Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 2: Prinsip Tolong-Menolong dalam Kebaikan
Selasa, 25 Februari 2025 | 05:45 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Surat Al-Maidah Ayat 2 mengandung perintah penting dari Allah kepada manusia agar saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan. Ayat ini juga melarang umat Islam untuk bekerja sama dalam dosa dan permusuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, kerja sama adalah hal yang sangat penting, tetapi harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam ayat ini, Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ ٢
wa ta’âwanû ‘alal-birri wat-taqwâ wa lâ ta’âwanû ‘alal-itsmi wal-’udwâni wattaqullâh, innallâha syadîdul-’iqâb
Artinya; "Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya."
Imam Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, mengatakan “al-birr” dalam ayat ini mencakup segala perbuatan baik, entah itu yang bersifat wajib seperti shalat dan zakat, maupun yang sunnah seperti bersedekah dan membantu orang lain. Sedangkan “at-taqwa” berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, umat Islam harus saling mendorong dalam menjalankan perintah agama dan menghindari hal-hal yang dilarang.
Ibnu ‘Athiyyah, yang dikutip Imam Qurthubi, menjelaskan bahwa kerja sama dalam kebaikan mencakup semua bentuk kebaikan, baik yang diwajibkan maupun yang dianjurkan. Begitu pula, Al-Mawardi menambahkan bahwa Allah mengaitkan kerja sama ini dengan ketakwaan karena dalam ketakwaan terdapat keridhaan Allah, sedangkan dalam kebaikan terdapat keridhaan manusia. Jika seseorang berhasil menggabungkan keduanya, maka ia akan mencapai kebahagiaan dan keberkahan hidup.
Lebih lanjut, ayat ini berlaku untuk semua orang, tanpa memandang status atau kedudukannya. Semua orang dianjurkan untuk saling membantu, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Misalnya, seorang guru membantu muridnya dengan mengajarkan ilmu, seorang dokter membantu pasiennya dengan mengobati penyakitnya, dan seorang kaya membantu orang miskin dengan hartanya.
Sebaliknya, ayat ini juga melarang kerja sama dalam dosa dan permusuhan. Dosa adalah segala bentuk pelanggaran terhadap aturan Allah, sedangkan permusuhan adalah tindakan yang menimbulkan kebencian dan perpecahan di antara manusia. Misalnya, bekerja sama dalam tindakan korupsi, menyebarkan berita bohong, atau mengadu domba orang lain termasuk dalam hal yang dilarang dalam ayat ini.
Imam Qurthubi berkata;
(وَتَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى) قَالَ الْأَخْفَشُ: هُوَ مَقْطُوعٌ مِنْ أَوَّلِ الْكَلَامِ، وَهُوَ أَمْرٌ لِجَمِيعِ الْخَلْقِ بِالتَّعَاوُنِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، أَيْ لِيُعِنْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَتَحَاثُّوا عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى وَاعْمَلُوا بِهِ، وَانْتَهُوا عَمَّا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ وَامْتَنِعُوا مِنْهُ
Artinya; “Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan.” Al-Akhfasy berkata: 'Ayat ini terpisah dari awal kalam dan merupakan perintah bagi seluruh makhluk untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, yakni hendaklah sebagian dari kalian menolong sebagian yang lain, saling mendorong untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan mengamalkannya, serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dan menghindarinya'. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah, 1964 M], Jilid VI, hlm. 46).
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda bahwa orang-orang beriman itu ibarat satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka bagian lainnya akan merasakan sakitnya juga. Ini menunjukkan bahwa umat Islam harus saling membantu dalam kebaikan dan tidak membiarkan saudara seimannya dalam kesulitan.
الْمُؤْمِنُونَ تتكافؤ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ
Artinya; “Orang-orang mukmin itu darahnya setara, perlindungan mereka berlaku bagi yang terendah di antara mereka, dan mereka bersatu melawan siapa pun selain mereka.” [HR. Abu Daud dan Imam Ahmad]
Akhir dari ayat ini adalah perintah untuk bertakwa kepada Allah dan peringatan bahwa siksa-Nya sangat berat bagi orang-orang yang melanggar perintah. Artinya, setiap perbuatan yang kita lakukan akan mendapatkan balasan dari Allah, baik itu berupa pahala jika perbuatan kita baik, maupun hukuman jika kita melakukan keburukan.
Dari ayat ini, kita bisa belajar bahwa dalam kehidupan ini, kita harus selalu berusaha bekerja sama dalam hal yang baik dan menjauhi segala bentuk kezaliman. Dengan begitu, kita tidak hanya mendapat keberkahan di dunia, tetapi juga di akhirat. Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang selalu membantu dalam kebaikan dan bertakwa kepada Allah.
Sementara itu, Ibnu Asyur dalam kitab Tahrir wa Tanwir menjelaskan bahwa Surat Al-Maidah Ayat 2 merupakan perintah bagi umat Islam untuk saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Ayat ini juga melarang segala bentuk kerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Prinsip ini sangat penting dalam kehidupan sosial, karena membentuk masyarakat yang adil dan harmonis.
Menurut Ibnu Asyur, ayat ini merupakan alasan (ta’lil) dari larangan untuk berlaku tidak adil terhadap suatu kaum hanya karena kebencian. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membiarkan kebencian menghalangi mereka dari berbuat adil dan benar. Oleh sebab itu, kerja sama dalam kebaikan harus diutamakan dibandingkan mengikuti hawa nafsu dan kebencian.
Pun, dengan bekerja sama, suatu pekerjaan menjadi lebih ringan, maslahatnya lebih luas, serta memperkuat rasa persatuan di tengah masyarakat. Tolong-menolong dalam kebajikan harus menjadi karakter umat Islam, sehingga kebaikan dapat tersebar dengan lebih luas. Dalam hadis Rasulullah bersabda;
مَنْ دَعَا إِلَىٰ هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَىٰ ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Artinya; “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Imam Muslim).
Lebih jauh, jika hal tolong-menolong dianjurkan di antara sesama Muslim, maka tentu mereka juga seharusnya membantu siapa pun dalam kebaikan, termasuk non-Muslim. Sebab, perbuatan baik akan menumbuhkan rasa cinta kepada kebaikan itu sendiri dan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk membantu non-Muslim, seperti memberikan sedekah ketika mereka dalam kesulitan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan sikap kasih sayang, kebaikan, dan keadilan terhadap sesama manusia, tanpa memandang perbedaan agama.
فَصْلٌ : وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَمْتَنِعَ مِنَ الصَّدَقَةِ بِالْيَسِيرِ ، فَإِنَّ قَلِيلَ الْخَيْرِ كَثِيرٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ [ الزَّلْزَلَةِ : ] وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرْدُدْ عَنْكَ حَذْمَةَ السَّائِلِ ، وَلَوْ بِمِثْلِ رَأْسِ الطَّيْرِ مِنَ الطَّعَامِ ، وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَمْنَعْكُمْ مِنْ مَعْرُوفٍ صَغِيرَهُ وَيَخْتَارُ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَلَى ذَوِي أَرْحَامِهِ ، لِمَا ذَكَرْنَا وَعَلَى أَهْلِ الْخَيْرِ ، وَذَوِي الْفَضْلِ ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَأْكُلْ طَعَامَكُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ فَإِنْ تَصَدَّقَ عَلَى كَافِرٍ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ ، أَوْ مَجُوسِيٍّ جَازَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا [ الْإِنْسَانِ : ] وَالْأَسِيرُ لَا يَكُونُ إِلَّا كَافِرًا ، وَقَدْ مَدَحَ اللَّهُ تَعَالَى مُطْعِمَهُ فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْبَابِ الصَّدَقَةِ عَلَيْهِ ، وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أُمِّهِ أَسْمَاءَ قَالَتْ : قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي رَاغِبَةً مُشْرِكَةً فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي جَاءَتْ رَاغِبَةً مُشْرِكَةً أَفَأَصِلُهَا ؟ قَالَ : “ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ “
Artinya; Bab: Tidak sepantasnya seseorang menahan diri dari bersedekah meskipun dengan jumlah yang sedikit, karena kebaikan yang sedikit pun tetap bernilai besar. Allah Ta’ala berfirman: “Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)
Rasulullah bersabda: “Lindungilah diri kalian dari api neraka walaupun hanya dengan sepotong kurma.” Beliau juga bersabda: “Tolaklah keinginan peminta-minta walaupun hanya dengan sepotong makanan sebesar kepala burung.” Dan beliau bersabda: “Janganlah kalian meremehkan kebaikan sekecil apa pun.”
Disunnahkan untuk bersedekah kepada kerabat dekat, sebagaimana yang telah disebutkan, serta kepada orang-orang saleh dan yang memiliki keutamaan. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi bersabda: “Janganlah seseorang makan makanan kalian kecuali seorang mukmin,”
Namun, jika seseorang bersedekah kepada orang kafir seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi, maka hal itu diperbolehkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.” (QS. Al-Insan: 8)
Tawanan dalam ayat ini umumnya adalah orang kafir, dan Allah Ta’ala telah memuji orang yang memberi makan kepada mereka, sehingga hal ini menunjukkan bahwa bersedekah kepada mereka juga disunnahkan.
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah dari ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, ia berkata:
“Ibuku datang kepadaku dalam keadaan masih musyrik dan mengharapkan bantuan. Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah , ibuku datang dalam keadaan musyrik dan mengharapkan bantuan dariku. Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu,”. (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Jeddah: Maktabah Irsyad, tt] Jilid VI, hlm. 240).
Salah satu contoh kerja sama dalam kebaikan, kata Ibnu Asyur, yang disebut dalam ayat ini adalah membantu pelaksanaan ibadah haji. Meskipun pada masa itu masih ada orang musyrik yang belum beriman kepada Islam, mereka tetap boleh mendapatkan bantuan dalam urusan yang baik seperti ibadah haji. Sebab, ibadah ini termasuk kebajikan dan bisa memberikan manfaat bagi semua orang.
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, pada masa turunnya ayat ini, kaum musyrikin masih diperbolehkan mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan haji atau umrah sesuai dengan tradisi Nabi Ibrahim AS. Namun, kunjungan mereka ke Ka'bah tidak boleh bertujuan untuk mengganggu kaum Muslimin.
Oleh karena itu, ayat ini tidak menggunakan kata "mengunjungi Mekah" secara umum, tetapi secara khusus merujuk pada ziarah ke Baitullah dalam konteks ibadah. Selain itu, kaum Muslimin dilarang mengganggu para musyrikin yang tengah melaksanakan haji, menunjukkan bahwa larangan ini tidak ditujukan kepada orang-orang beriman.
Jika kaum musyrik saja dilindungi dalam pelaksanaan haji, maka sudah tentu umat Islam lebih berhak mendapatkan perlindungan dalam menjalankan ibadahnya.
Namun, setelah turunnya ayat yang melarang kaum musyrikin mendekati Masjid al-Haram, izin mereka untuk melaksanakan haji atau memasuki tempat suci itu pun dicabut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَاۚ
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwanya). Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini." (QS. At-Taubah: 28).
Larangan ini menegaskan bahwa kemurnian tempat suci harus dijaga dari unsur-unsur kesyirikan. Dengan demikian, ketentuan ini menjadi bagian dari penyempurnaan ajaran Islam dalam menjaga kesucian ibadah haji serta memastikan bahwa hanya orang-orang beriman yang dapat mendekatkan diri kepada Allah di tempat yang telah Dia sucikan (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], Jilid III, hlm. 12).
Sebaliknya, Ibnu Asyur mengingatkan bahwa kerja sama dalam kezaliman sering kali terjadi akibat adanya dukungan dari orang lain. Oleh karena itu, Islam melarang kerja sama yang bertujuan untuk menciptakan ketidakadilan, permusuhan, atau penganiayaan terhadap orang lain. Ini termasuk menghalangi seseorang dari kebaikan hanya karena perbedaan keyakinan.
Terakhir, firman Allah “Sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya” merupakan peringatan bagi siapa saja yang melanggar perintah ini. Bagi mereka yang mengabaikan perintah untuk bekerja sama dalam kebaikan dan malah mendukung kezaliman, ada ancaman hukuman yang sangat berat dari Allah. Ini menunjukkan betapa pentingnya perintah ini dalam membentuk kehidupan yang harmonis dan adil.
Dengan demikian, surat Al-Maidah ayat 2 memberikan pedoman utama dalam membangun masyarakat yang harmonis, yakni dengan bekerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan serta menjauhi segala bentuk kerja sama yang mengarah pada kejahatan dan permusuhan.
Toh, ayat ini menjadi dasar etika sosial dalam Islam yang mengajarkan keseimbangan antara kepedulian terhadap sesama dan ketegasan dalam menolak keburukan. Dengan mengamalkan nilai-nilai ini, umat Islam dapat menciptakan kehidupan yang damai, adil, dan penuh berkah. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua