Tafsir

Tafsir Surat Ar-Ra'du Ayat 39: Allah Berkuasa dalam Menetapkan dan Menghapus Takdir

Selasa, 11 Februari 2025 | 14:00 WIB

Tafsir Surat Ar-Ra'du Ayat 39: Allah Berkuasa dalam Menetapkan dan Menghapus Takdir

Ilustrasi lafaz Allah. (Foto: NU Online)

Surat Ar-Ra'd ayat 39 merupakan salah satu ayat yang menegaskan tentang kekuasaan mutlak Allah SWT dalam menetapkan dan menghapus takdir dan ketentuan-ketentuan yang ada di alam semesta. Allah berfirman:

 

يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُۚ وَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ

 

yam-ḫullâhu mâ yasyâ'u wa yutsbit, wa ‘indahû ummul-kitâb

 

Artinya: "Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di sisi-Nyalah terdapat Ummul-Kitāb (Lauh Mahfuz)."

 

Dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia memiliki wewenang penuh dalam menentukan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik dalam hal syariat maupun takdir kehidupan manusia. Untuk itu, ayat ini mengandung konsep tentang takdir yang memiliki dua aspek utama:

 

Pertama, takdir yang bisa berubah (al-Qadha’ al-Mu’allaq). Sejatinya, Allah dapat mengubah suatu ketetapan sesuai dengan hikmah-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 53 bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Contoh perubahan dalam kehidupan manusia bisa berupa pergantian kondisi seperti sehat menjadi sakit, miskin menjadi kaya, atau sebaliknya.

 

Kedua, takdir yang tetap (Al-Qadha’ Al-Mubram). Terdapat ketetapan yang tidak dapat diubah, yakni ketentuan yang telah ditetapkan di Lauh Mahfuz, yaitu kitab yang mencatat segala peristiwa yang terjadi di alam semesta, Hari Kiamat yang telah Allah tentukan sejak awal penciptaan. Ini menunjukkan bahwa Allah memiliki ilmu yang mutlak dan segala sesuatu yang terjadi telah berada dalam rencana-Nya.

 

Tafsir Al-Munir 

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT telah tertulis dalam kitab-Nya di Lauh Mahfuz. Allah memiliki kuasa untuk menghapus atau menetapkan ketetapan sesuai dengan kehendak-Nya. Setiap peristiwa, baik itu turunnya azab bagi orang-orang kafir maupun datangnya pertolongan bagi orang-orang mukmin, telah ditentukan waktunya. Hal ini menunjukkan bahwa ketetapan Allah SWT bersifat dinamis dalam batas-batas tertentu sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya.

 

Dalam tafsir ini, Syekh Wahbah Zuhaili juga berpendapat bahwa penghapusan tersebut mencakup takdir, yang berarti doa dapat berpengaruh dalam menolak takdir tertentu. Terkadang, seseorang bisa terhalang mendapatkan rezeki akibat dosa yang diperbuatnya, sementara umur seseorang dapat diperpanjang dengan silaturahim dan berbuat baik kepada kerabat.

 

Hal ini ditegaskan dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a., yang menyatakan bahwa menyambung tali persaudaraan dapat melapangkan rezeki dan memperpanjang umur. Rasulullah bersabda:

 

من سرّه أن يبسط‍ له في رزقه، وينسأ له في أثره، فليصل رحمه

 

Artinya: "Barangsiapa ingin rezekinya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan (dan selalu dikenang dengan baik setelah mati), hendaklah ia menyambung ikatan kekerabatan dan persaudaraannya."

 

Meskipun ada aspek takdir yang dapat berubah, ada pula ketetapan Allah SWT yang bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan. Penciptaan, watak bawaan, ajal, serta rezeki seseorang telah ditentukan oleh Allah SWT sejak awal. Bahkan, nasib seseorang —apakah ia akan menjadi orang yang bahagia atau sengsara— juga sudah ada dalam ilmu Allah SWT.

 

Ibnu Abbas r.a. pernah ditanya tentang Ummul Kitab. Ia berkata, "Ummul Kitab adalah pengetahuan Allah SWT tentang segala ciptaan dan segala yang dilakukan oleh ciptaan-Nya." Kemudian, Allah SWT berfirman kepada ilmu-Nya, "Jadilah engkau sebuah kitab." Dan tidak ada perubahan dalam ilmu Allah SWT."

 

Sementara itu, Ikrimah menyebutkan bahwa Allah SWT dapat menghapus dosa seseorang melalui tobat dan menggantinya dengan kebaikan, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Furqan ayat 70:

 

اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

 

Artinya: "Kecuali, orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, Allah mengganti kejahatan mereka (dengan) kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

 

Sejatinya, penghapusan dan penetapan dalam ketetapan Allah SWT merupakan bagian dari qada dan qadar Allah. Qada yang bersifat pasti tidak akan berubah, tetapi qada yang terkait dengan sebab-sebab tertentu bisa berubah dengan doa, silaturahim, serta amal kebaikan lainnya, atau sebaliknya, dapat berubah akibat dosa yang dilakukan seseorang.

 

Kesimpulannya, dalam ajaran Islam, terdapat takdir yang tetap dan tidak berubah, serta takdir yang bisa berubah berdasarkan kehendak Allah SWT. Doa, silaturahim, serta amal kebajikan memiliki peran penting dalam menentukan nasib seseorang dalam kehidupan ini.

 

Demikian pula dalam aspek syariat, ada ketetapan yang bisa dihapus dan diganti dengan syariat lain demi maslahat umat manusia. Semua ini menunjukkan bahwa ketetapan Allah SWT berjalan sesuai dengan hikmah, dan segala sesuatu telah ditentukan waktunya dalam ketetapan Allah yang maha sempurna.

 

والخلاصة: عقيدتنا هي أنه لا تبديل لقضاء الله تعالى، وهذا المحو والإثبات مما سبق به القضاء. والقضاء منه ما يكون واقعا محتوما، وهو الثّابت، ومنه ما يكون مصروفا بأسباب، وهو الممحو. ويكون المحوّ إما بالدّعاء أو بصلة الرّحم وبرّ الأقارب، أو بالذّنب المقترف. ويشمل المحو نسخ الشّرائع، فقد تنسخ شريعة بأخرى، كالنّسخ بالقرآن لما عداه، لمصلحة وحكمة تقتضيها، ونسخ التّوجّه إلى بيت المقدس وتحويل القبلة إلى الكعبة، ونحو ذلك

 

Artinya: “Kesimpulannya: Akidah kita adalah bahwa tidak ada perubahan dalam ketetapan Allah Ta'ala, dan penghapusan serta penetapan itu termasuk dalam ketetapan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketetapan (qada) ada yang bersifat pasti dan tak terelakkan, itulah yang tetap, dan ada yang dapat berubah karena sebab-sebab tertentu, itulah yang dihapus. Penghapusan ini dapat terjadi melalui doa, silaturahim, berbuat baik kepada kerabat, atau karena dosa yang dilakukan.

 

Penghapusan juga mencakup penghapusan syariat, di mana suatu syariat dapat digantikan oleh syariat lain, seperti penghapusan hukum sebelumnya oleh Al-Qur'an demi kemaslahatan dan kebijaksanaan yang dituntut oleh keadaan, atau perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, serta contoh lainnya." (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir,  [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1998], Jilid XIII, hlm, 189)

 

Tafsir Marah Labib 

Sementara itu, Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Marah Labib menjelaskan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk menghapus dan menetapkan hukum-hukum sesuai dengan hikmah yang dikehendaki-Nya. Penghapusan hukum (nasakh) terjadi karena adanya tuntutan kondisi dan maslahat yang berubah seiring waktu, sementara hukum yang tetap dibiarkan sesuai dengan ketentuan-Nya.

 

Semua ketetapan ini berasal dari Ummul Kitab atau Induk Kitab, yakni Lauh Mahfuz, tempat asal segala ketetapan yang tidak mengalami perubahan. Dalam hal ini, tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di alam semesta, baik yang dihapus maupun yang ditetapkan, kecuali semuanya telah tercatat dalam Lauh Mahfuz sejak awal. Hikmah dari pencatatan ini adalah agar para malaikat mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu secara terperinci, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi.

 

Dalam konsep ini, Syekh Nawawi Banten membedakan antara dua kitab yang berada di sisi Allah. Pertama, kitab yang dituliskan oleh para malaikat, yang berfungsi sebagai tempat perubahan, yaitu pencatatan takdir yang bisa mengalami penghapusan dan penetapan.

 

Kedua, kitab yang dituliskan oleh Qalam di Lauh Mahfuz, yang sifatnya tetap dan tidak mengalami perubahan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa ada takdir yang masih dapat berubah berdasarkan doa, usaha, dan kehendak Allah, sementara ada pula takdir yang telah ditetapkan sejak awal dan tidak dapat diubah. Pemahaman ini menegaskan keseimbangan antara ketentuan Ilahi yang absolut dan keterlibatan makhluk dalam usaha serta doa.

 

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa sebelum menciptakan makhluk, Allah telah ada tanpa ada sesuatu pun selain-Nya. Kemudian, menciptakan Lauh Mahfuz dan menetapkan di dalamnya segala ketentuan makhluk hingga hari kiamat.

 

كان الله ولا شيء ثم خلق اللوح وأثبت فيه أحوال جميع الخلق إلى قيام الساعة

 

Artinya: "Dahulu Allah ada dan tidak ada sesuatu pun selain-Nya, lalu Dia menciptakan Lauh Mahfuz dan menetapkan di dalamnya keadaan seluruh makhluk hingga hari kiamat."

 

Sejatinya, hadits ini memperjelas bahwa seluruh peristiwa di alam semesta telah ditulis dalam Lauh Mahfuz sejak awal penciptaan. Menurut Syekh Nawawi Banten mengenai konsep penghapusan dan penetapan hukum-hukum Allah ini menggambarkan betapa luasnya ilmu Allah dan bagaimana setiap perubahan di dunia sudah berada dalam ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

 

Simak penjelasan Imam Nawawi berikut:

 

يَمْحُوا اللَّهُ ما يَشاءُ من الأحكام لما تقتضيه الحكمة بحسب الوقت وَيُثْبِتُ أي يبقيه على حاله وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتابِ (٣٩) أي أصله وهو اللوح المحفوظ إذ ما من شيء من الذاهب والثابت إلا وهو مكتوب فيه كما هو. فالحكمة فيه أن يظهر للملائكة كونه تعالى عالما بجميع المعلومات على سبيل التفصيل، فعند الله كتابان كتاب يكتبه الملائكة على الخلق: وهو محل المحو والإثبات، وكتاب كتبه القلم بنفسه في اللوح المحفوظ: وهو الباقي

 

روي عن النبي صلّى الله عليه وسلّم أنه قال: «كان الله ولا شيء ثم خلق اللوح وأثبت فيه أحوال جميع الخلق إلى قيام الساعة»

 

Artinya: “Allah menghapus hukum-hukum yang Dia kehendaki sesuai dengan hikmah yang dituntut oleh waktu, dan Dia menetapkannya, yakni membiarkannya tetap sebagaimana adanya. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Induk Kitab) (QS. Ar-Ra’d: 39), yaitu asal segala sesuatu, yakni Lauh Mahfuz. Tidak ada sesuatu pun, baik yang dihapus maupun yang tetap, kecuali semuanya telah tertulis di dalamnya sebagaimana adanya. Hikmahnya adalah agar para malaikat mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu secara terperinci.

 

Maka, di sisi Allah terdapat dua kitab: kitab yang dituliskan oleh para malaikat untuk makhluk, yang menjadi tempat penghapusan dan penetapan: serta kitab yang dituliskan oleh Qalam sendiri di Lauh Mahfuz, yang tetap dan tidak berubah.

 

Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda: Dahulu Allah ada dan tidak ada sesuatu pun selain-Nya, lalu Dia menciptakan Lauh dan menetapkan di dalamnya keadaan seluruh makhluk hingga hari kiamat." [Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid I, hlm, 563]

 

Dengan demikian, Surat Ar-Ra'd ayat 39 menegaskan bahwa Allah memiliki kuasa penuh dalam mengatur takdir, baik menghapus maupun menetapkan sesuatu. Segala sesuatu berada di bawah ilmu-Nya yang sempurna dan tercatat dalam Lauh Mahfuz. Ayat ini juga mengajarkan pentingnya usaha manusia melalui doa dan amal saleh, karena ada takdir yang dapat berubah sesuai dengan kehendak Allah.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman Tinggal di Parung.