Tasawuf/Akhlak NGAJI TAYSIR AL-KHALLAQ  (3)

Peran dan Etika Guru dalam Kitab Taysir al-Khallaq

Kam, 11 Juni 2020 | 13:30 WIB

Peran dan Etika Guru dalam Kitab Taysir al-Khallaq

Guru memberikan pengaruh terhadap muridnya, tak hanya dalam meraih pengetahuan, tapi juga akhlak keseharian.

Meski berhalaman tipis, kitab Taysir Al-Khallaq (Memudahkan Berakhlak) yang dianggit oleh Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi (selanjutnya disebut Al-Mas’udi), seorang ulama di Darul Ulum, Al-Azhar, Mesir,ini memiliki kandungan yang sangat penting dan strategis. Sejumlah isu dan point-point penting yang terkait dengan bagaimana proses dan penyelenggaraan pendidikan sangat mewarnai dari tiap lembaran kitab ini. Di antaranya adalah yang diulas dalam bab kedua dengan judul Adab al-Mu’allim.


Disebutkan, al-mua’allimu dalilut tilmidzi ila ma yakunu bihi kamaluhu minal ‘ulumi wal ma’arifi (guru adalah penuntun bagi murid untuk meraih kesempurnaan ilmu dan pengetahuan).Fayasytarithu an yakuna min dzawil awshafil mahmudati, li anna ruhat tilmidzi dla’ifatun bin nisbati ila ruhihi, faidzat tashafal mu’allimu bi awshafil kamali kanat tilmidzul muwaffaqa kadzalika (oleh karenanya, guru dipersyaratkan memiliki sifat-sifat yang baik. Sebab, jiwa murid itu lemah, dibanding dengan jiwa gurunya. Ketika guru memiliki sifat-sifat sempurna maka muridpun akan mengikuti sifat gurunya itu).


Merujuk pada pernyataan Al-Mas’udi di atas, seorang guru memiliki peran yang sangat penting. Ia akan memberikan pengaruh terhadap muridnya, terutama dalam meraih ilmu pengetahuan dengan baik. Terutama di usia pendidikan dasar, jiwa murid lebih lemah, sehingga perlu dibimbing dan arahan yang baik. Bahkan, sifat dan karakteristik guru akan sangat mudah diikuti oleh para muridnya. Oleh karenanya, guru diharapkan memiliki sifat dan karakteristik yang baik. 


Hakikat pendidikan sesungguhnya adalah perubahan, terutama pada diri murid, dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Perubahan menuju kebaikan merupakan esensi pendidikan. Untuk meraih ke perubahan itu, dalam relasi guru dan murid diperlukan adanya kewibawaan. Sebab, orang yang tidak memiliki wibawa akan sulit untuk memberikan pengaruh kepada orang lain. Oleh karenanya, agar guru memiliki wibawa, dipersyaratkan memiliki sifat dan karakteristik yang baik. Dalam konteks ini, sifat dan karakteristik yang baik itu tidak hanya berimplikasi positif terhadap dirinya semata, tetapi juga akan berdampak terhadap orang lain.


Dalam teori pendidikan, sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) kewibawaan, yakni kewibawaan kodrati dan kewibawaan karena tugas. Kewibawaan kodrati dimiliki oleh orang tua, sementara kewibawaan karena tugas, di antaranya, dimiliki oleh guru. Orang tua dengan sendirinya memiliki wibawa, karena telah menjadi penyebab lahirnya anak dan telah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Wibawa orang tua ini tidak memiliki jeda tertentu, selamanya.Sementara guru memiliki kewibawaan yang diperoleh dari tugas, yakni karena ditugaskan untuk mendidik di lingkungan lembaga pendidikan. Kewibawaannya seringkali terbatas, tidak seperti orang tua, yang akan habis di saat selesainya bertugas sebagai guru. 


Agar guru memiliki kewibawaan yang lebih langgeng, guru harus melakukan proses bimbingan dan pengajaran terhadap muridnya dengan memposisikan sebagaimana relasi orang tua dan anaknya, tidak semata-mata terbatas karena penugasan. Guru memberikan kasih sayang yang tulus, penuh kelembutan, dan tidak memposisikan murid seperti anak orang lain. Jika ini dilakukan, maka wibawa yang melekat pada guru akan lebih optimal, melebihi wibawa karena penugasan.
 

Dalam konteks ini, Al-Mas’udi menyebutkan fa`idzan la budda an yakuna taqiyyan mutawadhi’an layyinal janibi litamilal qulubu ilayhi fatastafidu minhu wa an yakuna haliman waquran liyuqtada bihi (oleh karenanya, guru haruslah orang yang bertaqwa dan ramah agar mendapatkan simpati, sabar dan berwibawa agar dicontoh dan diikuti para muridnya). Wa an yakuna dza rahmatin littalamidzi, syafiqan ‘alayhim lita’zhuma raghbatuhum fima yulqihi ilayhim wa anyanshahahum (harus sayang kepada murid agar semakin besar perhatian dan kecintaan mereka terhadap apa yang disampaikan kepada mereka).


Guru tidak hanya sebatas sebagai orang yang mentransformasikan pengetahuan an scih, tetapi seringkali dipersonifikasikan sebagai model, contoh, panutan. Bahkan, pada titik tertentu, guru dipersepsikan sebagai orang yang sempurna. Persepsi ini tidak hanya oleh para muridnya, tetapi juga masyarakat sekitar. Oleh karenanya, dapat dimaklumi jika Al-Mas’udi mempersyaratkan guru itu harus memiliki sifat dan karakteristik yang baik. Guru memiliki kepribadian yang tangguh, idealisme yang kuat, serta keuletan dan kecermatan yang baik.


Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, seorang tokoh pendidikan modern, menulis bahwa sekurang-kurangnya guru itu memiliki 7 (tujuh) karakter yang harus melekat, yakni (1) zuhud, (2) jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk, (3) ikhlas, (4) pemaaf, (5) mampu menempatkan diri sebagai bapak atau orang tua, sehingga mencintai dan memikirkan masa depan anak didiknya, (6) mengetahui bakat dan minat muridnya, dan (7) menguasai bidang studi atau materi yang diajarkan.


Dalam konteks relasi guru dan murid, setidaknya terdapat 3 (tiga) bentuk. Pertama, relasi guru dan murid sebagaimana dokter dan pasien. Relasi ini lebih tepat digunakan untuk peserta didik di jenjang pendidikan usia dini dan dasar, pada tingkat tertentu jenjang menengah. Sebagaimana pasien yang harus menerima obat apapun dari sang dokter, murid tidak dapat melakukan penolakan dan siap menerima apapun dari gurunya. Dari aspek pengetahuan, guru memiliki otoritas dan monopoli terhadap semua pengetahuan. Muridnya tidak boleh untuk menolak, bahkan pada titik tertentu mempertanyakan pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya. Namun, dari sisi etika, seorang guru mau tidak mau harus memiliki akhlak yang baik dan sempurna.


Kedua, relasi guru dan murid sebagaimana hubungan kakak dan adik. Guru akan selalu memperhatikan perkembangan psikologi dan pengetahuan muridnya. Curhat dan keluh kesah murid akan selalu didengar dan diperhatikan, tak terkecuali pada aspek pengetahuan. Pola ini akan berimplikasi pada perkembangan psikologi murid menjadi terlatih, di satu sisi, dan pengetahuan murid juga semakin berkembang, di sisi yang lain. Namun, demikian, kewibawaan guru juga terkadang menjadi tereduksi. Saran dan perintah guru berpotensi terabaikan. Pola ini tampaknya lebih tepat untuk digunakan pada jenjang pendidikan menengah akhir atau jenjang pendidikan tinggi di beberapa semester awal.


Ketiga, relasi guru dan murid itu sebagaimana hubungan sesama kawan, setara dan tidak ada yang saling melebihi. Guru menjadi fasilitator atau mitra, yang mengungkap dan memberikan inspirasi dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Dalam relasi ini, reproduksi pengetahuan semakin berkembang dengan pesat, karena satu sama lain akan terus melahirkan kreativitas dan pengetahuan yang beragam. Akan tetapi, di sisi yang lain, relasi ini cenderung melunturkan etika dan akhlak di antara keduanya. Pola relasi ketiga ini tampaknya tepat untuk digunakan dalam konteks pendidikan andragogi, pendidikan antarorang dewasa, yang satu sama lain saling memberikan pengetahuan.


Dalam konteks pemikiran Al-Mas’udi, tampaknya karya Taysir Al-Khallaq ini lebih tepat diposisikan pada relasi pertama, yakni relasi dokter dan pasien. Pasalnya, seperti disebutkan pada bagian awal kitab, karya ini digunakan untuk jenjang pendidikan dasar, sehingga guru benar-benar diminta untuk memiliki etika yang luhur agar murid dapat mengikutinya dengan baik. 

 

Suwendi, Pendiri Pesantren Nahdlah Bahriyah Cantigi, Indramayu; Dewan Pakar Persada NU (Persatuan Dosen Agama Islam Nahdlatul Ulama); dan Ketua DPP FKDT (Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)