Tasawuf/Akhlak

Saat Sayyidina Husein Diundang Makan Orang Tak Mampu

Sab, 25 Februari 2023 | 11:00 WIB

Saat Sayyidina Husein Diundang Makan Orang Tak Mampu

Ilustrasi: Makanan (Freepik).

Dalam kitab Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, atau lebih dikenal dengan Tafsîr Al-Qurthubî, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi mencatat riwayat tentang Sayyidina Husein bin Ali dan orang-orang kurang mampu yang mengundangnya makan. Berikut ini riwayatnya:
 

وعن الحسين بن علي أنه مر بمساكين قد قدموا كسرا بينهم وهم يأكلون فقالوا: الغذاء يا أبا عبد الله، فنزل وجلس معهم. وقال: إنه لا يحب المستكبرين. فلما فرغ قال: قد أجبتكم فأجيبوني، فقاموا معه إلى منزله فأطعمهم وسقاهم وأعطاهم وانصرفوا
 

Artinya, “Dari Al-Husein bin Ali radiyallahu ‘anhu, ia melintasi orang-orang miskin yang (tengah) beristirahat dan mereka sedang makan. Mereka berkata: “Makan, wahai Abu Abdillah.”
Kemudian Sayyidina Husein turun dari kendaraannya dan duduk bersama mereka. Ia berkata (menyitir surat An-Nahl ayat 23): “Innahu lâ yuhibbul mustakbirîn”, (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong).” 
 

Setelah selesai makan, Sayyidina Husein berkata: “Sungguh aku telah memenuhi undangan makan kalian, maka penuhilah pula undanganku.” Mereka pun beranjak bersama Sayyidina Husein menuju tempat tinggalnya, kemudian ia memberi mereka makan, menghidangkan minuman, dan memberi hadiah kepada mereka. Setelah itu mereka pergi meninggalkan rumahnya. (Imam Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1964], juz X, halaman 95). 
 

Apa yang dilakukan Sayyidina Husein merupakan bentuk tafsir Al-Qur’an bil fi’li, yaitu tafsir yang direalisasikan dalam bentuk tindakan. Tafsir yang masuk pada wilayah operasional.
 

Untuk lebih jelas mari kita uraikan bersama.
 

Manusia seringkali tidak sadar bahwa dirinya “sedang” sombong. Jika pun sadar, ia mengabaikan kesadarannya dan memilih untuk tetap sombong. Motifnya beragam. Bisa karena ingin dipuji, dipandang tinggi, merasa lebih baik dari orang lain, menutupi kelemahan, atau kadang tanpa motif sama sekali, sekedar melakukannya saja. Yang tanpa motif ini, biasanya tidak sadar bahwa dirinya “sedang” sombong.
 

Untuk menghilang​​​​​​kan kesombongan, manusia butuh pengingat, dan pengingat itu adalah Al-Qur’an. Dalam al-Qur’an jelas dikatakan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong atau menyombongkan diri.
 

Pertanyaanya, orang sombong itu bagaimana? Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
 

Artinya: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia.” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan min Jawâmi’il Kalim, [Kairo, Darus Salam: 2004], juz III, halaman 989-990). 
 

Salah satu bentuk “menolak kebenaran” adalah menampakkan kesombongan dengan maksud menutupi kelemahan, atau mengunggulkan diri sendiri meski sebenarnya tidak sesuai kenyataan. Sedangkan “memandang rendah manusia” bisa dengan menganggap mereka tidak layak menerima penghormatan atau semacamnya, seperti menghinakan dan merendahkannya. 
 

Menurut Ibnu Rajab memperlakukan seseorang dengan kejujuran dan rasa hormat merupakan hak seorang muslim (min haqqil muslim), dan haram merendahkannya (tahrîm ihtiqârihi). (Al-Hanbali, Jâmi’ul ‘Ulûm, juz III, halaman 990). 
 

Dalam kisah di atas, Sayyidina Husein mempersembahkan kerendahan hati yang luar biasa. Ia tidak segan untuk turun dari kendaraannya dan menyambut undangan makan dari orang-orang tak mampu. Kejadian ini bukan sesuatu yang direncanakan, terjadi begitu saja. Artinya, para pengundang makan tidak menyajikan hidangan yang pantas dan mewah, hanya makanan ala kadarnya. Sayyidina Husein langsung menyambut undangan tersebut dan makan bersama mereka.
 

Sebelum menyantap makanannya, ia menyitir ayat 23 dari surat An-Nahl: “Innahu lâ yuhibbul mustakbirîn”, (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong). Sayyidina Husein melakukannya bukan untuk pamer amal, tapi sebagai pengingat bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang memiliki hak berlaku sombong, termasuk dirinya. Ia takut masuk dalam golongan yang tidak disukai Allah, yaitu mustakbirîn (orang-orang yang sombong).
 

Karena itu, setelah selesai makan, ia mengundang orang-orang tersebut datang ke rumahnya dengan mengatakan, “Sungguh aku telah memenuhi (undangan makan) kalian, maka penuhilah (pula undangan)ku.” Mereka pun memenuhi undangan Sayyidina Husein dan datang ke rumahnya. Sayyidina Husein menjamu mereka dengan penghormatan, memberi mereka makanan, minuman dan hadiah. 
 

Dengan kata lain, Sayyidina Husein sedang menghindari batharul haqqi (menolak kebenaran) dan ghamtun nâsi (merendahkan manusia). Ia menyadari bahwa peluang sombong (takabbur) selalu terbuka dan bisa terjadi kepada siapapun juga. Karena itu, ia mengundang dan menjamu mereka dengan penghormatan penuh. Hal ini menunjukkan penggabungan antara kesadaran Qur’ani dan kasih sayang diri.
 

Kisah ini masuk dalam beberapa kitab tafsir dengan ragam redaksi dan detail. Kisah di atas diambil dari Tafsir Al-Qurthubi. Imam Al-Qurthubi memasukkan kisah tersebut untuk menafsirkan surat An-Nahl ayat 23: “Innahu lâ yuhibbul mustakbirîn”, (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong). 
 

Artinya, Sayyidina Husein menampilkan tafsir dalam wilayah praksis. Perilakunya dijadikan sebagai salah satu sumber penafsiran. Mencontohkan sebuah cara agar tidak menjadi bagian dari mustakbirin (orang-orang yang sombong), dan memberi teladan agar bisa terhindar dari kesombongan.
 

Karena kebanyakan dari kita, tidak sadar ketika sedang sombong. Di sinilah keteladan perilaku menjadi penting. Salah satunya melalui media kisah.
 

Dengan membaca kisah ini, semoga kesadaran kita bertambah, dan kita mulai bisa memahami kesombongan kita, dan berusaha menjauhinya. Karena al-kibr (kesombongan) adalah dosa yang cukup besar pengaruhnya kepada kita, sampai para ulama mengatakan:

 

وكل ذنب يمكن التستر منه وإخفاؤه إلا الكبر، فإنه فسق يلزمه الإعلان، وهو أصل العصيان كله
 

Artinya: “Setiap dosa dapat ditutup-tutupi atau disembunyikan kecuali (dosa) sombong. Karena ia dalah kefasikan yang pasti dilakukan secara terang-terangan, dan ia adalah akar dari maksiat seluruhnya.” (Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, juz X, halaman 95). 
 

Setiap dosa ada kemungkinan bisa ditutup-tutupi, tapi tidak dengan dosa sombong karena butuh “ditampakkan”. Perilaku sombong selalu terkait dengan apa yang disombongkan. Suatu perilaku yang harus dilakukan secara terang-terangan karena butuh dilihat atau dirasakan orang lain. Karena itu, kesombongan dianggap sebagai salah satu akar dari maksiat. Efeknya bisa ke mana-mana. Dari sombong bisa mengarah ke hasud karena tidak rela ada orang yang lebih darinya. Bisa mengarah ke bohong karena berusaha menggunggulkan dirinya. Bisa pula mengarah ke dosa-dosa lainnya.
 

Karen​​​​​​​a itu, kisah Sayyidina Husein di atas harus kita jadikan sebagai teladan. Menyerap hikmahnya dan mengamalkan tafsirnya. Memang tidak mudah, tapi apa salahnya kita mulai mencoba. Bukankah demikian? Wallahu a’lam bis shawwab.

 


Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.