Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 6

Sab, 19 Desember 2020 | 03:30 WIB

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 6

Surat An-Nisa ayat 6 ini mencakup tiga hal pokok, yaitu pendidikan anak yatim, hukum memakan harta anak yatim, dan penyerahan harta anak yatim kepadanya.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 6:


وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ، وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا، وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ، فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ، وَكَفَى بِاللهِ حَسِيبًا


Wabtalul yatāmā hattā idzā balaghun nikāh, fa in ānastum minhum rusydan fadfa’ū ilaihim amwālahum, walā ta’kulūhā isrāfan wa bidāran an yakbarū, wa man kāna ghaniyyan fal yasta’fif wa man kāna faqīran falya’kul bil ma’rūf, fa idzā dafa’tum ilaihim amwālahum fa asyhidū ‘alaihim, wa kafā billāhi hasība.


Artinya, “Ujilah anak-anak yatim hingga mereka mereka mencapai usia siap nikah (baligh); lalu bila kalian melihat mereka telah cakap (dalam urusan pengelolaan harta dan urusan agama), maka serahkanlah harta mereka kepada mereka; jangan kalian makan harta mereka secara berlebihan dan terburu-buru khawatir mereka beranjak besar; siapa saja wali yatim yang kaya maka hendaklah menghindar (dari memakan harta anak yatim) dan siapa saja wali yatim yang fakir, maka makanlah (dari harta anak yatim) dengan cara yang baik; lalu ketika kalian serahkan harta mereka kepada mereka, buatlah persaksian atas mereka; dan cukuplah Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga,” (Surat An-Nisa ayat 6).


Sababun Nuzul

Pakar tafsir dan sababun nuzul, Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi (wafat 468 H/1076 M) menerangkan, Surat An-Nisa ayat 6 ini turun berkaitan dengan Tsabit bin Rifa’ah RA yang ditinggal mati ayahnya, kemudian paman yang merawatnya mendatangi Rasulullah SAW untuk bertanya atas pengelolaan hartanya.


Imam Al-Wahidi menjelaskan:


قَوْلُهُ تَعَالَى: وَاِبتَلُوا الْيَتَامَىالآيَةَ. نَزَلَتْ فِي ثَابِتِ بْنِ رِفَاعَةَ وَفِي عَمِّهِ. وَذَلِكَ أَنَّ رِفَاعَةَ تُوُفِّيَ وَتَرَكَ ابْنَهُ ثَابِتًا وَهُوَ صَغِيرٌ. فَأَتَى عَمَّ ثَابِتٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ ابْنَ أَخِي يَتِيمٌ فِي حِجْرِي، فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْ مَالِهِ وَمَتَى أَدْفَعُ إِلَيْهِ مَالَهُ؟ فَأَنَّزَلَ اللهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ.


Artinya, “Firman Allah, ‘Wabtalul yatāmā… [An-Nisa’ ayat 6].’ Surat An-Nisa ayat 6 ini turun berkaitan dengan Tsabit bin Rifa’ah dan pamannya. Peristiwanya adalah bahwa Rifa’ah wafat dan meninggalkan anak laki-lakinya yang bernama Tsabit dalam kondisi masih kecil. Lalu pamannya mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ‘Sungguh anak laki-laki saudaraku ini menjadi anak yatim dalam perawatanku. Maka apa yang halal bagiku dari hartanya dan kapan aku dapat menyerahkan hartanya kepadanya?’ Lalu turunlah Surat An-Nisa ayat 6 ini. (Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi An-Naisaburi, Asbabun Nuzul, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah, 1431 H/2010 M], halaman 89).


Ragam Tafsir

Surat An-Nisa ayat 6 ini mencakup tiga hal pokok, yaitu pendidikan anak yatim, hukum memakan harta anak yatim, dan penyerahan harta anak yatim kepadanya.


Pertama, berkaitan dengan pendidikan, wali diperintahkan oleh Allah SWT agar menguji anak yatim dalam urusan pengelolaan harta dan urusan agamanya sampai usia yang layak untuk nikah, yaitu dengan memenuhi dua syarat, satu: rusydu dengan maksud anak yatim telah cakap dalam urusan mengelola hartanya dan urusan agamanya; dan dua: mencapai usia baligh dengan ihtilam (keluar air mani), keluar darah haid atau mencapai usia 15 tahun qamariyah. Bila dalam usia baligh anak yatim sudah cakap dalam kedua urusan tersebut, maka wali yatim diperintahkan untuk menyerahkan harta mereka kepadanya. Demikian menurut Imam As-Syafi’i.


Adapun menurut Imam Malik, di luar persyaratan usia baligh, yang menjadi syarat penyerahan harta kepada anak yatim hanyalah rusydu dalam arti cakap dalam mengelola harta secara baik, tidak memasukkan syarat rusydu dengan makna cakap dalam urusan agamanya. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 270-271).


Kedua, berkaitan dengan memakan harta anak yatim, dalam ayat ini Allah melarang wali memakan harta anak yatim secara berlebihan dan khawatir anak yatim beranjak dewasa yang berkonsekuensi pada wali harus menyerahkah harta anak yatim kepada mereka. Pun demikian, ada pengecualian dari larangan memakan harta anak yatim, yaitu bagi para wali yang fakir, maka ia tidak haram makan dari harta anak yatim sesuai dengan upah standar kerja mengurus anak yatim. Dalam konteks ini diriwayatkan atsar shahih:


عَنْ عَائِشَةَ فِى قَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ: قَالَتْ: أُنْزِلَتْ فِى وَلِىِّ الْيَتِيمِ أَنْ يُصِيبَ مِنْ مَالِهِ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا بِقَدْرِ مَالَهُ بِالْمَعْرُوفِ. (متفق عليه


Artinya, “Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah RA terkait firman Allah Ta’ala: ‘siapa saja yang kaya maka hindarilah dari memakan harta anak yatim, dan siapa saja yang miskin maka makanlah dari harta tersebut secara baik (An-Nisa’ ayat 6),’ ia berkata: ‘Ayat tersebut diturunkan berhubungan dengan wali yatim, bahwa ia boleh mengambil harta anak yatim bila dalam kondisi membutuhkan sesuai kadar upahnya secara baik,’” (Muttafaq ‘Alaih). (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1421 H/2001 M], juz XIV, halaman 83-84).


Ketiga, berkaitan dengan penyerahan harta anak yatim kepadanya, maka wali dianjurkan untuk menghadirkan saksi saat penyerahan harta agar di kemudian hari terhindar dari persengketaan dengan anak yatim tentang urusan hartanya. Perintah menghadirkan saksi ini hukumnya adalah sunnah sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Nawawi Banten. (Muhammad Nawawi Al-Bantani, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 154-155).


Adapun frasa وَكَفَى بِاللهِ حَسِيبًا “cukuplah Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga”, maksudnya Allah maha menjaga amal manusia dan memperhitungkannya. Frasa ini merupakan janji baik dari Allah bagi wali yang disiplin dalam mengelola harta anak yatim. Meskipun kemudian dituduh mengorupsi dan menzalimi hartanya, maka cukuplah Allah yang nanti akan memberi perhitungan seadil-adilnya.


Surat An-Nisa ayat 6 ini juga sekaligus menjadi ancaman dari Allah terhadap wali yatim yang mengorupsi dan menzalimi hartanya. Meskipun tidak terbukti di hadapan pengadilan manusia, Allah juga akan memberikan perhitungan seadil-adilnya terhadap mereka. (As-Shawi, 1424 H/2004 M: I/271).


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda