Tafsir

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 7

Sel, 22 Desember 2020 | 05:00 WIB

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 7

Surat An-Nisa ayat 7 memiliki ragam penafsiran terkait hak waris.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 7:


لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ، نَصِيبًا مَفْرُوضًا 


Lir rijāli nashībum min mā tarakal wālidāni wal aqrabūna wa lin nisā’i nashībun min mā tarakal wālidāni wal aqrabūna min mā qalla minhu au katsur nashīban mafrūdhan.


Artinya, “Laki-laki mempunyai hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya (yang meninggal), dan perempuan mempunyai hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya (yang meninggal), baik sedikit atau banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan (oleh Allah untuk diserahkan kepada mereka).” (Surat An-Nisa ayat 7)


Sababun Nuzul Surat An-Nisa ayat 7

Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi (wafat 468 H/1076 M) mengutip dari para mufassir, Surat An-Nisa ayat 7 ini turun berkaitan dengan Ummu Kuhhah RA dan tiga anak perempuan yang ditinggal wafat suaminya yaitu Aus bin Tsabit al-Anshari RA, dimana mereka tidak mendapatkan harta warisannya karena diambil semua oleh dua keponakan laki-lakinya, Suwaid dan Arfajah. Demikianlah tradisi waris Jahiliyah yang tidak memberikan hak waris kepada para perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil.


Mereka hanya memberikan hak waris kepada para laki-laki dewasa. Dalam hal ini orang-orang Jahiliyah berkata, “Kami tidak memberikan warisan kecuali kepada orang yang mampu berperang di atas punggung kuda dan mampu mengambil harta rampasan.”


Atas peristiwa ini Ummu Kuhhah RA mengadu kepada Rasullulah SAW yang kemudian memanggil Suwaid dan Arfajah. Setelah menghadap, kedua orang inipun bersikukuh, “Wahai Rasulullah, anak Ummu Kuhhah tidak bisa naik kuda, tidak bisa memanggul senjata dan tidak bisa mengalahkan musuh.”


Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Bubarlah kalian sehingga aku menanti apa yang Allah firmankan kepadaku tentang urusan mereka.” Lalu mereka bubar dan turunlah Surat An-Nisa ayat 7 ini. (Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi an-Naisaburi, Asbabun Nuzul, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah: 1431 H/2010 M], halaman 89).


Pakar tafsir kota Naisabur, Imam Nizhamuddin Al-Hasan bin Muhammad An-Naisaburi (wafat 850 H/1446 M), menjelaskan bahwa setelah turun Surat An-Nisa ayat 7 kemudian Rasullullah SAW mengirim utusan kepada Suwaid dan Arfajah agar jangan sedikitpun menggangu harta sahabat Aus karena Allah telah menjadikan bagian hak waris bagi istri dan anak-anaknya. (Nizhamuddin An-Naisaburi, Gharaibul Qur’an wa Ragha’ibul Furqan, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1416 H/1996 M], juz II, halaman 355).


Ragam Tafsir terkait Surat An-Nisa ayat 7

Dalam Tafsir Al-Wasith Grand Syekh Universitas al-Azhar Muhammad As-Sayyid Thanthawi (1347-1431 H/1928-2010 M) menjelaskan, ada tiga pendapat ulama yang berbeda. Pendapat pertama, menafsirkan Surat An-Nisa ayat 7 sesuai lahiriah teksnya sehingga mereka menafsirkan ar-rijal adalah laki-laki yang sudah baligh; al-walidani adalah ayah dan ibu tanpa perantara, atau ayah ibu sebenarnya, bukan kakek nenek ke atas; al-aqrabin adalah para kerabat yang mati yang hartanya berhak diwaris oleh para kerabatnya; dan An-Nisa’ adalah perempuan yang sudah baligh.


Berdasarkan pendapat ini, secara substansial maksud Surat An-Nisa ayat 7 adalah laki-laki yang sudah baligh punya bagian waris dari harta yang ditinggal oleh ayah, ibu, dan kerabatnya seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dan bibi dari jalur ayah. Demikian pula bagi perempuan yang baligh juga mendapatkan bagian waris dari mereka.


Dengan pemaknaan seperti ini, Surat An-Nisa ayat 7 hanya terbatas menjelaskan bahwa hak waris tidak terkhusus untuk para laki-laki, namun sama-sama menjadi hak bagi laki-laki maupun perempuan. 


Pendapat kedua, menyatakan bahwa maksud ayat adalah laki-laki dan perempuan yang masih kecil, belum baligh. Argumentasinya adalah bahwa konteks Surat An-Nisa ayat 7 ini merupakan perhatian terhadap kondisi anak yatim yang tentunya belum baligh, dan dengan penafsiran seperti ini maka tertolaklah secara nyata tradisi jahiliyyah yang hanya memberikan hak waris kepada laki-laki dewasa, dan tidak memberi hak waris kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.


Pendapat ketiga, memberlakukan ayat secara umum untuk laki-laki dan perempuan, baik masih anak-anak maupun sudah dewasa. Secara substansial makna ayat adalah laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai bagian waris dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orangtua dan kerabat mereka. Berdasar pendapat seperti ini maka maksud utama Surat An-Nisa ayat 7 adalah menyamakan hak waris antara laki-laki dan perempuan atas harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka. 


Pendapat ketiga ini yang kemudian dinilai paling tepat dalam menafsirkan ayat oleh Syekh Thanthawi berdasarkan tiga argumentasi. Satu, penafsiran ini lebih umum daripada dua pendapat lainnya. Dua, penafsiran ini lebih luas dalam menolak tradisi jahiliyyah yang tidak memberikan hak waris kepada perempuan secara mutlak, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Tiga, penafsiran semacam ini lebih sesuai dengan sababun nuzul Surat An-Nisa ayat 7, sebab konteks turunnya berkaitan dengan anak-anak perempuan Aus bin Tsabit RA dan Ummu Kuhhah RA istrinya. (Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, juz III, halaman 49-50).


Imam Nizhamuddin An-Naisaburi menjelaskan, maksud utama Surat An-Nisa ayat 7 adalah untuk menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai bagian waris secara umum (mujmal), belum sampai menjelaskan detail bagian masing-masing hingga turun ayat 11 dari surat An-Nisa’ yang menjelaskannya. Hikmahnya adalah menyampaikan hukum waris secara bertahap.


Sebagaimana diketahui, bahwa mengubah tradisi yang sudah mengakar di suatu masyarakat secara langsung tidak mudah dan sangat berat. Lain halnya bila dilakukan secara bertahap maka lebih ringan dan mudah diterima. Demikian pula berbagai ayat hukum dan ajaran Islam lainnya juga turun secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga sempurna. (An-Naisaburi, Gharaibul Quran, juz II, halaman 355).


Penyetaraan laki-laki dan perempuan dalam hal sama-sama mempunyai hak waris yang dijelaskan ayat ini sangat kuat sebagaimana redaksi ayat. Pertama, pemilihan redaksi secara detail: لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ, padahal sebenarnya cukup dengan redaksi yang lebih singkat: لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ. Hal ini menunjukkan bahwa memang sejak awal dalam Al-Qur’an perempuan mempunyai hak waris tidak sebagaimana tradisi jahiliyah.


Selain itu, pemilihan redaksi yang detail itu juga menunjukkan bahwa hak waris perempuan adalah hak yang mandiri sebab hubungan kekerabatan sebagaimana hak waris laki-laki sehingga tidak ada lagi orang yang menyangka bahwa hak waris perempuan hanya sekedar mengikuti hak waris laki-laki.


Kedua, redaksi مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ menunjukkan bahwa hak waris perempuan tetap ada, baik harta warisan yang ditinggalkan oleh mayit sedikit maupun banyak. Redaksi ini menjadi penjelas (‘athaf bayan) bagi redaksi sebelumnya, yaitu مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ, yang bertujuan memberi cakupan yang umum dan terang-terangan bahwa hak waris perempuan berhubungan dengan setiap bagian dari harta waris  yang ada. 


Ketiga, redaksi نَصِيبًا مَفْرُوضًا menunjukkan bahwa masing-masing ahli waris laki-laki dan perempuan mempunyai bagian khusus dari harta waris yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan tidak bisa disepelekan, sebab Allah yang mensyariatkannya.


Meminjam penafsiran Syekh Muhammad Nawawi Banten (1230-1316 H), maksud rekdasi نَصِيبًا مَفْرُوضًا adalah bahwa masing-masing bagian waris laki-laki dan perempuan sudah jelas ukurannya dan wajib diserahkan kepada mereka. Bahkan bila ada yang berpaling dari bagian warisnya, maka tidak dapat menggugurkan hak warisnya. (Syekh Thanthawi, Tafsirul Wasith, juz III, halaman 49-50); dan (Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 155).


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda