Hikmah

Biografi Imam Yahya Abi Zaidah, Penulis Kitab Pertama di Kufah

Jum, 21 Januari 2022 | 19:00 WIB

Biografi Imam Yahya Abi Zaidah, Penulis Kitab Pertama di Kufah

Keluarga Imam Yahya merupakan keluarga bangsawan pada masa kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah, tepatnya di era kepemimpinan Raja Harun ar-Rasyid. (Ilustrasi: onepathnetwork.com)

Selalu ada hal positif yang bisa diserap dari riwayat dan tapak tilas para ulama salaf. Teladan dan keberhasilannya dalam berbagai bidang bisa menjadi pelajaran bagi generasi saat ini. Di antara sekian banyak ulama inspiratif  itu adalah Imam Yahya bin Abi Zaidah. Perjalanan intelektualnya, produktivitasnya dalam menulis, hingga keulamaannya diakui para ulama lain dan patut dicontoh.

 

Nama lengkapnya adalah Imam Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah bin Maimun al-Aslami bin Fairuz al-Hamdani al-Wadi’i al-Kufi al-Hamdani al-Hanafi. Beliau lahir pada masa Imam Abu Hanifah an-Nu’man, yang sekaligus merupakan salah satu guru darinya. Oleh karenanya, afiliasi fiqihnya terpengaruhi oleh gurunya, Abu Hanifah.

 

Kendatipun namanya hingga kini tetap harum dan selalu dikenang sepanjang zaman, tetapi tempat dan tahun kelahiran ulama yang satu ini belum diketahui secara persis. Tidak ada riwayat yang penulis temukan secara pasti perihal tahun kelahiran hingga wafatanya.

 

Akan tetapi, dengan menelisik jalan hidupnya, Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam kitabnya bisa menengarai bahwa Imam Yahya bin Zakaria dilahirkan sekitar paruh pertama abad kedua, tepatnya pada tahun 120 H, dan wafat pada bulan Jumadal Ula tahun 183 H, kemudian dimakamkan di kota Kufah, sebagaimana nisbat pada namanya, al-Kufi. (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Muassasah ar-Risalah, cetakan ketiga: 1405 H/1985 M, tahqiq: Imam Syu’ib], juz XI, halaman 72).

 

Perjalanan Intelektual Imam Yahya Abi Zaidah

Menurut Syekh Khairuddin ad-Dimisyqi (wafat 1396 H), keluarga Imam Yahya merupakan keluarga bangsawan pada masa kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah, tepatnya di era kepemimpinan Raja Harun ar-Rasyid. Ayahnya merupakan seorang menteri pada masa itu, begitu juga dengan beberapa saudaranya. (Ad-Dimisyqi, al-A’lam, [Darul ‘Ilmi, cetakan kelima: 2002], juz VIII, halaman 145).

 

Jika dilihat sekilas, maka akan terbesit bahwa kehidupan Yahya kecil sangat istimewa melebih para ulama lain yang kisahnya sangat memprihatinkan, namun kenyataannya, ayah Imam Yahya merupakan sosok yang tidak cinta dunia, hasil dari pekerjaannya sering ia sedekahkan kepada fakir-miskin, ia hanya menyisakan secukupnya untuk dimakan bersama keluarganya.

 

Dengan sifat ayahnya yang tidak cinta dunia, Yahya kecil tumbuh sebagai sosok yang tidak cinta pada dunia, ia menghabiskan hari-harinya di Kufah dengan fokus mengaji dan belajar melalui bimbingan langsung dari ayahnya. Di selain waktu bertugas, ayahnya selalu mengajarkan ilmu agama kepadanya hingga Yahya Kecil banyak menguasai beberapa kitab pada masa itu.

 

Keistiqamahan sang anak untuk mengaji, dan ketekunan ayah dalam membimbing memberikan pengaruh sangat positif anaknya, semangat dan keinginannya untuk memiliki ilmu yang luas dan pemahaman yang dalam sangat tampak dalam dirinya. Semua itu sangat tampak dalam diri Yahya pada masa-masa pertumbuhan, bahkan tidak berselang beberapa lama, semua ilmu yang dimiliki ayahnya ia lahap secara perlahan.

 

Selain belajar kepada orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru ada di Kufah yang pada masa itu, di antara gurunya adalah, (1) Imam Abu Hanifah an-Nukman; (2) Imam Ayyub bin Kaitsan; (3) Imam Idris bin Yazid bin Abdurrahman; (4) Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali; dan beberapa guru lainnya. Dari guru-guru tersebut, Yahya memiliki perkembangan yang sangat pesat dalam masalah keilmuan. Bahkan, pada umur yang masih relatif muda, ia sudah mampu menghafalkan Al-Qur’an dan beberapa matan-matan kitab lainnya.

 

Di bawah bimbingan para ulama tersohor pada masa itu, ia tumbuh sebagai pribadi yang sangat semangat dalam mencari ilmu. Tidak ada waktu yang ia sia-siakan, semuanya digunakan untuk mempelajari ilmu dan menambah pengetahuannya. Imam Yahya tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas, paham ilmu fiqih dengan semua cabang-cabangnya, memiliki rasio yang luas, sehingga sangat mudah memahami semua penjelasannya. Tidak hanya itu, ia juga menjadi salah satu ulama yang sangat kuat daya hafalnya, dan sangat luhur etikanya.

 

Setelah beberapa tahun hidup dalam pengembaraan menjadi seorang thalib (penuntut ilmu), tiba saatnya Imam Yahya menuai hasil, tepatnya setelah beberapa tahun belajar kepada para ulama di masa itu. Beliau akhirnya mulai mandiri, dan bisa merumuskan pendapat sendiri dalam beberapa cabang ilmu syariat. Ilmunya yang sangat luas menjadikannya sebagai salah satu ulama yang sangat disegani oleh para ulama, umara dan dicintai oleh semua rakyatnya.

 

Penulis Kitab Pertama di Kufah

Setelah masa berguru kepada para ulama tersehor waktu itu sudah dirasa cukup, tiba saatnya bagi Imam Yahya untuk menyebarkan apa yang telah ia dapatkan. Ia pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan ilmu yang ia miliki. Ia adalah sosok ulama produktif yang juga berhasil menuliskan beberapa kitab di kota Kufah.

 

Sebagaimana jamak diketahui, sejak beberapa yang lalu, kota Kufah merupakan kota yang memiliki sejarah penting dalam Islam. Salah satu kota yang terletak di Irak, dibangun sejak masa Rasulullah, tepatnya pada masa ekspansi pertama kali Islam ke luar semenanjung Arab. Selain itu, Kufah juga menjadi salah satu pusat munculnya khazanah ilmu Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama-ulama produktif. Bahkan, dalam ilmu gramatika Arab, pendapat ulama Kufah menjadi salah satu rujukan paling otoritatif.

 

Akan tetapi, yang banyak tidak diketahui adalah, siapakah pengarang (penyusun) kitab pertama kali di kota Kufah? Maka jawabannya adalah Imam Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya:

 

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ الْكُتُبَ بِالْكُوْفَةِ

 

Artinya, “Dia (Yahya bin Abi Zaidah) merupakan orang pertama yang menyusun kitab-kitab di kota Kufah.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, juz VIII, h. 339).

 

Selain sebagai penyusun kitab pertama, Imam Yahya juga ulama yang sangat produktif dalam menyusun kitab, bayak kitab-kitab karyanya yang kemudian menjadi salah satu referensi yang banyak disyarahi oleh ulama-ulama setelahnya, khususnya ulama kalangan mazhab Hambali. Di antara kitabnya, yaitu; Fatawa Yahya, Mughnisy Syifa min Raudhati Syahariraha, dan beberapa kitab lainnya.

 

Pujian Ulama kepada Imam Yahya Abi Zaidah

Lahirnya Imam Yahya bin Zakaria tentu memberikan kebanggan tersendiri bagi bangsa Kufah, khususnya perihal perkembangan khazanah keilmuan di kota tersebut. Sebelum Kufah menjadi kota terkenal dengan lahirnya beberapa ulama terkemuka, ada sosok Imam Yahya yang menengarai sekaligus menjadi cikal-bakal di balik kesuksesan generasi selanjutnya. Oleh karenanya, ia mendapatkan banyak pujian dan apresiasi yang sangat tinggi oleh para ulama.

 

Imam Husain bin Umar meriwayatkan bahwa Imam Yahya dalam pandangan Imam Abu Hanifah perihal luasnya ilmu hadits yang ada dalam dirinya laksana pengantin baru yang sangat harum. Artinya, luasnya ilmu hadits yang ada dalam dirinya tidak akan pernah mengecewakan orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya. Hal ini tidak lain selain sebagai apresiasi tinggi dari Imam Abu Hanifah perihal kesuksesan muridnya dalam ilmu hadits,

 

يَحْيَى بِنْ أَبِي زَائِدَةْ فِي الْحَدِيْثِ مِثْلُ العَرُوْسِ العَطِرَةِ

 

Artinya, “(Imam) Yahya bin Abi Zaidah dalam ilmu hadits laksana mempelai wanita yang sangat harum.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, juz VIII, h. 339).

 

Menurut pendapat Imam Ali bin Ahmad, Imam Zakaria dan putranya, Imam Yahya bin Zakaria merupakan orang-orang yang dapat dipercaya, keduanya sama-sama alim. Hanya saja, yang memiliki karya hanyalah Imam Yahya, beliau berhasil mengumpulkan hadits dan ilmu fiqih dalam satu kodifikasi. (Abdul Qadir bin Abil Wafa’, al-Jawahirul Mudhiyah fi Thabqatul Hanafiah, [Darul ‘Ashimah, cetakan pertama: 1349 H], juz I, halaman 542).

 

Demikian sekelumit biografi Imam Yahya bin Zakaria, mulai dari kelahiran dan wafatnya, perjalanan intelektualnya dalam mencari ilmu, perjuangan dan pengorbanan hingga semangatnya dalam berupaya mendapatkan ilmu, sehingga beliau dikenal sebagai ulama yang diakui oleh ulama-ulama lain pada masanya hingga ulama setelahnya. Wallahu A’lam bisshawab.

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.