Tasawuf/Akhlak

Sistem Kerja ‘Kerajaan Jiwa’ Manusia menurut Imam Al-Ghazali

Kam, 28 April 2022 | 13:00 WIB

Sistem Kerja ‘Kerajaan Jiwa’ Manusia menurut Imam Al-Ghazali

Sistem Kerja ‘Kerajaan Jiwa’ Manusia menurut Imam Al-Ghazali

Manusia memiliki berbagai perangkat lunak dan keras, masing-masing mempunyai sistem kerja yang selalu beroperasi sepanjang hayat. Dengan perangkat tersebut manusia bisa berinteraksi dengan makhluk lain dan membentuk kehidupan yang berjalan secara dinamis.

 

Perangkat ini dibahas oleh Imam Al-Ghazali pada kitab Kimiya'us Sa`adah dalam dua pasal, yaitu pasal mengenal hati dan tentaranya dan pasal tugas dan fungsi hati. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa manusia diibaratkan sebuah negara yang memiliki berbagai aparatur dengan tugas dan fungsi yang berbeda.

 

Menurut Al-Ghazali, dalam 'negara manusia' ada seorang raja yang punya pengaruh kuat serta kemampuan memerintah secara mutlak kepada anggota tubuh lain. Raja tersebut adalah hati. Hati yang dimaksud bukan sebuah daging yang sembunyi di balik dada sebelah kiri atau dikenal dengan sebutan jantung. Pasalnya, jantung masih bisa dimiliki oleh manusia yang sudah meninggal, bahkan binatang juga dianugerahi organ tubuh ini.

 

Hati yang dimaksud adalah perangkat 'mikrokosmos' dalam diri manusia yang bersifat lathifah, rabbaniyah, dan ruhaniyah. Namun demikian hati masih punya kaitan dengan jantung. Mungkin seperti aliran listrik yang hinggap dalam smartphone, TV, dan alat elektronik lainnya. Secara kasat mata yang terlihat hanya alat elektroniknya, sementara listriknya tidak. Namun demikian kehadiran listrik bisa dirasakan dalam alat elektronik tersebut.

 

Sebagai raja, hati punya beberapa aparatur yang punya tugas dan fungsi berbeda. Akal menjabat sebagai perdana menteri, pancaindra sebagai intelijen, nafsu syahwat sebagai bendahara yang punya karakter dasar ingin memperkaya diri sendiri untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan duniawi. Selanjutnya adalah nafsu ghadlab diibaratkan sebagai aparat militer yang punya kecenderungan superior terhadap pihak lain. Terakhir adalah tangan, kaki, serta anggota tubuh lainnya yang diibaratkan sebagai rakyat.

 

Ketika hati yang berperan sebagai raja mampu mengondisikan semua aparaturnya dengan baik, tentu saja 'negara manusia' akan menjadi kondusif, stabil, dan makmur serta bisa meraih kebahagiaan. Sebaliknya, jika hati tidak mampu mengendalikan sifat dasar aparaturnya atau bahkan hati punya karakter buruk, maka manusia sulit untuk mendapatkan kebahagiaan bahkan bisa bisa jatuh pada jurang kehinaan.

 

Siklus Kerja Aparat 'Negara Manusia'

Pancaindra yang menjabat sebagai lembaga intelijen berfungsi untuk mendapatkan dan mengumpulkan informasi dari pihak luar. Informasi tersebut kemudian disampaikan kepada perdana menteri (akal), kemudian semua informasi tersebut akan disimpan di sebuah server atau gudang informasi yang berdomisili di akal bagian tengah.

 

Selanjutnya, informasi dari perdana menteri ini akan disalurkan kepada sang raja (hati) untuk kemudian membuat sebuah keputusan dan mengambil sikap. Jika hati bersih, ia akan menyuruh rakyat (anggota tubuh) untuk berbuat baik, jika hati kotor tentu akan sebaliknya.

 

Misalnya, telinga (intelijen) mendengar suara adzan, informasi adzan ini akan dilaporkan kepada akal (perdana menteri) untuk kemudian disimpan di akal bagian tengah (server/pusat informasi), berikutnya informasi adzan ini akan disampaikan kepada raja (hati).

 

Jika kondisinya baik dan bersih, raja (hati) akan menyuruh bendahara (syahwat) agar mengeluarkan 'anggaran' dan aparat militer (ghadlab) melakukan pengawalan serta menyiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke masjid. Sementara itu, rakyat (tangan dan kaki) akan diinstruksikan untuk segera memakai pakaian suci dan melangkah menuju masjid.

 

Begitulah kira-kira situasi atau siklus pergerakan dalam tubuh manusia jika ditelisik dengan cara “slow motion”. Siklus ini akan terus beroperasi sepanjang hayat dan membentuk kehidupan manusia yang berjalan secara dinamis.

 

Al-Ghazali menyarankan agar kita bisa menjaga kesucian hati dengan cara mengondisikan nafsu syahwat dan ghadlab. Jika keduanya belum bisa kondusif, redamlah dengan cara mujahadah karena hawa nafsu tidak mungkin bisa dimusnahkan dan akan menemani perjalanan hidup manusia. Dengan hawa nafsu yang kondusif 'negara manusia' bisa berdiri dengan kokoh.

 

Muhammad Aiz Luthfi, Redaktur NU Online