan pelanggaran dengan berbagai tingkat kedurhakaan kepada Allah dan rasul-Nya. Untuk mereka inilah hakikat dunia diuraikan, karena mereka sangat mendambakan dunia dan enggan bersedekah. Dalam ayat ini, mereka diajak untuk segera meraih pengampunan dan surga, sambil diingatkan bahwa segala bencana yang menimpa mereka sudah tercatat dalam kitab ketetapan Allah. Oleh karena itu, mereka tidak perlu khawatir akan kemiskinan akibat infak di jalan Allah, yang sering menjadi alasan mereka untuk bersikap kikir, atau takut mati dalam berjihad membela agama Allah.

 

Lebih jauh lagi, menurut Profesor Quraish juga menekankan bahwa ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat bagi mereka yang terlalu terikat dengan dunia agar tidak menjadi kikir. Mereka diajak untuk memahami bahwa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Allah dan bahwa jihad serta pengorbanan di jalan Allah tidak akan membawa mereka kepada kemiskinan atau kematian yang sia-sia. Dengan demikian, ajakan untuk bersedekah dan berjihad dalam ayat ini menjadi lebih kuat karena dilandasi pemahaman akan hakikat dunia dan ketetapan Allah. [Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid XIV, [Ciputat: Lentera Hati, 2002] halaman 36-38]. 

 

Selanjutnya, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga memberikan panafsiran mengenai Surah Al-Hadid ayat 20. Menurutnya, ayat ini sering dipahami oleh para ulama sebagai penilaian Al-Qur'an tentang kehidupan duniawi. Namun, dalam pandangan Quraish Shihab bahwa ayat ini khusus menguraikan makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah dan lalai akan tujuan akhirat. Baginya, kehidupan dunia bagi orang yang beriman tidaklah demikian: dunia adalah tempat perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Menurut Quraish Shihab, kehidupan dunia bagi orang yang beriman adalah persiapan untuk kehidupan akhirat. Hidup di dunia ini harus diisi dengan amal kebaikan dan ibadah, karena apa yang akan diperoleh di akhirat sangat tergantung pada perbuatan kita di dunia. Oleh karena itu, kehidupan dunia memiliki nilai yang sangat penting dan berharga. Pandangan ini menekankan bahwa dunia adalah medan ujian dan persiapan untuk kehidupan yang abadi.

 

Lebih lanjut, Profesor Quraish menjelaskan bahwa dunia adalah tempat di mana perlindungan dan keselamatan masa depan hanya bisa dicapai dengan hidup sesuai dengan petunjuk Allah. Semua aktivitas duniawi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan duniawi tidak akan menjamin keselamatan di akhirat. Maka dari itu, penting untuk menjalani kehidupan dunia dengan mengingat tujuan akhirat, agar setiap perbuatan memiliki nilai yang abadi.

 

Namun demikian, ia menegaskan agar kita tidak mencerca atau mengabaikan kehidupan dunia. Dunia adalah tempat kebenaran bagi mereka yang menyadari hakikatnya. Dunia bisa menjadi sumber kebahagiaan bagi yang memahaminya dan menggunakan waktu serta kesempatan yang ada untuk mengumpulkan bekal menuju keabadian. Dunia juga penuh dengan pelajaran bagi mereka yang merenung dan memperhatikan berbagai fenomena dan peristiwa di sekitarnya.

 

Profesor Quraish Shihab juga menekankan bahwa dunia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdoa para malaikat, tempat turunnya wahyu bagi para nabi, dan tempat curahan rahmat bagi yang taat. Ini menunjukkan bahwa dunia memiliki nilai spiritual yang tinggi bagi mereka yang menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan Allah dan tujuan akhirat. Bagi orang yang terlalu mencintai dunia atau sedih karena kehilangan salah satu kenikmatannya, Quraish Shihab mengajak untuk merenungkan ayat ini dan nasihat Sayyidina Ali ra.

 

"Jangan bersedih karena kehilangan kenikmatan dunia, karena kenikmatannya hanya terdiri dari enam macam: makanan, minuman, pakaian, aroma, kendaraan, dan hubungan seks. Makanan yang terbaik adalah madu, yang merupakan ludah serangga (lebah). Minuman yang paling banyak adalah air, yang juga merupakan minuman semua binatang. Pakaian yang terbaik adalah sutra, yang merupakan hasil rajutan ulat. Aroma yang paling nyaman adalah wewangian, yang sering kali berasal dari bahan alami yang unik. Kendaraan yang terbaik adalah kuda, yang di medan pertempuran banyak pejuang terkenal gugur. Sedangkan hubungan seks hanyalah pertemuan alat kelamin di tempat yang sama."

 

Nasihat Sayyidina Ali ra., yang dikutip oleh Quraish Shihab, menyatakan bahwa kita tidak perlu bersedih karena kehilangan kenikmatan dunia, karena kenikmatannya hanya enam macam: makanan, minuman, pakaian, aroma, kendaraan, dan hubungan seks. Kenikmatan ini, meskipun tampak besar, sebenarnya bersifat sementara dan tidak sebanding dengan kenikmatan yang akan diperoleh di akhirat bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Dengan memahami ini, kita dapat menjalani kehidupan dunia dengan lebih bijak dan fokus pada tujuan akhirat.

 

Lebih jauh lagi, ayat 20 di atas menggunakan redaksi [اَنَّمَا] "annama" yang berarti "tidak lain" atau "hanya," yang menandakan adanya pembatasan. Pembatasan ini menunjukkan bahwa hal-hal yang disebut dalam ayat tersebut adalah aspek-aspek terpenting dari kehidupan dunia menurut pandangan orang-orang yang lengah, meskipun masih banyak aspek lainnya yang tidak disebutkan. Dengan menggunakan kata "innama," penekanan diberikan pada hal-hal yang dianggap paling signifikan dalam pandangan orang-orang yang terfokus pada dunia semata.

 

Lebih jauh lagi, ayat ini menyebutkan lima hal yaitu permainan, kelengahan, perhiasan, saling berbangga-bangga, dan saling berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak. Quraish Shihab menjelaskan bahwa hal-hal ini adalah representasi dari berbagai aspek kehidupan dunia yang menarik perhatian dan sering kali menjadi tujuan hidup orang-orang yang tidak menyadari hakikat sejati kehidupan. Selain lima hal ini, masih banyak aspek kehidupan dunia lainnya seperti penyakit, makan, dan minum, namun mereka tidak disebutkan dalam ayat ini karena tidak dianggap sebagai yang terpenting dalam pandangan orang-orang yang lengah.

 

Sebagai perbandingan, dalam QS. al-An‘am [6] ayat 32, yang tidak menggunakan kata "innama," hanya dua hal yang disebutkan yaitu permainan ( لَعِبٌ) "la'ib"  dan kelengahan (لَهْوٌ) "lahwu". 

 

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

 

Artinya: "Kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan, sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?"

 

Begitu pun firman Allah dalam Q.S Muhammad [47] ayat 36, menggunakan redaksi  ( لَعِبٌ) "la'ib"  dan  (لَهْوٌ) "lahwu", tetapi tidak didahului kata "innama". Allah berfirman:

 

اِنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَاِنْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا يُؤْتِكُمْ اُجُوْرَكُمْ وَلَا يَسْـَٔلْكُمْ اَمْوَالَكُمْ
 

Artinya: "Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan kelengahan. Jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu."
 

Ini menunjukkan bahwa ada berbagai cara dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan kehidupan dunia, tergantung pada konteks dan tujuan ayat tersebut. Quraish Shihab mengajak kita untuk memahami bahwa meskipun banyak aspek kehidupan dunia ini penting, kita tidak boleh terjebak dalam hal-hal yang sementara dan melupakan tujuan akhir yang lebih tinggi.

 

Tafsir Al-Munir

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini hanya merupakan permainan dan hiburan sementara yang cepat berlalu. Menurut beliau, dunia ini ibarat perhiasan yang digunakan hanya untuk sesaat dan menjadi kebanggaan di antara manusia dalam hal kekayaan dan keturunan. Allah menjelaskan dalam Surah Ali Imran ayat 14 bahwa segala kenikmatan dunia seperti perempuan, anak-anak, harta benda, dan lain-lain hanyalah kesenangan yang bersifat sementara.

 

Simak firman Allah SWT dalam surah Ali Imran [4] ayat 14,

 

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

 

Artinya: "Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.

 

Tafsir ini menggambarkan bahwa kehidupan dunia memiliki nilai yang remeh. Allah menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang cepat sirna dan hilang, mirip dengan tumbuh-tumbuhan yang diairi hujan, tumbuh besar dan kemudian layu dan mengering. Dunia ini serupa dengan tanaman yang mengagumkan para petani, tetapi pada akhirnya tanaman tersebut layu, mengering, dan hancur tertiup angin. Para petani dalam hal ini diumpamakan sebagai manusia yang menanam benih, yang nantinya akan layu dan hancur.

 

Dalam penjelasan lebih lanjut, Allah memperingatkan manusia agar tidak tertipu oleh gemerlap dunia dan mengingatkan pentingnya mempersiapkan bekal untuk akhirat. Kehidupan akhirat hanya ada dua kemungkinan: azab yang keras bagi musuh Allah atau maghfirah dan keridhaan bagi hamba yang taat. Dunia hanyalah kesenangan sementara yang menipu bagi mereka yang lalai akan akhirat dan terbuai oleh gemerlap dunia, hingga mereka yakin bahwa kehidupan dunia adalah segalanya.

 

Dalam penafsiran Sa'id bin Jubair yang dikutip oleh Syekh Zuhaili, dunia digambarkan sebagai kesenangan yang menipu ketika dunia melalaikan seseorang dari mencari akhirat. Namun, jika dunia digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridha-Nya, maka dunia menjadi sebaik-baik kesenangan dan sarana. Ini menegaskan bahwa siapa saja yang menggunakan dunia sebagai alat untuk mencapai akhirat, akan menemukan bahwa dunia berubah menjadi bekal yang mencukupi untuk mencapai kebahagiaan yang lebih besar di akhirat.

 

Pandangan ini mengajak manusia untuk tidak terpedaya oleh dunia dan mengingatkan bahwa tujuan akhir yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat. Dunia yang hanya sementara ini tidak boleh membuat manusia lalai dari tugas utama mereka, yaitu beribadah dan mencari ridha Allah SWT. Kehidupan dunia hanyalah sarana untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan yang abadi.

 

أي اعلموا أيها الناس جميعا أن الحياة الدنيا مجرد لعب لا جدّ، ولهو يتلهى به ثم يذهب، وزينة يتزيّن بها مؤقتا، ومفخرة يفتخر بها بعضكم على بعض بكثرة الأموال وعدد الأولاد.

 

Artinya: "Ketahuilah, wahai semua orang, bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan belaka, hiburan yang hanya menyibukkan sementara lalu lenyap, perhiasan yang memperindah sementara, dan kebanggaan yang kalian bangga-banggakan satu sama lain dengan banyaknya harta dan jumlah anak." (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Fikr Muashir, 1991], Jilid XXVII, halaman 320-321).

 

Syekh Wahbah Zuhaili menekankan pentingnya melihat dunia sebagai sesuatu yang sementara dan tidak terjebak dalam kenikmatan duniawi yang bisa melalaikan dari tujuan akhir yang sejati. Penafsiran ini mengajak manusia untuk fokus pada akhirat, memanfaatkan dunia sebagai sarana mencapai kebahagiaan yang hakiki di sisi Allah.

 

Dengan demikian, hakikat dunia bagi orang beriman adalah sebagai tempat persinggahan sementara untuk menuju akhirat. Orang beriman hendaknya tidak tertipu oleh kesenangan duniawi dan tidak terjerumus ke dalam materialisme. Seyogianya menjadikan dunia sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengumpulkan bekal untuk akhirat, tempat kehidupan sejati kelak.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat.