Tafsir

Tafsir Surat An-Nahl ayat 119: Pintu Ampunan Allah Selalu Terbuka

Ahad, 8 Desember 2024 | 15:00 WIB

Tafsir Surat An-Nahl ayat 119: Pintu Ampunan Allah Selalu Terbuka

Ilustrasi orang tobat. Sumber: Canva/NU Online.

Manusia, sebagai makhluk istimewa ciptaan Allah SWT, diberi kelebihan dan potensi yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Namun, sering kali manusia terlena oleh perasaan memiliki keistimewaan dan kesempurnaan, hingga lupa akan tujuan penciptaannya.

 

Akibatnya, banyak norma syariat yang dilanggar tanpa rasa takut akan kemurkaan Tuhan, seperti berjudi, mabuk-mabukan, mencuri, berzina, hingga melakukan kezaliman terhadap sesama, semuanya dilakukan tanpa rasa bersalah.


Namun, hidayah Allah SWT datang dengan cara yang tidak bisa diprediksi. Banyak orang yang sebelumnya tenggelam dalam dosa, tiba-tiba insaf, bertobat, dan  menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah dosa-dosa yang telah dilakukan bisa diampuni?

 

Pertanyaan ini dijawab tegas oleh Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 119, yang memberikan harapan dan petunjuk bagi setiap hamba-Nya yang ingin kembali pada-Nya. Allah berfirman:


ثُمَّ اِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِيْنَ عَمِلُوا السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْٓا اِنَّ رَبَّكَ مِنْۢ بَعْدِهَا لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


tsumma inna rabbaka lilladzîna ‘amilus-sû'a bijahâlatin tsumma tâbû mim ba‘di dzâlika wa ashlaḫû inna rabbaka mim ba‘dihâ laghafûrur raḫîm


Artinya, "Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang-orang yang melakukan keburukan karena kebodohan (tidak menyadari akibatnya), lalu bertobat dan memperbaiki (dirinya). Sesungguhnya Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Tafsir Ar-Razi

Syekh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib Jilid XX (Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1999: 283) menafsirkan bahwa dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa berbuat dosa dan melanggar syariat bukanlah penghalang bagi para pendosa untuk bertobat, mendapatkan ampunan, dan merasakan rahmat-Nya. Selanjutnya, lafazz (السُّوءِ) yang berarti kejelekan dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai segala hal yang berkaitan dengan kekufuran dan maksiat.


ثُمَّ إِنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَقُولُ: إِنَّ رَبَّكَ فِي حَقِّ الَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ بِسَبَبِ الْجَهَالَةِ، ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ، أَيْ مِنْ بَعْدِ تِلْكَ السَّيِّئَةِ، وَقِيلَ: مِنْ بَعْدِ تِلْكَ الْجَهَالَةِ، ثُمَّ إِنَّهُمْ بَعْدَ التَّوْبَةِ عَنْ تِلْكَ السَّيِّئَاتِ أَصْلَحُوا، أَيْ آمَنُوا وَأَطَاعُوا اللَّهَ


Artinya, “Kemudian setelah itu, kami mengatakan (berpendapat), sesungguhnya keberpihakan tuhan itu juga berlaku bagi orang-orang yang berbuat keburukan karena ketidaktahuan (kebodohan) mereka, dengan catatan ia bertobat setelah itu. Yakni, setelah berbuat kejelekan. Sebagian berpendapat, setelah mereka terbebas dari kebodohannya. Selanjutnya, setelah bertaubat dari kejelekan itu mereka memperbaiki diri.”


Setelah itu, dalam ayat tersebut Allah menegaskan keseriusannya dalam firmannya itu dengan mengulangi kalimat (إِنَّ رَبَّكَ) yang berarti “Sungguh, tuhanmu itu” baru setelahnya ia berfirman, “benar-benar maha pengampun lagi maha penyayang.” (hlm. 283).


Tafsir Ibnu Katsir

Selanjutnya, Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim Jilid IV (Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1998: 524) menjelaskan bahwa dalam QS. An-Nahl: 119, Allah SWT memberikan kabar gembira tentang ampunan-Nya sebagai bentuk kemurahan dan penghormatan terhadap para pendosa di kalangan orang-orang beriman. Siapa saja yang bertobat dengan tulus, maka tobatnya akan diterima oleh Allah.


فَقَالَ ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ بِجَهالَةٍ قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلُّ مَنْ عَصَى اللَّهَ فَهُوَ جَاهِلٌ ثُمَّ تابُوا مِنْ بَعْدِ ذلِكَ وَأَصْلَحُوا أَيْ أَقْلَعُوا عَمَّا كَانُوا فِيهِ مِنَ الْمَعَاصِي وَأَقْبَلُوا عَلَى فِعْلِ الطَّاعَاتِ إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِها أَيْ تلك الفعلة والزلة لَغَفُورٌ رَحِيمٌ


Artinya, Firman Allah SWT: “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu bagi orang-orang yang telah berbuat keburukan karena ketidaktahuan (tidak menyadari akibat dari perbuatannya)...” Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah dianggap sebagai orang yang jahil (tidak mengetahui konsekuensi dari perbuatannya). “Kemudian mereka bertobat dan memperbaiki diri...” Maksudnya adalah setelah itu, mereka meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan berfokus untuk melaksanakan ketaatan. “Sesungguhnya Tuhanmu, setelah itu, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Artinya, setelah mereka bertobat dan memperbaiki diri, Tuhan mereka adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (hlm. 524)

Tafsir Baghawi

​​​​​​​Syekh Abu Muhammad al-Baghawi dalam kitabnya Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an Jilid III (Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, 1999: 101) menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, Allah SWT menegaskan bahwa Dia akan mengampuni siapa saja yang berbuat dosa atau maksiat, asalkan mereka kemudian bertobat dengan tulus dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Ia berkata:


ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ بِجَهالَةٍ ثُمَّ تابُوا مِنْ بَعْدِ ذلِكَ وَأَصْلَحُوا يعني: بالإصلاح الِاسْتِقَامَةُ عَلَى التَّوْبَةِ، إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِها، أَيْ: مِنْ بَعْدِ الْجَهَالَةِ، لَغَفُورٌ رَحِيمٌ


Artinya, “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang-orang yang melakukan keburukan karena kebodohan (tidak menyadari akibatnya), lalu bertobat dan memperbaiki (dirinya).” Yakni, dengan senantiasa memperbaiki diri dan konsisten dalam bertobat. “Sesungguhnya tuhanmu setelah itu.” Yaitu, setelah berlalunya ketidaktahuan tersebut. “Benar-benar maha pengampun lagi maha penyayang.”

Tafsir Khazin

​​​​​​​Sedangkan, Al-Khazin dalam kitabnya Lubabutta’wil fi Ma’ani at-Tanzil Jilid III (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1995: 104) menafsirkan bahwa maksud dari ayat di atas adalah untuk menjelaskan kemuliaan Allah SWT, yang terwujud dalam keluasan ampunan dan rahmat-Nya.

 

Selanjutnya, lafaz السوء dalam ayat tersebut mencakup segala bentuk perbuatan buruk, termasuk kekafiran dan segala bentuk maksiat. Al-Khaazin juga menjelaskan bahwa setiap orang yang berbuat kejelekan termasuk dalam kategori orang yang jahil, karena akal sehat tidak akan pernah ridha melakukan perbuatan yang keji. Ia menjelaskan:


قوله تعالى ثم تابوا من بعد ذلك، يعني من بعد عمل ذلك السوء وَأَصْلَحُوا يعني أصلحوا العمل في المستقبل، وقيل معنى الإصلاح الاستقامة على التوبة إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِها يعني من بعد عمل السوء بالجهالة والتوبة منه لَغَفُورٌ يعني لمن تاب وآمن رَحِيمٌ يعني بجميع المؤمنين والتائبين


Artinya, Firman Allah SWT: “Kemudian setelah itu mereka tobat,” yang dimaksud adalah orang-orang atau pendosa tersebut tobat setelah melakukan keburukan. “Lalu memperbaiki diri,” yaitu dengan melakukan perbaikan dalam amal ibadah mereka di masa mendatang. Dikatakan pula bahwa maksud dari memperbaiki diri dalam ayat tersebut adalah dengan tobat yang konsisten. “Sesungguhnya Tuhanmu setelah itu,” yaitu setelah melewati fase berbuat buruk karena ketidaktahuan dan kemudian bertobat, “Benar-benar Maha Pengampun,” bagi siapa saja yang tobat dan beriman, “lagi Maha Penyayang,” yaitu bagi seluruh orang-orang yang beriman dan bertobat.


Demikianlah penjelasan dan tafsir mengenai QS. An-Nahl ayat 119. Meskipun manusia sering terjerumus dalam dosa dan melanggar batasan-batasan syariat, pintu ampunan Allah SWT selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, tidak ada tempat bagi putus asa dari rahmat Allah, karena kasih sayang-Nya senantiasa lebih besar dari segala kesalahan. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman